Rabu, 9 Juli 2025

YANG MANA NIH..? 3 Skenario Penumbangan Rezim Iran, Bisakah IRGC Atau Reza Pahlavi Naik Takhta?

JAKARTA – Serangan Israel kemelalui sejumlah fasilitas nuklir Iran, termasuk kantor penyiar nasional Iran (IRIB) masuk ke tahap pengkondisian menjatuhkan pemerintahan Iran di bawah kepemimpinan Ayatollah Ali Khamenei.

“Serangan Israel tampaknya lebih ditujukan untuk perubahan rezim dibanding sekadar pencegahan proliferasi nuklir,” ujar Nicole Grajewski, peneliti di Carnegie Endowment.

Namun, para analis memperingatkan, jatuhnya Pemimpin Tertinggi Iran Khamenei itu justru dapat membuka babak baru ketidakpastian dan kekacauan di kawasan Timur Tengah.

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan beberapa kemungkinan skenario:

1. Kudeta militer oleh IRGC

Skenario pertama yang paling mungkin terjadi saat rezim Khamenei jatuh adalah pengambilalihan kekuasaan oleh Korps Garda Revolusi Iran (IRGC).

“Kalau rezim jatuh, tentu harapannya adalah muncul pemerintahan liberal dan demokratis. Namun, besar kemungkinan bahwa entitas kuat lain seperti IRGC justru akan mengambil alih,” ujar Nicole Grajewski, peneliti di Carnegie Endowment.

Thomas Juneau, profesor di Universitas Ottawa, juga memperingatkan bahwa tanpa oposisi demokratis yang terorganisir, satu-satunya alternatif yang tersedia adalah kudeta oleh IRGC atau transisi dari teokrasi ke kediktatoran militer.

Skenario ini dinilai sangat berisiko karena IRGC dianggap merupakan kelompok garis keras, sehingga akan memperburuk hubungan Iran dengan dunia luar.

2. Reza Pahlavi naik takhta

Skenario kedua adalah kembalinya monarki di Iran di bawah Reza Pahlavi, putra mendiang Shah Mohammad Reza Pahlavi yang digulingkan pada 1979.

Saat ini, Reza Pahlavi tinggal di Amerika Serikat dan menjadi salah satu tokoh oposisi paling dikenal di luar negeri. Ia secara terbuka menunjukkan sikap berseberangan dengan rezim saat ini hingga menyebut Republik Iran berada di ambang kehancuran. Tak hanya itu, Pahlavi juga menuding Khamenei “bersembunyi di bawah tanah seperti tikus ketakutan” atas serangan Israel baru-baru ini.

Dalam beberapa pernyataannya, pria berusia 64 tahun itu menyerukan pemulihan hubungan dengan Israel, sebagaimana terjalin erat pada masa ayahnya.

Para pendukungnya bahkan mengusulkan istilah “Perjanjian Cyrus” sebagai simbol rekonsiliasi sejarah antara Iran dan Israel, merujuk pada Raja Persia kuno yang membebaskan orang Yahudi dari penawanan Babilonia.

Namun, Pahlavi tidak mendapat dukungan menyeluruh, baik di dalam Iran maupun di kalangan pengasingan. Nasionalisme para pendukungnya serta kedekatannya dengan Israel memicu perpecahan, terutama setelah ia menolak mengecam serangan udara Israel ke Iran.

Pakar Thomas Juneau menambahkan, meskipun Reza Pahlavi adalah sosok oposisi paling dikenal, baik di dalam maupun luar Iran, para pendukungnya cenderung melebih-lebihkan tingkat dukungan di dalam negeri.

Selain Pahlavi, kelompok oposisi lain Mujahidin Rakyat Iran (MEK), yang dipimpin Maryam Rajavi, juga mendukung penggulingan rezim.

Dalam pidatonya di Parlemen Eropa pada Rabu, Rajavi bahkan menyatakan, “Rakyat Iran menginginkan penggulingan rezim ini.”

Akan tetapi, MEK dibenci oleh banyak faksi oposisi lain dan dicurigai oleh sebagian besar rakyat Iran karena pernah mendukung Saddam Hussein dalam Perang Iran-Irak.

“Masalah terbesar dalam memikirkan alternatif jika Republik Islam tumbang adalah bahwa tidak ada oposisi demokratis yang terorganisir,” kata Juneau.

3. Pecahnya konflik etnis internal

Skenario ketiga yang tak kalah mengkhawatirkan jika rezim jatuh adalah meletusnya konflik etnis di dalam Iran. Sebagai informasi, Iran dihuni oleh berbagai kelompok minoritas seperti Kurdi, Arab, Baluch, dan Turkiye, yang hidup berdampingan dengan mayoritas Persia.

Jika pemerintahan Iran saat ini digulingkan, akan ada upaya dari negara-negara bermusuhan untuk memanfaatkan perpecahan etnis inetrnal.

Pelajaran dari Irak dan Libya Diketahui, dampak invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003 dan intervensi NATO di Libya pada 2011 bisa menjadi bayangan kekacauan jika rezim Iran tumbang. Kedua operasi itu memang menggulingkan para diktator, Saddam Hussein dan Moamer Kadhafi, namun juga memicu pertumpahan darah selama bertahun-tahun. Oleh sebab itu,

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengingatkan agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

“Kesalahan terbesar saat ini adalah mencoba mengganti rezim Iran lewat cara militer, karena itu akan membawa kekacauan,” kata Macron.

“Apakah ada yang berpikir bahwa apa yang terjadi di Irak tahun 2003 atau di Libya sebelumnya adalah ide bagus? Tidak!” tegas Macron.

Think tank berbasis di AS, Soufan Center, juga menyebut bahwa jatuhnya rezim Iran akan menyebabkan keamanan regional terganggu.

“Skenario pasca-kejatuhan rezim sangat tidak dapat diprediksi dan bisa memicu ketidakstabilan regional yang jauh lebih besar daripada Irak, dengan dampak global,” kata Soufan Center. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru