JAKARTA- Dalam kutipan media terkait revisi PP 99 Tahun 2012, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia I Wayan Kusmiantha Dusak mengatakan pelaksanaan justice collaborator (JC) sebagai syarat remisi selama ini justru dimanfaatkan oknum penegak hukum yang tidak taat prosedur, sehingga status JC tidak jarang menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi W. Eddyono di Jakarta, Rabu (17/8)
“Dalam pandangan ICJR, hal ini perlu untuk ditelusuri. Untuk awal, maka perlu di cek seluruh terpidana korupsi setelah tahun 2012 (berdasarkan Permen) yang mendapatkan status dari aparat penegak hukum terutama Jaksa, Polisi dan KPK,” ujarnya.
Status JC menurutnya tidak boleh sembarangan diberikan, dan label JC juga dilakukan saat proses penuntutan dan secara resmi dinyatakan dalam tuntutan, di luar skema tersebut maka JC bisa jadi hanya untuk memfasilitasi remisi. Status JC juga harus dipublikasikan ke publik sejak awal bukan diminta di ujung ketika hendak memohon remisi.
“Berdasarkan catatan ICJR, hal Ini mungkin terjadi karena SOP mengenai JC di kejaksaan juga tidak pernah dipersiapkan. Akibatnya dicurigai banyak implementasi yang berbeda-beda,” ujarnya.
Ia memaparkan, dari jumlah JC yang dikeluarkan oleh masing-masing Kepolisian, Kejaksaan dan KPK berdasarkan data Ditjen PAS yang dipersentasikan oleh Center for Detention Studies (CDS) pada Senin, 15 agustus 2016 di Jakarta, ditemukan bahwa Kejaksaan sebagai institusi yang paling “rajin” mengeluarkan status JC dengan jumlah mencapai 670 orang sepanjang 2013 sampai dengan Juli 2016, tepat setelah PP 99 Tahun 2012 mulai berlaku.
“Timbul pertanyaan, yaitu apakah seluruh status JC yang dikeluarkan oleh institusi penegak hukum ini diberikan pada saat proses penuntutan atau dengan kata lain apakah diberikan sebelum atau sesudah putusan. Yang menjadi catatan penting adalah apabila status JC baru diberikan setelah putusan dijatuhkan, maka angka ini adalah angka yang sangat mengejutkan, karena secara hukum di Indonesia, JC seharusnya diberikan sebelum putusan atau saat proses penuntutan di lakukan,” ujarnya.
Logika ini menurutnya sebenarnya logika yang sama yang diatur dalam PP 99 Tahun 2012. JC menjadi syarat remisi untuk memberikan insentif atau memberikan bergain kepada penyidik dan penuntut umum agar tersangka atau terdakwa mau bekerja sama dalam mengungkap kejahatan, khususnya korupsi yang bersifat sistemik dan terorganisir.
“Apabila status JC diberikan pasca putusan atau proses penuntutan, maka apa guna JC diberikan selain untuk mendapatkan remisi? Dari sinilah harusnya dugaan adanya permainan atau komoditas yang diperjualbelikan dapat ditelusuri,” ujarnya.
Untuk itu ia menegaskan, ICJR meminta agar Kepolisian, Kejaksaan dan KPK mengeluarkan nama-nama siapa aja orang-orang yang mendapatkan status JC tersebut dan apakah status JC tersebut diberikan pada saat proses penuntutan atau sebelum putusan atau malah diberikan setelah putusan dikeluarkan dan dengan alasan apa. Dengan begitu maka misteri “jual beli status JC” dapat ditelusuri. (Johanna TH)