Jumat, 7 Februari 2025

GIMANA KEAMANAN NASIONAL..? Studi Bongkar Sisi Gelap Starlink yang Bakal Masuk RI: Ancaman Global 10 Tahun ke Depan

JAKARTA — Starlink, layanan internet berbasis satelit milik Elon Musk, bakal segera hadir di Indonesia. Starlink hadir dengan tujuan meningkatkan akses internet di dalam negeri.
Sejumlah pihak antusias menyambut Starlink. Namun, di balik kecanggihan Starlink dalam menyediakan layanan internet, sejumlah penelitian mengungkap ‘sisi gelap’ kehadiran satelit-satelit Starlink di antariksa.

Misalnya, sebuah studi baru menemukan dengungan dari peralatan elektronik yang menggerakkan satelit Starlink dapat mengganggu pengamatan astronomi radio.

Per Maret 2024, terdapat 5.504 satelit Starlink di orbit, 5.442 di antaranya beroperasi setelah sebelumnya perusahaan mengantongi persetujuan peraturan untuk menyebarkan 12.000 satelit komunikasi broadband dan 30.000 pesawat Starlink lainnya.

Namun dalam studi baru, yang diterbitkan pada 3 Juli di jurnal Astronomy & Astrophysics , para peneliti menemukan satelit Starlink memancarkan sinyal radio yang tidak disengaja dan tidak dikenali, terpisah dari sinyal yang dikirim dan diterima dari planet Bumi.

Ini kemudian menyebabkan beberapa dari sinyal tumpang tindih dengan sinyal yang terdeteksi oleh antena teleskop radio, sehingga menimbulkan masalah kepada para peneliti dalam menangkap sinyal radio.

Dalam hal ini, para peneliti dengan menggunakan perangkat teleskop Low Frequency Array (LOFAR) memantau secara dekat emisi dari 68 satelit Starlink. Dan hasilnya ditemukan bahwa 47 satelit memancarkan radiasi dengan frekuensi antara 110 dan 188 megahertz.

“Rentang frekuensi ini mencakup pita terlindungi antara 150,05 dan 153 MHz yang secara khusus dialokasikan untuk astronomi radio oleh International Telecommunications Union (ITU),” kata salah satu penulis studi, Cees Bassa, astronom di Institut Astronomi Radio Belanda, melansir Live Science.

Biasanya untuk memaksimalkan kemampuan teleskop dalam mendeteksi sinyal yang paling lemah sekalipun, regulator telah menempatkan zona radio-tenang di sekitar lokasi di mana penggunaan telepon seluler, TV terestrial, atau radio tidak diperbolehkan.

Namun karena satelit Starlink dan pemancar internet lainnya yang dapat dengan bebas melakukan perjalanan di zona tersebut mengganggu pengamatan para peneliti.

Dalam hal ini, perusahaan SpaceX diketahui tidak melanggar aturan apapun karena undang-undang ITU hanya mencegah sumber radio berbasis terestrial memancarkan panjang gelombang tersebut di dekat teleskop radio.

Meskipun demikian, para peneliti berharap bahwa SpaceX dapat berkolaborasi dengan para astronom untuk mencari solusi yang memungkinkan agar emisi sinyal yang ada tidak memberikan dampak negatif.

Masalah dengan FAA
SpaceX dan Starlink milik Elon Musk juga sempat berseteru dengan Federal Aviation Administration atau FAA. Pangkal masalahnya, FAA membuat laporan yang menuding bahwa Starlink dapat menimbulkan risiko besar bagi manusia di Bumi.

Analisis setebal 35 halaman, yang sebagian disusun oleh kelompok penelitian nirlaba The Aerospace Corporation, itu memberikan gambaran mengenai potensi bahaya terkait jaringan satelit besar seperti Starlink. Laporan itu mengungkap pada tahun 2035 Starlink bisa membunuh manusia setiap dua tahun sekali.

“Jika pertumbuhan konstelasi besar yang diperkirakan terjadi dan puing-puing satelit Starlink berhasil masuk kembali ke Bumi, satu orang di planet ini diperkirakan akan terluka atau terbunuh setiap dua tahun sekali,” demikian bunyi laporan tersebut, mengutip CNN.

Laporan itu juga memprediksi kemungkinan pesawat jatuh akibat tabrakan dengan puing-puing luar angkasa bisa mencapai 0,0007 per tahun pada tahun 2035.

SpaceX mengecam kesimpulan laporan tersebut dalam sebuah surat tertanggal 9 Oktober. Mereka menyebut klaim mengenai risiko cedera dan kematian terkait Starlink “tidak masuk akal, tidak dapat dibenarkan, dan tidak akurat.”

Surat dari perusahaan menyatakan laporan itu mengandalkan “analisis yang sangat cacat dan keliru mencirikan risiko pembuangan masuk kembali yang terkait dengan Starlink.”

SpaceX juga menuduh Aerospace Corporation tidak menghubungi perusahaan untuk mendapatkan informasi dan tidak menyertakan analisis dan laporan perusahaan itu sendiri mengenai pembuangan satelit Starlink.

“Untuk lebih jelasnya, satelit Space X dirancang dan dibangun untuk mati sepenuhnya selama masuk kembali ke atmosfer selama pembuangan di akhir masa pakainya, dan mereka melakukannya,” menurut surat SpaceX.

Surat tersebut juga menyatakan 325 satelit Starlink telah melakukan deorbit sejak Februari 2020, dan tidak ada puing yang ditemukan.

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, analisis FAA mengakui SpaceX mengatakan satelit Starlink sepenuhnya terbakar di atmosfer ketika jatuh kembali ke Bumi pada akhir masa layanannya, sehingga tidak menimbulkan risiko yang lebih besar untuk menabrak orang, pesawat terbang, atau infrastruktur. Dan laporan tersebut mengakui bahwa Komisi Komunikasi Federal, yang memberi wewenang kepada operator satelit, menerima penilaian tersebut.

Namun, The Aerospace Corporation menilai pesawat luar angkasa SpaceX masing-masing dapat menghasilkan tiga buah serpihan seberat 300 gram. Untuk keperluan laporan ini, FAA menggunakan pendekatan yang lebih konservatif.

“Dengan ribuan satelit yang diperkirakan akan masuk kembali, bahkan sejumlah kecil puing-puing dapat menimbulkan risiko yang signifikan dari waktu ke waktu,” demikian bunyi laporan tersebut.

SpaceX membantah klaim tersebut, dengan menyatakan bahwa penilaian tersebut bergantung pada “kesalahan yang sangat besar, kelalaian, dan asumsi yang salah.”

Perusahaan mengatakan statistik tersebut didasarkan pada studi NASA yang berusia 23 tahun tentang satelit yang dikembangkan oleh operator satelit yang berbeda, Iridium, dan tidak pernah dimaksudkan untuk digunakan untuk tujuan penilaian risiko. (Web Warouw)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru