Kamis, 10 Oktober 2024

ANEH KOQ DIBIARIN SIH…? Ditemukan 878 kebun sawit ilegal, Komisi IV DPR: kerugian negara Rp 220 triliun

JAKARTA- Mafia kelapa sawit di tengah kasus minyak goreng di dalam negeri harus menjadi perhatian serius. Bahkan, anggota Komisi IV DPR RI, Darori Wonodipuro, menyebut ada 878 kebun sawit ilegal yang terbentang di berbagai pulau. Terlebih lagi, tidak ada upaya penertiban oleh pemerintah sejak 7 tahun terakhir.

Padahal, menurut dia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, telah diatur berbagai aturan terkait perusakan hutan.

Hal itu disampaikan Darori dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penyelesaian Penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan dengan Yayasan Auriga Nusantara, yakni Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Yayasan World Wide Fund For Nature (WWF) Indonesia, dan Tim Strategi Jangka Benah Fakultas Kehutanan UGM. RDPU tersebut juga menerima masukan seputar penyelesaian penggunaan dan pelepasan kawasan hutan, di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta.

Dikatakan Darori, ada sekitar 878 kebun sawit ilegal yang tersebar di 8 propinsi. “Ada 878 di 8 provinsi. Di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Riau, Jambi dan Jawa Barat. Luasnya 8,4 juta hektar, kerugiannya kayunya saja hampir Rp 220 triliun, ini sampai sekarang belum ada yang disentuh kenapa? Ini pencucian perusahaan, ini yang tadinya bermasalah diganti nama PT terus diminta pelepasan,” papar Darori.

Selain itu, Darori mengatakan, berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2020 ada sekitar 2,9 juta hektar lahan ilegal yang juga belum ditindaklanjuti. Untuk itu, Darori meminta kepada penggiat, pemerhati lingkungan, akademisi untuk dapat mendorong penindakan dan penertiban kebun-kebun sawit ilegal yang merugikan negara.

“Nah, yang menarik teman-teman, di Undang-Undang Cipta Kerja yang dulunya setiap perubahan kawasan hutan yang strategis harus persetujuan Komisi IV DPR RI itu dihapus. Tolong nanti jangan sampai menyalahkan Komisi IV kok diem saja, kita tidak ada lagi pengawasan langsung menyetujui itu, itu ada pasalnya di Ciptakerja,” tegas politisi Partai Gerindra ini.

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Darori menjelaskan, munculnya kebun sawit ilegal dulu disebabkan karena otonomi daerah, yang memberikan kewenangan penuh, termasuk kehutanan di ranah kabupaten. Namun, meski kini kewenangan telah ditarik ke tingkat provinsi, hal itu dinilai masih belum efektif. Pasalnya, di lapangan pengawasannya masih belum maksimal.

“Sekarang, kewenangan ditarik provinsi, provinsi membentuk KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan), tapi di lapangan tidak ada orang, di hutan lindung di Jawa maupun luar Jawa tambah hancur, karena tidak ada orang yang jaga. Ini faktalah, kita di Komisi IV mendorong kepada pemerintah apa yang harus dilakukan?” ungkap dia.

Sementara, sebelumnya perwakilan WWF Nursyamsu menyampaikan temuan hasil investigasi di lapangan. Dari hasil investigasi, pada tahun 2019 mereka menemukan 43 perusahaan yang terbukti mengembangkan perkebunan sawit dalam kawasan hutan secara ilegal. “Terbukti dari temuan – temuan kita, banyak perusahaan tidak hanya mengelola di HGU tetapi juga di luar HGU dan berada dalam kawasan hutan,” kata dia.

Tidak hanya itu, pihaknya menemukan bahwa setelah berlakunya UU Ciptakerja muncul beberapa perusahaan yang sebelumnya diduga ilegal berganti menjadi kelompok tani dan koperasi. “Ini yang sekarang terjadi, perusahaan yang tadi kami investigasi di tahun 2019 berubah menjadi papan informasi berupa kelompok tani dan koperasi. Jadi dari hasil peninjauan kami di lapangan banyak manuver pengguna pemodal/cukong/korporasi menjadi kelompok tani hingga koperasi,” jelasnya.

Dengan demikian, dia mengusulkan, perlunya transparansi publikasi data dan informasi kebun sawit yang terlanjur dalam kawasan hutan. Tujuannya, agar semua masyarakat tahu ada kebun sawit yang terlanjur dalam kawasan hutan. “Berkoordinasi dan pelibatan teknis dengan pemerintah daerah, berkolaborasi dengan CSO dan pihak terkait mulai dari pendataan hingga rekomendasi penyelesaian. Ini penting karena beberapa CSO bisa jadi memiliki data dan informasi,” urai dia.

Sosialisasi ke masyarakat pun juga diperlukan, agar pemerintah tidak terkesan hanya memfasilitasi keterlanjuran kebun sawit dalam kawasan yang bukan masyarakat tempatan. “Sementara masyarakat tempatan yang dulu tidak ikut merambah kawasan tidak diperhatikan oleh pemerintah. Jangan sampai terjadi konflik horizontal. Ketiga, perlu pengawasan semua pihak, karena ada potensi ruang terbuka praktik korupsi ketika menentukan skema penyelesaian, apakah 110A atau 110B,” tambahnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru