JAKARTA – KH Said Aqil Siroj Ketua Umum PBNU mengatakan, walaupun selama ini Freeport telah berjasa ikut membangun Papua dan perekonomian nasional, tapi harus tunduk pada Undang-undang di Indonesia dan tidak semaunya sendiri.
Kiai Said Aqil menyampaikan pernyataannya itu di Kantor PBNU usai bertemu Ignatius Jonan Menteri ESDM di Kantor Kementrian ESDM, Senin (20/2) dan ditulis MusliModerat.net dan dikutip Bergelora.com Jumat (24/2) di Jakarta.
Pertemuannya ini merupakan bentuk dukungan kepada pemerintah dalam menghadapi polemik PT Freeport Indonesia yang saat ini masih belum menerima Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang disodorkan pemerintah.
PBNU sebagai kelompok yang selalu berada di belakang pemerintah sebagai mitra masyarakat berkewajiban mengawal kebijakan pemerintah menghadapi PT Freeport yang akan menggugat pemerintah Indonesia ke peradilan internasional.
GP Ansor Siaga Satu
Sebelumnya GP Ansor tegas meminta pemerintah, dalam hal ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, tetap berani dan konsisten menjalankan amanat konstitusi, serta tidak mudah tunduk pada tekanan dari pihak yang pro Freeport.
“GP Ansor mendukung sepenuhnya upaya pemerintah untuk menjalankan amanat konstitusi yang juga diakui secara sah dan meyakinkan oleh hukum internasional terkait penguasaan maupun pengelolaan bumi, air dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” kata Ketua Umum PP GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, dalam keterangan pers, Senin (20/2).
Bahkan, Yaqut mengakui bahwa ia telah memerintahkan semua anggota maupun kader Ansor dan Banser untuk siaga satu komando dan siap membantu melakukan akuisisi, analisis dan artikulasi Big Data atas PTFI, dan melakukan rekayasa-rekayasa sosial bila dibutuhkan negara.
“Semua anggota dan kader sudah siaga satu dan siap membantu jika dibutuhkan negara, khususnya jika PTFI menempuh jalur arbitrase, di mana sebelumnya juga sudah melakukan pemecatan pegawai sebagai upaya menekan pemerintah sekaligus menunjukkan wajah asli kapitalisme korporasi asing,” jelasnya.
Lebih lanjut, GP Ansor menilai bahwa PP 1/2017 yang mengubah Pasal 97 PP 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, sudah mencerminkan semangat penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam seperti dikehendaki konstitusi.
Pasal tersebut berkaitan dengan kewajiban pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang sahamnya dimiliki asing untuk melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga paling sedikit 51 persen dimiliki peserta Indonesia.
“Haruslah tunduk dan patuh pada aturan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, agar dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tegas anggota Komisi VI DPR RI itu.
PP 1/ 2017 yang merujuk pada Pasal 169 dan Pasal 170 jo. Pasal 103 ayat (1) UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) mengatur kewajiban pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba tersebut diundangkan, atau selambat-lambatnya tanggal 12 Januari 2014.
GP Ansor juga mendesak Menteri ESDM agar tetap berani, konsisten dan teguh berpegang pada menjalankan amanat konstitusi seperti tegas dinyatakan PP 1/2017.
Organisasi sayap Nahdlatul Ulama itu siap bekerjasama untuk memastikan agar pelaksanaan penerapan PP 1/2017 berjalan dengan baik, dengan secara khusus mempertimbangkan aspek lingkungan, hak asasi manusia, maupun perikehidupan yang layak, khususnya bagi rakyat di Papua.
Arbitrase Internasional
Sebelumnya dilaporkan, Freeport kini sedang mengambil ancang-ancang untuk menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional.
Richard C Adkerson President dan CEO Freeport McMoRan Inc melakukan konferensi pers di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (20/2) untuk menjelaskan duduk permasalahan. Ia menegaskan, Freeport tak dapat menerima IUPK.
Pemerintah telah memberikan izin rekomendasi ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia. Namun Freeport menolak berubah dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai syarat izin ekspor konsentrat tersebut.
Freeport menolak mengubah status jadi IUPK lantaran tidak adanya jaminan kepastian dan stabilitas untuk investasi jangka panjang di Tambang Grasberg, Papua dalam IUPK tersebut.
Jonan berharap Freeport tidak buru-buru membawa persoalan ini ke Arbitrase Internasional tapi kalau ngotot Menteri ESDM siap menghadapinya.
PT Freeport Indonesia telah menghentikan kegiatan produksinya sejak 10 Februari 2017 lalu. Para pekerja tambangnya di Mimika, Papua yang berjumlah puluhan ribu sudah dirumahkan. Jika ini terus berlangsung perekonomian di Papua akan ikut goyang. Lebih dari 90% pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Mimika, sekitar 37% PAD Provinsi Papua berasal dari Freeport.
Puluhan ribu pekerjanya pun mengancam menduduki kantor-kantor pemerintah, bandara dan pelabuhan kalau pemerintah tak segera memulihkan kegiatan produksi Freeport.
Pangkal masalahnya, Freeport membutuhkan kepastian dan stabilitas untuk investasi jangka panjangnya di Tambang Grasberg, Papua. Sedangkan pemerintah menginginkan kendali yang lebih kuat atas kekayaan sumber daya mineral. (Web Warouw)
Â