JAKARTA – Parlemen Georgia pada Selasa (14/5/2024) meloloskan pembahasan ketiga dan terakhir dari undang-undang “agen asing”, yang memicu peringatan dari Amerika Serikat bahwa jika undang-undang tersebut gagal memenuhi standar Uni Eropa, Washington dapat meninjau kembali hubungan tersebut.
Ribuan pengunjuk rasa, yang bersama dengan negara-negara Barat mengecam RUU tersebut sebagai RUU yang otoriter dan terinspirasi dari Rusia, berkumpul di pusat kota Tbilisi, menutup persimpangan utama yang mengatur lalu lintas antar lingkungan yang berbeda.
Setelah disahkan pada pembahasan ketiga, RUU tersebut kini diserahkan kepada Presiden Salome Zourabichvili, yang mengatakan ia akan memvetonya, namun keputusannya dapat dibatalkan melalui pemungutan suara lain di parlemen, yang dikendalikan oleh partai yang berkuasa dan sekutunya.
Undang-undang tersebut akan mewajibkan organisasi yang menerima lebih dari 20% pendanaannya dari luar negeri untuk mendaftar sebagai agen pengaruh asing, memberlakukan persyaratan pengungkapan yang berat dan denda yang besar jika melakukan pelanggaran.
Para penentang melihat RUU ini sebagai ujian apakah negara tersebut tetap berada pada jalur integrasi dengan Eropa atau kembali ke Rusia.
Di Washington, Gedung Putih mengatakan Amerika Serikat “sangat terganggu” dengan undang-undang agen yang “gaya Kremlin”.
“Jika undang-undang ini disahkan, ini akan memaksa kita untuk menilai kembali hubungan kita dengan Georgia secara mendasar,” kata sekretaris pers Gedung Putih Karine Jean-Pierre, dilansir Reuters, Rabu (15/5/2024).
Asisten Menteri Luar Negeri AS James O’Brien, yang mengunjungi Tbilisi, mengatakan Washington dapat memberlakukan pembatasan keuangan dan perjalanan kecuali rancangan undang-undang tersebut diubah atau jika pasukan keamanan secara paksa membubarkan protes seperti yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir.
“Jika undang-undang tersebut diterapkan tanpa mematuhi norma-norma UE dan retorika serta fitnah terhadap AS dan mitra-mitra lainnya terus berlanjut, saya pikir hubungan ini dalam bahaya,” katanya.
RUU tersebut disahkan dengan 84 anggota parlemen dari 150 suara mendukung. Televisi Georgia menyiarkan bentrokan antara partai berkuasa dan anggota parlemen oposisi selama debat.
Para penentang menjuluki RUU tersebut sebagai “undang-undang Rusia”, dan membandingkannya dengan undang-undang Rusia yang digunakan untuk menargetkan kritik terhadap Kremlin yang dipimpin Presiden Vladimir Putin.
Kepada Bergelora.com di Jakarra dilaporkan, Pemerintah Georgia mengatakan rancangan undang-undang tersebut diperlukan untuk mendorong transparansi, memerangi “nilai-nilai liberal semu” yang dipromosikan oleh pihak asing dan menjaga kedaulatan negara. (Web Warouw)