JAKARTA- Kantor Staff Presiden (KSP) yang didirikan oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo dikuatirkan merusak sistim ketatanegaraan sehingga tidak perlu dilanjutkan. Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet dianggap sudah cukup mempu menghadapi hambatan dan sabotase birokrasi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Hal ini disampaikan oleh anggota DPR dari Partai Demokrat (PD), Khatibul Umam Wiranu kepada bergelora.com di Jakarta, Senin (31/8).
“Tidak ada (birokrasi-red) yang menghambat baik era Gusdur, Mega maupun SBY. Terbukti Setneg dan Setkab berfungsi secara baik,” ujarnya.
Namun ia mengakui bahwa birokrasi sekarang menurutnya secara umum adalah birokrasi yang mementingkan dirinya sendiri. Orang menjadi birokrat sebagai tujuan, bukan sebagai sarana untuk memberikan pelayanan kepada rakyat.
“Tugas birokrasi itu menjalankan aturan, tetapi masih banyak birokrat yang mensiasati aturan demi kepentingan dirinya,” ujarnya ketika ditanya bagaimana dengan dengan laporan buruknya berbagai layanan publik, rendahnya serapan anggaran, korupsi, disparitas pusat daerah terutama daerah terpencil, terluar dan termiskin dan lainnya yang sampai sekarang tidak bisa diatasi dari pusat sampai daerah oleh setiap rejim penguasa.
Ia menjelaskan bahwa tujuan bernegara adalah membuat pemerintahan tidak lain adalah untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama yang diatur dan dijalankan sebaik baiknya oleh birokrasi.
“Sudah ada Undang-undang Aparatur Sipil Negara tahun 2014. Jalankan undang-undang tersebut secara baik konsisten dan tegas. Reformasi birokrasi akan berjalan,” ujarnya menjawab pertanyaan mengapa, walaupun sudah ada reformasi birokrasi, namun tidak ada perbaikan signifikan.
Dalam hal ini menurutnya yang menjadi leader dalam reformasi birokrasi adalah Menpan. Menambah institusi baru justru akan memperburuk, mendisfungsi kementerian dan lembaga dan birokrasi yang sudah ada.
“Tak perlu ada KSP karena Presiden sudah punya institusi resmi yang membackup kinerjanya yakni Setneg dan Setkab. Keberadaan KSP itu akan merusak sistem ketatanegaraan kita yang sudah diundangkan melalui Undang-undang Tentang Kementerian Negara,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa birokrasi yang dibangun sejak reformasi telah menciptakan sekitar 80 institusi baru diluar kementerian dan lembaga yang sudah mapan yang dibangun sejak Indonesia merdeka sampai dengan orde baru.
“Lembaga-lembaga baru ini dirasa membebani anggaran negara. KSP sekaligus mendisfungsi tupoksi kementerian dan lembaga negara yang sudah ada,” ujarnya.
Perlemah Kepresidenan
Sebelumnya Sekretaris Jenderal, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat), Hendrik Dikson Sirait kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (30/8) mengatakan bahwa KSP penting untuk memperkuat lembaga Kepresidenan. “Saat ini dibutuhkan lembaga kepresidenan yang kuat dan efektif. Dalam sistem ini, presiden memerlukan sarana/instrumen tertentu untuk memastikan jalannya pemerintahan,” ujarnya.
Menurutnya, pandangan yang menyatakan bahwa KSP tidak diperlukan tentu saja kurang tepat. Pandangan semacam ini berimplikasi pada pelemahan lembaga kepresidenan. Di samping parlemen yang kuat, sistem presidensial juga membutuhkan lembaga kepresidenan yang kuat dan efektif.
“KSP memang tidak tertulis dalam konstitusi. Namun, konstitusi kita dengan jelas menganut sistem pemerintahan presidensial. Di sisi lain, sistem presidensial yang kita anut sudah dengan sendirinya harus membayangkan bahwa lembaga kepresidenan memerlukan instrumen tertentu yang mampu menunjang efektifas kerja presiden,” ujarnya.
Menurutnya, sulit rasanya membayangkan presiden bekerja tanpa disertai instrumen kelembagaan. Sebagai kepala eksekutif yang memegang tanggungjawab tertinggi dalam kebijakan pemerintahan secara umum, presiden memerlukan instrumen yang berfungsi sebagai ‘mata’ dan ‘telinga’ yang setiap saat dapat memberikan informasi yang diperlukan.
“Oleh karenanya, instrumen semacam ini akan sangat membantu presiden untuk bertindak, merespon dan memutuskan dengan cepat atas berbagai hal yang dianggap penting dan strategis,” ujarnya.
Apalagi menurutnya jika mengingat paska reformasi salah satu kekuatan politik warisan orde baru yg masih ‘gagal’ ditundukkan adalah ‘birokrasi’. Sementara selama ini lembaga atau insrtrumen politik terdekat yang berada di lingkungan Presiden adalah kantor Sekertaris Kabinet (Seskab) dan Sekertariat Negara (Sekneg).
Selain menteri dan sejumlah staf khusus yang terbatas, kedua kementerian tersebut menurutnya masih ditempati oleh PNS atau birokrasi dengan kultur warisan orde baru.
“Sehingga tidak heran acap terjadi ‘sabotase’ birokrasi di lingkungan istana Presiden. Heboh sempat di keluarkannya Kepres tentang mobil pejabat dan ‘salah ketik’ dalam undangan Kepala BIN terpilih yang terjadi beberapa waktu lalu adalah contoh ancaman sabotase dalam lingkungan Presiden,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa lemahnya posisi kelembagaan presiden jelas akan berimplikasi pada kurang efektifnya kebijakan dan manajemen pemerintahan secara umum. Perlunya presiden memiliki instrumen yang efektif untuk mendukung tugas-tugasnya merupakan konsekuensi yang sangat logis dan wajar dalam sistem presidensial.
“Dengan kata lain KSP adalah lembaga yang diisi oleh orang-orang yang dibawa sekaligus kepercayaan Presiden terpilih. Oleh karena itu, sudah saatnya kita meletakkan sebuah landasan kertatanegaraan yang dapat menjamin efektifitas kerja lembaga kepresidenan, siapapun yang menjadi presiden,” ujarnya. (Calvin G. Eben-Haezer)