KUPANG- Pemerintah harus menempuh jalur pidana dalam kasus pencemaran Laut Timor akibat tumpahan minyak di Blok Montara milik perusahaan PTTEP Australasia. Pasalnya, perusahaan patungan Thailand dan Australia itu tidak pernah secara langsung melakukan studi atau penelitian terkait tumpahan minyak dan gas yang merembes hingga ke kawasan pantai di beberapa wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Demikian rangkuman pandangan dari anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha dan Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Hermawi Taslim secara terpisah di Jakarta, Sabtu (15/4).
Pihak perusahaan, kata Satya, menyebutkan tidak ada pencemaran di kawasan perairan Indonesia hingga ke pantai-pantai di NTT. Faktanya, ada ribuan nelayan yang terkena dampak pencemaran karena usaha budidaya rumput laut berhenti total akibat pencemaran tersebut.
“Ini perlu ketegasan pemerintah untuk memberikan sanksi pidana kepada perusahaan,” ujarnya.
Sebelumnya, anggota Fraksi Partai Golkar ini juga bersuara keras agar pemerintah Indonesia membekukan segala aktivitas induk perusahaan PTTEP jika tidak menunjukkan niat untuk menyelesaikan kasus pencemaran.
Seperti diketahui, baik PTTEP dan Pemerintah Australia mengatakan bahwa tumpahan minyak Montara tidak pernah sampai di pantai-pantai di Indonesia. Hal itu berdasarkan pada penelitian ilmiah beberapa ilmuwan yang disewa oleh PTTEP dari dua perguruan tinggi di Indonesia bahwa tumpahan minyak itu dibawa angin dan arus kencang dari arus lintas Indonesia (ARLINDO ) di tengah Laut Timor menuju laut lepas Samudera Hindia.
Sebaliknya, sejumlah ilmuwan Indonesia dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga melakukan penelitian untuk pemerintah dengan tegas menyatakan bahwa tumpahan minyak Montara telah mencemari pantai-pantai di Indonesia.
Bahkan, dengan argumentasi para ilmuwan tersebut Deputy I Kemenko Bidang Kemaritiman Havaz Oegroseno berani pasang badan untuk mengajukan gugatan kerusakan ekosistem terhadap PTTEP ke pengadilan di Indonesia.
Taslim menjelaskan jalur pidana harus dilakukan segera karena ada unsur yang sudah dilanggar BUMN Thailand tersebut. PTTEP sebagai induk perusahaan PTTEP Australasia pun mengakui belum pernah melakukan studi setelah ledakan dari anjungan Montara pada 21 Agustus 2009 itu.
“Proses hukum pidana harus ditempuh karena ada unsur yang sudah terpenuhi,” katanya.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, pemerintah memiliki alasan kuat untuk membawa kasus ini masuk dalam perkara pidana dan bukan lagi masalah perdata agar kasus ini cepat selesai. Hal ini diperkuat lagi dengan dukungan sejumlah pakar yang membantu gugatan class action rakyat NTT di Australia juga sependapat dengan para ilmuwan yang membantu pemerintah Indonesia.
Sementara itu, Direktur Ocean Watch Indonesia (OWI) Herman Jaya mengatakan Indonesia harus menindaklanjuti janji pemerintah Australia melalui Menteri Luar Negeri Julie Bishop pada awal Maret 2017 lalu. Ketika menyambangi Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Bishop menyebutkan salah satu komitmen yang akan diselesaikan kedua pihak adalah dampak tumpahan minyak di Laut Timor hingga ke wilayah NTT.
“Ini perlu tindak lanjut dan jangan sampai hanya sebatas komitmen. Rakyat NTT seakan-akan sengaja dibiarkan untuk terus menderita akibat pencemaran itu,” tegasnya. (Ria)