JAKARTA- Saat ini sudah ada 194 netizen yang dilaporkan ke polisi karena melakukan tindakan cyber crime menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Tren pelaporan ke polisi setiap bulannya antara 6-7 kasus, naik drastis dari rerata pelaporan 2 tahun sebelumnya yang hanya 4 kasus per bulan. Yang dituntut pun makin beragam meski tetap ciri bahwa pelaporan pencemaran nama didominasi oleh mereka yang berposisi asimetrik terhadap yang dilaporkan. Hal ini disampaikan oleh Ellen S. Kusuma dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (26/8)
“Pada siang hari ini selagi Pengadilan Negeri Jakarta Timur DKI Jakarta untuk mengikuti pembacaan putusan atas kasus Saut Situmorang, di kota Mataram, Lombok berlangsung demonstrasi besar-besaran menolak kriminalisasi mahasiswa STMIK Bumi Gora Mataram yang dituntut dengan Undang-Undang Informasi dan Transfer Elektronik (UU ITE),” jelasnya.
Hari ini juga di kota Makassar, Sulawesi Selatan sedang berlangsung sidang peradilan atas Kadir Sijaya, wartawan anggota PWI yang dituntut ketua PWI Sulawesi Selatan karena mengkritik penggunaan gedung PWI untuk kawinan. Ketiga kota ini: Jakarta, Lombok, Makassar dalam catatan Safenet mempunyai kasus lebih dari cukup untuk dinyatakan sebagai kota yang netizennya paling sering dijerat dengan UU ITE.
Secara khusus, Safenet mengamati sejak sastrawan ini dilaporkan. Pada mulanya Safenet memonitor kasus Iwan Soekri yang dilaporkan oleh Fatin Hamama dan ikut dalam mediasi antara kedua orang ini. Lalu tiba-tiba di tengah perjalanan, nama Saut Situmorang kembali dilaporkan oleh Fatin Hamama dengan pasal yang sama.
“Sejak itu kami melihat bahwa dalam persoalan konflik di dalam dunia sastra ini, yang dicari bukan pertama-tama penyelesaian yang bermartabat, tetapi unsur membalas dendam/sakit hati,” katanya.
Safenet menurutnya mencatat peristiwa yang disebut sebagai tindakan pencemaran nama itu tidak dilakukan di muka publik.
“Harap dicatat bahwa percakapan antara Iwan Soekri, Saut Situmorang dan banyak nama lainnya terjadi di dalam Facebook Group tertutup yang hanya bisa diikuti oleh anggota-anggota yang sifatnya terbatas. Facebook Group tertutup sama seperti ruangan yang tertutup, ia tidak memiliki sifat publik, sekalipun menggunakan platform media sosial Facebook,” jelasnya.
Selama penyidikan menurutnya, ada proses pemaksaan pemeriksaan oleh kepolisian Jakarta Timur yang menyebabkan Saut Situmorang harus ke Jakarta padahal yang bersangkutan tinggal di Yogyakarta dan mempunyai keterbatasan dana dan penyakit yang diderita.
“Selama persidangan, tidak satu kalipun barang bukti yang dilakukan dengan cara forensik digital ditunjukkan. Yang ditunjukkan hanya print out dari screenshot pernyataan Saut yang sepotong-sepotong sehingga menghilangkan konteks percakapan yang terjadi. Barang bukti yang sah merupakan prasyarat bagi berjalannya persidangan yang adil dalam kasus UU ITE,” ujarnya.
Dalam persidangan yang berlangsung sejak 4 Februari 2016, keseriusan Jaksa Penuntut Umum dalam menuntut kasus ini dipertanyakan karena seringnya telat dan bahkan mangkir dari persidangan.
“Kasus ini sebetulnya lemah dan tidak perlu dijalankan seandainya sistem hukum dan insan peradilan di Indonesia membuka mata. Di luar Indonesia, persoalan-persoalan pencemaran nama sudah dihapuskan dari sistem hukum pidana dan cukup diselesaikan lewat jalur perdata. Dengan penerapan ini, tidak perlu ada satupun orang dipenjara hanya karena apa yang ia sampaikan, baik di media maupun media online serta media sosial,” katanya.
Ia menegaskan kasus ini merupakan contoh bobroknya pemakaian pasal karet UU ITE terutama pasal 27 ayat 3 mengenai pencemaran nama dan SAFENET sampai hari ini tetap mendesak pemerintah dan legislatif untuk mereview ulang keputusan mereka untuk tidak memperbaiki kebobrokan ini yang bukan hanya merugikan mereka yang dipidana, tetapi juga menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dan legislatif untuk melindungi kebebasan berekspresi di Indonesia. (Irene Gayatri)