JAKARTA- Beberapa ahli dan politisi kembali menyoroti pentingnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali didepan memberantas terorisme. Hal ini berhubungan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme yang sedang dibahas di parlemen.
“Sudah saatnya TNI harus bergerak memberantas terorisme. Terorisme itu bukan tindakan pidana. Selama ada kata pidana melekat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Terorisme, maka penanganannya akan selalu ditangani oleh Polri. Kalau soal koordinasi, kembali ke Sishankamrata (Sistim Pertahanan dan Keamanan Mayarakat Semesta-red). Sishankamrata itu penting. Gerakan makar itu termasuk terorisme,” tagas Analis Pertahanan dari Universitas Indonesia, DR. Conny Rahakunduni Bakrie kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (20/10).
Sebaiknya menurut Conny Rahakunduni, RUU ini tidak perlu terlalu detail mengatur soal penangangan terorisme, karena TNI dan Polri sudah mengerti betul apa yang mesti dilakukan. Kalau terlalu diatur, bisa justru akan tidak maksimal.
Conny Rahakunduni juga membanding dan mengkritik jarak antara TNI dengan Presiden RI yang tidak sedekat antara Polri dengan Presiden RI.
“Bayangkan, Panglima TNI harus melalui menteri untuk bertemu Presiden. Sedangkan Kapolri bisa langsung bertemu Presiden. DPR perlu mendorong agar pemerintah menentukan posisi TNI dan Polri (secara tepat-red). (Ini-red) karena negara ini tidak punya Dewan Keamanan Nasional seperti negara-negara lain, yang bertugas menempatkan polisi dan TNI pada tempatnya,” jelasnya.
Sebelumnya di DPR, Selasa (18/10) lalu ada diskusi Forum Legislasi tentang perkembangan pembahasan RUU Terorisme. Forum itu menghadirkan pembicara Muhammad Syafi’ie (Ketua Pansus RUU Terorisme/ F-Gerindra), Akbar Faizal (Anggota Komisi III DPR RI/F-NasDem), M. Nasir Jamil (Anggota Komisi III DPR RI/F-PKS) dan Connie Rahakundini Bakrie (Pengamat Pertahanan dan Militer dari Universitas Indonesia).
Kegagalan Pemerintah
Muhammad Syafi’ie mengatakan bahwa RUU Teroris ini adalah berasal dari Pemerintah untuk menggantikan Undang-Undang No. 15/2003. RUU ini lebih banyak berisi muatan penindakan.
“Teroris harus diberantas, dengan penegakan hukum dan menghormati HAM. Karena itu undang-undang tidak lagi berbasis membunuh tetapi memberantas teroris, dengan melibatkan seluruh stakeholder yang terkait pemberantasan terorisme. Teroris ini lebih kepada reaksi dari kegagalan pemerintah dalam mendistribusikan, kesejahteraan dan keadilan,” ujarnya.
Menurutnya, penindakan terorisme dalam criminal justice system tetap diserahkan kepada kepolisian agar ada pertanggungjawaban hukumnya.
Sementara itu Akbar Faisal pada kesempatan itu mengatakan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme adalah salah satu poin yang vital dan mengemuka dalam pembahasan RUU terorisme.
“Kami telah menerima tim dari TNI yang dipimpin oleh Kasum TNI dan bahkan kepala-kepala staf TNI untuk berbicara dengan kami. Kesimpulannya mereka (TNI-red) tidak mau lagi hanya sekedar perbantuan tetapi mereka berkeinginan untuk terlibat penuh dalam pemberantasan terorisme,” jelasnya.
Menurutnya TNI juga meminta agar kalimat “tindak pidana terorisme” diganti dengan kalimat “tindak terorisme”. Akbar Faisal mengakui Indonesia memang lemah dari segi koordinasi. Ia juga meragukan apakah memang TNI dan Polri bisa bekerja sama.
“Ada baiknya RUU ini dikembalikan dulu lagi kepada Pemerintah. Pemerintah selesaikan dulu, apakah mau melibatkan TNI atau tidak,” ujarnya.
Nasir Jamil dalam forum itu mengatakan penanganan terorisme ini juga bicara tentang perlindungan HAM. Negara wajib melakukan kerjasama internasional karena isu terorisme sudah menjadi isu global. Negara juga harus melakukan kewajiban memfasilitasi sehingga terciptanya rakyat menikmati keamanan dan kemakmuran kolektif. Kalau tidak maka akan sulit menangani terorisme.
Sebenarnya di BNPT sudah tercantum mengenai pelibatan TNI dan Polri dalam pemberantasan terorisme. Tetapi karena koordinasi itu masih menjadi barang yang mahal, maka pemberantasan terorisme menjadi belum maksimal.
“Menurut saya, keterlibatan institusi yang menangani kedaulatan negara ini juga sebaiknya dilibatkan dalam pemberantasan terorisme. Yang melatih Densus 88 adalah Kopassus. Jadi Kopassus adalah gurunya Densus 88. Masa guru tidak dilibatkan,” katanya.
Menurutnya, pelibatan TNI ini bukan dimaksudkan bagi-bagi rejeki tetapi karena memang TNI ini ingin menjaga kedaulatan negara karena terorisme sudah menjadi proxy war sehingga penanganannya harus menyeluruh.
“Ada rencana RUU ini diberi nama RUU Penanggulangan Terorisme yang mencakup pencegahan, penindakan dan penanganannya. Kita juga harus mengedepankan hak-hak hukum tersangka terorisme. Kami sangat tidak keberatan kalau TNI dilibatkan. Selain itu jangan menjadikan umat Islam sebagai objek terorisme, karena Islam tidak mengajarkan terorisme. Namun memang ada sebagian umat Islam yang terlibat (terorisme-red),” tandasnya. (Web Warouw)