JAKARTA- Ketertutupan pemerintah dalam harga pembelian Blok Mahakam mencurigakan bagi beberapa kalangan. Keengganan pemerintah mengumumkan harga Blok Mahakam wajib diwaspadai. Demikian Direktur Institute For Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (18/3).
“Ini rawan sekali “dibegal” oleh penguasa. Pengalaman sudah ada dalam kasus Freeport dan Newmont yang memperoleh perpanjangan kontrak secara ilegal melanggar Undang-undang Minerba. Harus menjadi pelajaran,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa Blok Mahakam saat ini dikuasai oleh Perusahaan TOTAL dari Perancis dan INPEX dari Jepang yang mengaku telah menginvestasikan dana senilai 27 miliar USD. Dengan kurs Rp. 13.000 maka harga Blok Mahakam sedikitnya Rp 351 Triliun.
“Sesuai perjanjian Bilateral Investment Treaty (BIT) Indonesia dengan Perancis, nasionalisasi harus memberikan kompensasi harga layak. Jika tidak maka Indonesia dapat digugat ke Arbitrase internasional. Demikian juga Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menyatakan bahwa nasionalisasi harus melalui pembelian,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa dua perusahaan asing, TOTAL dan INPEX selama 48 tahun mengaku telah menyumbangkan pendapatan negara senilai Rp 750 triliun atau Rp 15 triliun dalam setahun.
“Perkiraan pendapatan yang diterima TOTAL dan INPEX bisa mencapai Rp 2.250 triliun berdasarkan perhitungan bagi hasil minyak dan cost recovery yang dibayar oleh negara,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo sudah instruksikan penyelesaian Blok Mahakam paling lama satu (1) bulan. Jika kurs sampai akhir April bergerak ke Rp 16.000/USD sebagaimana strest test Bank Indonesia (BI) maka harga pembelian Blok Mahakam bisa mencapai Rp 432 triliun.
“Bagaimana Pertamina mendapatkan uang sebesar itu? Pemerintah pastilah akan meminta perusahaan ini kembali mencetak hutang. Padahal Global Bond Pertamina telah mencapai lebih dari Rp 100 trilun. Sadis juga ya, kalau kekayaan alam kita sendiri harus kita beli dengan harga semahal itu,” ujarnya. (Dian Dharma Tungga)