JAKARTA – Analis Pertahanan, Militer, dan Hubungan Internasional Dr Connie Rahakundini Bakrie meyakini visi smart defence atau pertahanan pintar tidak bisa dibangun di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara berdasarkan cara berpikir linear.
Maksudnya, ketika berbicara pertahanan maka sudah tidak lagi soal pertahanan darat, laut, dan udara secara terpisah melainkan secara terpadu dalam kemampuan network-centric warfare.
Menurutnya, karena ancaman yang ada saat ini sudah tidak linear.
Hal tersebut disampaikannya dalam Seminar Ketahanan Nasional bertajuk Pertahanan Cerdas 5.0 Ibu Kota Nusantara yang disiarkan di kanal Youtube Lemhannas RI pada Kamis (25/5/2023).
“Jadi bagaimana mungkin kita menghadapi ancaman yag sudah tidak linear dengan cara berpikir linear?” kata Connie.
Selain itu, ia mempertanyakan mengapa doktrin perang Indonesia tidak berubah ketika Presiden Joko Widodo menetapkan visi poros maritim yang kemudian menjadi poros dirgantara dan akhirnya poros permukaan dunia.
Harusnya, kata dia, doktrin perang Indonesia sudah berubah karena peperangan saat ini tidak bisa lagi dibayangkan masih sama seperti zaman dulu ketika benteng dibuat kokoh dan prajurit berada di atasnya memegang panah.
“Kita menghadapi tantangan yang sudah berkelindan ke sana kemari itu, harus mampu melakukan serangan duluan yang tidak juga, mungkin lawan itu tahu, sedang diserang, tapi kita mampu. Jadi ini menurut saya kembali kepada substansinya adalah Ibu Kota yang smart defence adalah yang seperti itu,” kata Connie.
Nuclear Power
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, ia mencontohkan satu di antaranya, saat ini ada anggapan sekarang seolah smart defence adalah sistem pertahanan yang semua serba canggih, serba listrik, dan serba berkelindan.
Padahal, menurutnya hal tersebut juga memerlukan sumber daya listrik yang tidak sedikit.
“Sudahkah kita berpikir untuk pakai nuclear power? Apalagi ini IKN. Karena saya pernah ke sana, saya tahu ada banyak sekali masalah di sana termasuk air. Itu saja tidak dipikirkan, karena ini berdampak pada ekologi,” kata Connie.
Ia juga menjelaskan doktrin perang Prancis yang melingkupi isu lingkungan.
Hal tersebut, kata dia, karena salah satu yang dinyatakan dalam konsep perang Prancis adalah militer mereka berhak masuk ke sebuah negara berdaulat apabila negara tersebut merusak atau tidak mampu menjaga lingkungan sehingga berdampak pada negara tetangga atau kawasan atas nama operasi militer selain perang.
“Itu yang saya bilang, antara Operasi Militer Selain Perang sama Operasi Militer Perang itu, sudah biarkan saja itu kepada teknis tentara. Jangan di Undang-Undang dirigidkan. Karena sekali lagi itu bisa berubah dengan sangat cepat,” kata Connie.
Selain itu, menurut Connie hal tersebut juga nantinya akan berhubungan dengan kebijakan penganggaran.
Menurutnya, seharusnya Panglima TNI menjadi pengguna anggaran terkait pemeliharaan, perawatan, operasional, dan pelatihan.
Kementerian Pertahanan, kata dia, seharusnya mengelola anggaran selain di bidang operasi.
“Itu cuma saya gambarkan kenapa berpikirnya itu mesti betul-betul holistik. Karena tidak mungkin sebuah smart defence ketika kita hanya berpikir sepotong-potong atau linear,” kata Connie.
Dalam pemaparannya, Connie juga menjelaskan saat ini tercatat sudah ada 42 jenis perang atau elemen perang.
Permasalahannya sekarang, kata dia, dalam usulan RUU TNI yang beredar terdapat usulan mengenai pengelompokan jumlah OMP dan OMSP.
“Ada 19 lah, ada 10 lah, ada nambah berapa lah. Padahal hari ini saja total perang ini sudah ada 42 jenis, ada 42 elemen. Dan pergerakan dari non military ke trans miltary atau ke military, vice versa, bolak-balik, atau acak itu tidak bisa kita ikat di undang-undang hanya OMSP atau ONP karena itu ada di lapangan,” kata Connie.
“Agak susah kalau kita semua harus terus mengikat itu di undang-undang. Dan saya tidak tahu, hari ini mungkin 42 besok mungkin sudah 84,” sambung dia. (Web Warouw)