Selasa, 11 Februari 2025

50 Tahun Mempelajari Pembunuhan Massal 1965 (Bagian Kedua)

Oleh: DR Asvi Warman Adam

 

Menurut pendapat saya, tragedi 1965 memuat 5 aspek penting. Pertama, Apa sebenarnya yang terjadi pada 30 September 1965 yang membunuh 6 jenderal Angkatan Darat? Siapa otak dari kejadian peristiwa 30 September 1965 itu?

 

Aspek kedua adalah pembantaian massal sebanyak 500 ribu orang di semua daerah di seluruh Indonesia. Aspek ketiga adalah pembuangan 10.000 orang dari Pulau Jawa ke Pulau Buru pada tahun 1969-1979. Aspek keempat adalah pencabutan passport yang menyebabkan ribuan orang Indonesia yang berada di luar negeri kehilangan kewarganegaraan. Dan Aspek kelima adalah stigmatisasi dan diskriminasi pada korban dan keluarganya. Anak-anak korban tidak bisa menjadi pegawai negeri sipil atau menjadi prajurit militer dan polisi.

Mengungkap Peristiwa 1965 dapat dibagi dalam katagori diatas. Pembunuhan 6 jenderal telah disidangkan pada Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang mengantar belasan orang berhadapan dengan hukuman mati. Tentang otak dari peristiwa G30S masih diperdebatkan sampai hari ini. Berbagai narasi dari setiap peristiwa telah terbuka untuk dipelajari dalam era reformasi.

Sebelum terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo memaparkan visi dan misinya yang mendukung 9 agenda prioritas yang dikenal dengan Nawa Cita. Pada agenda keempat dari Nawa Cita tersebut adalah penegakan hukum. Sebagai prioritas salah satunya adalah  untuk melindungi hak azasi manusia dan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran kasus pelanggaran Hak Asazi Manusia. Namun para menteri kurang mengerti jalan penyelesaian berbagai pelanggaran Hak Azasi Manusia karena tidak membaca dan tidak mengerti Nawa Cita. Padahal semua pelanggaran Hak Asazi Manusia dalam sejarah Indonesai tercatat  sejak 1945-2000 .

Salah satu pelanggaran HAM yang paling menjadi perhatian adalah pembantaian massal pada tahun 1965, yang menyebabkan 500.000 orang terbunuh. Belanda selama berkuasa di kepualauan diseluruh Nusantara membunuh 125,000 orang pribumi, 75 ribu diantaranya di Aceh. Ini sebuah angka yang kurang dari jumlah orang yang dibunuh oleh orang Indonesia sendiri pasca tahun 1965.

Komnasham dan Kejaksaan Agung harus secara serius menindak lanjuti temuan pelanggaran-pelanggaran Hak Asazi Manusia agar Nawa Cita benar-benar dapat berjalan.

Kasus-kasus yang berhubungan dengan peristiwa 1965 yang bermunculan selama 50 tahun belakangan,  masih tetap belum memiliki penyelesaian yang adil.

Lima Solusi

Oleh karenanya, dalam waktu dekat ke depan, Presiden harus mengambil langkah atas nama negera meminta maaf pada korban pelanggaran HAM 1965 dan menindak lanjuti putusan Mahkamah Agung.

Langkah pertama, untuk kasus-kasus melawan kemanusiaan pada tahun 1965 harus dilakukan pengadilan Ad-hoc.

Langkah kedua, Presiden Indonesia harus meminta maaf pada ribuan patriot yang kehilangan warga negeranya setelah kudeta 30 September 1965. Pada tahun 1960-an Presiden Soekarno mengirim ribuan Mahid (Mahasiswa Ikatan Dinas) belajar ke luar negeri untuk bisa meningkatkan pembangunan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Karena dicuragai mendukung Soekarno, para mahasiswa kehilangan kewarga negaraannya. Walaupun, beberapa dari mereka telah berganti warga negara, namun mereka tetap setia setiap tahun merayakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia di Kedutaan Indonesia dan ikut membacakan teks Panca Sila. Mayoritas dari mahasiswa kini berusia 75 tahun, beberapa bahkan telah meninggal dunia.

Langkah ketiga, Presiden Indonesia disarankan untuk membuat pernyataan bahwa pemerintahan dimasa lalu telah berbuat kesalahan dengan membuang  lebih dari 10.000 orang ke Pulau Buru dan tinggal dalam pengasingan selama 10 tahun dari tahun 1969-1979. Tanpa pengadilan mereka bekerja dalam kamp-kamp konsentrasi, tidak mengetahui kapan akan dibebaskan. Masyarakat internasional sempat memprotes dan mendesak pemerintah Indonesia untuk mengakhiri kejahatan atas kemanusiaan di Indonesia.

Langkah keempat adalah, Presiden Republik Indonesia segera meminta maaf kepada anak-anak dan keluarga yang menjadi korban dalam setiap peristiwa yang berawal dari 30 September 1965. Pada tahun 1981, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan instruksi agar keluarga korban tidak diijinkan untuk menempati posisi di pemerintahan dan ketentaraan. Walaupun orang tua mereka bersalah karena terlibat dalam kudeta, pemerintah tidak memiliki hak untuk melarang individual mencari pekerjaan yang dijamin oleh UUD’45. Sementara itu, Presiden perlu segera merespon ganti rugi yang telah disahkan oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2011.

Sesuai dengan peninjauan kembali atas Keputusan Presiden Nomor 28/1975, tertanggal 25 Juni  1975, dari Presiden  Republik Indonesia sehubungan dengan perlakuan pada kelompok golongan C yang dituduh terlibat Kudeta 30 September 1965,– Mahkamah Agung telah menetapkan  lewat Keputusan MA Nomor 33P/HUM/2011 bahwa– Keputusan Presiden 28/1975 dan semua peraturan di bawahnya bertentangan dengan Undang-undang yang lebih tinggi.

Mahkamah Agung untuk itu memerintahkan Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Keputusan Presiden No 28/1975, sehubungan dengan perlakuan pada orang-orang yang dimasukkan ke dalam Golongan C tersebut.

Era refomasi mengalami kesulitan untuk melahirkan undang-undang pada tahun 2004 yang mengatur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dengan setengah hati Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menolak daftar calon anggota KKR yang diajukan oleh komite pemilihan untuk dipilih oleh DPR.

Mahkamah Konsititusi yang dipimpin oleh Jimly Asshidiqie belakangan menunda Undang-undang KKR dengan menggunakan Ultra Petita. Undang-undang yang dirancang oleh Kementerian Hukum dan HAM tidak pernah diserahkan oleh pemerintah kepada DPR. Padahal sebuah pengadilan HAM Ad-Hoc harus disiapkan setelah KKR mengambil peran menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Langkah kelima, sebuah terobosan dibutuhkan dengan mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) lewat Keputusan Presiden untuk bisa ditindak lanjuti segera. Sebuah komisi negara bisa dibentuk oleh Presiden dengan keanggotan terbatas yang akan bekerja dalam waktu yang singkat misalnya 2 tahun.

Tim dari komisi negara itu jangan beranggotakan Kejaksaan Agung atau lembaga hukum lainnya. Karena diantara mereka  dicurigai terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu, seperti mantan Jaksa Agung Soegih Arto yang bertanggung jawab pada kasus Pulau Buru.

Komisi itu harus independen dan saya mengusulkan terdiri dari 9 perempuan yang belasan tahun telah berpengalaman dalam menangai kasus-kasus hak azasi manusia. Komisi ini diharapkan membantu Presiden Joko Widodo untuk membuat terobosan dalam menemukan solusi yang tepat untuk menyelesiakan berbagai persoalan pelanggaran HAM yang tercantum dalam Nawa Cita. Bangsa ini telah menunggu selama 50 tahun untuk bisa maju tanpa hambatan.

*Judul asli tulisan ini  adalah ‘Fifty Years Study Of The  30th September Movement (5 Episode + 5 Aspects + 5 Solutions)’ yang menjadi naskah sambutan penulis sebagai Keynote Speaker pada International Symposium Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, 18-19 September 2015.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru