JAKARTA – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tengah memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-50 di JIExpo Kemayoran Jakarta, hari ini, Selasa (10/1/2023).
Memasuki usia yang ke-50, PDIP merupakan partai yang memiliki sejarah panjang yang cukup dramatis dalam perpolitikan Indonesia. Salah satu tragedi besar yang pernah menimpa PDIP adalah peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996 atau disebut juga dengan peristiwa Sabtu Kelabu.
Di mana terjadi penyerangan untuk pengambilalihan paksa gedung kantor PDI yang saat itu diduduki oleh pendukung Megawati Soekarnoputri.
Hingga kini PDIP masih terus berjuang mencari keadilan atas peristiwa Kudatuli. Mereka ingin agar Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dapat mengungkap siapa aktor intelektual penyerangan kantor PDI saat itu.
Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, akan terus membangun optimisme para kader partainya sehingga siapapun yang menjadi aktor-aktor intelektual serangan PDI saat itu, dapat dituntut agar keadilan ditegakkan.
Peristiwa Kudatuli
Tragedi 27 Juli 1996 selalu dikenal dengan nama ‘Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli alias Kudatuli. Berupa serangan berdarah yang terjadi di kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat.
Sabtu pagi kala itu, lima orang meninggal dunia serta ratusan lainnya luka-luka. Kantor yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri diambil alih secara paksa oleh massa Soerjadi Soedirdja, Ketua Umum PDI versi Kongres Medan.
Catatan Liputan6.com yang dihimpun dari berbagai sumber, Selasa (27/7/2021), mengungkapkan penyerbuan itu ditengarai ada keterlibatan aparat TNI-Polri. Peristiwa itu meletupkan kerusuhan yang meluas di beberapa wilayah Jakarta, khususnya kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Pemerintah saat itu menuding aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Jajaran Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko yang saat itu menjadi aktivis PRD mendapat hukuman terberat, 13 tahun penjara.
Presiden Soeharto dan pembantu militernya diduga merekayasa Kongres PDI di Medan dan mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Upaya pemerintahan Orde Baru menggulingkan Megawati pun dilawan pendukung Megawati lewat gelaran mimbar bebas di Kantor DPP PDI Jakarta.
Mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh dan aktivis penentang Orde Baru membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi upaya paksa pengambilalihan, disambut dengan perlawanan.
Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan, sebanyak lima orang meninggal dunia dalam peristiwa tersebut. Selain itu, 149 orang baik dari kalangan sipil maupun aparat menderita luka-luka dan 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.
Pengadilan Koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI. Dia dihukum dua bulan sepuluh hari.
Sementara dua perwira militer yang diadili, mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya, Kol CZI Budi Purnama dan mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya, Letnan Satu (Inf) Suharto divonis bebas.
Mengutip artikel Majalah Tempo: Diponegoro 58, Suatu Hari Pada 1996 Edisi 26 Juli 2004, Megawati diduga tahu rencana penyerangan kantor PDI pada 27 Juli.
Kala itu, Wakil Komandan Satgas PDI pro-Mega, Soesilo Muslim melaporkan melalui sambungan telepon dengan terburu-buru adanya serangan terhadap kantor PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, tempat dirinya sedang berada. Muslim mengaku baru saja menolak tawaran Komandan Kodim dan Kepala Polres Jakarta Pusat yang memintanya menyerah dan meninggalkan kantor itu.
Dari Kebagusan, Megawati Memberi perintah.
“Pak Muslim, Bapak tetap di tempat dan jangan melakukan apa-apa.” Gagang telepon kembali diletakkan.
Megawati ditemani oleh staf pribadinya, Ricardo, yang kemudian menjadi Wakil Sekjen Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK). Dalam situasi itu, Ricardo mencoba menghubungi nomor telepon ruang Ketua Umum di Jalan Diponegoro.
Belum lama obrolan, terdengar suara pintu didobrak. Suara tendangan dan pukulan terdengar menghantam segala benda di ruangan itu, termasuk jeritan orang-orang dipukul.
“Ini keadaannya sudah enggak bener, Mbak,” kata Ricardo kepada Megawati, yang tampak makin gelisah. “Sekarang saya mau bilang apa, mau ngapain? Sudah, kamu temani saya di sini,” jawab Mega.
Ricardo juga mendapat perintah untuk memusnahkan sejumlah dokumen yang kira-kira tidak baik, begitu istilahnya. Tidak lama, satu per satu tokoh pendukung Megawati datang, mulai dari Sophan Sophiaan, Mangara Siahaan, Dimyati Hartono, Eros Djarot, dan beberapa tokoh lainnya.
Semua mendesak Megawati turun ke lapangan. Mereka menangis, namun siap jika Megawati memerintahkan serangan balik.
“Kita semua sudah stay di Kebagusan,” kata Eros.
Tidak tahu mau apa, satu per satu kemudian meninggalkan Kebagusan sekitar pukul tiga sore. Tiba-tiba, sebuah pesan melalui faksimile berisikan daftar korban masuk ke Kebagusan. Alamat pengirimnya kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang letaknya kira-kira 100 meter dari kantor PDI yang diambil alih.
“Entah siapa yang mengirim, karena saya tahu saat itu LBH sudah diduduki militer,” kata Ricardo.
59 Orang Korban
Dalam pesan menyebutkan ada 59 orang menjadi korban. Megawati lantas meminta stafnya menghubungi orang-orang yang dikhawatirkan menjadi korban.
Menjelang petang, mesin faksimile terus-menerus mengeluarkan pesan yang dikirim dari segala penjuru, mulai data korban dari berbagai versi, ucapan simpati, sampai sekadar kalimat-kalimat pemompa semangat. Namun, suasana di Kebagusan tetap tenang.
Masih berdasarkan Majalah Tempo: Diponegoro 58, Suatu Hari Pada 1996 Edisi 26 Juli 2004, tiga bulan usai peristiwa itu, Komnas HAM menyebut korban tewas hanya lima orang, itu pun terjadi di luar gedung.
Hanya saja, sejumlah saksi mata meyakini bahwa korban di dalam gedung bisa mencapai belasan orang. Kondisi itu membuat berandai-andai, seandainya Megawati sudah tahu lebih dulu.
Banyak yang meragukan Megawati tidak tahu peristiwa itu bakal terjadi. Salah satunya Alex Widya Siregar, saat itu menjadi Wakil Bendahara PDI versi Soerjadi yang mengaku bertanggung jawab atas penyerbuan itu.
Pada 21 Juli, Alex merekrut seseorang bernama Sena Bela yang mengaku sebagai koordinator preman di Kebun Raya Bogor. Sena ternyata gagal membuktikan janjinya membawa 5 ribu preman untuk membantu penyerbuan.
Alex yang marah kemudian mengusir Sena. Sena teryata langsung membelot ke kubu Mega dan membocorkan rencana penyerangan itu.
Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), R.O. Tambunan mengatakan bahwa Megawati pernah berterus terang kepadanya. Saat itu, Megawati mengaku mendapat informasi penyerbuan akan dilakukan pada hari Sabtu dari seorang mantan petinggi militer.
“Benny Moerdani. Dia telepon saya,” kata Tambunan menirukan ucapan Megawati.
Bahkan dalam persidangan kasus korban 27 Juli yang berlangsung setahun setelah peristiwa penyerangan, Megawati juga mengaku sudah tahu rencana tersebut sebelum hari penyerangan.
“Dia (Megawati) sudah tahu dua hari sebelumnya,” kata Eros Djarot, yang mendirikan PNBK.
Aktivis pergerakan yang terlibat panggung demokrasi di jalan Diponegoro juga disebut sudah tahu. Sejak pukul dua malam, Eros memerintahkan mereka keluar dari Diponegoro, hanya saja masih ada yang tinggal. Seperti Albert, yang akhirnya mengalami luka sobek di kepala.
Pernyataan Eros dikuatkan Haryanto Taslam, yang saat itu menjabat Wakil Sekjen DPP PDI. Menurutnya, malam itu pimpinan PDI mengalihkan koordinator keamanan dari Mangara Siahaan ke Soesilo Muslim, mantan Mayor Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat).
“Ketika itu dia (Soesilo) sudah kontrak mati,” kata Taslam.
Namun begitu, serangan yang diduga akan terjadi tengah malam ternyata malah baru muncul pagi harinya. Sementara kondisinya semua anggota satgas baru saja tidur setelah berjaga semalaman.
Para korban yang tergabung dalam Forum Komunikasi Korban 124 pun kemudian sempat bertemu dengan Megawati, menanyakan sikap dan tanggung jawab partai terhadap para korban peristiwa tersebut. Pertemuan terjadi pada April 2000 saat Megawati sudah jadi Wakil Presiden RI.
Jawaban Megawati di luar dugaan, termasuk Taslam, yang waktu itu diminta menemani sebagai fungsionaris PDI Perjuangan. Megawati balik bertanya pada para korban, “Siapa suruh kalian datang ke Diponegoro? Siapa suruh kalian membela saya?” begitu Taslam menirukan kalimat Megawati.
Para korban kehilangan kata-kata. Mereka langsung menangis.
Sementara itu, mantan Sekjen PDI Perjuangan Sutjipto memastikan Megawati tidak tahu hari penyerbuan itu. Dia mengaku sebagai orang pertama yang tersinggung kalau memang Megawati membiarkan peristiwa itu terjadi.
“Kalau ancaman-ancaman (akan ada serangan) yang diterima sebelumnya itu kan biasa,” ujarnya.
Mengapa Belum Tuntas?
Wakil Menkumham Edward Omar Sharif Hiariej pernah menjelaskan alasan peristiwa Kudatuli ini tak kunjung usai hingga kini.
Saat peringatan peristiwa Kudatuli pada Kamis, 21 Juli 2022 lalu, Hiariej mengatakan, salah satu kelemahan dalam penuntasan penyerangan 27 Juli 1996 adalah kasus ini belum dimasukkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM.
“Komnas HAM sampai detik ini belum pernah merekomendasikan kasus 27 Juli ini masuk dalam pelanggaran berat HAM, berdasarkan UU 26 tahun 2000 ini penyelidikannya adalah Komnas HAM,” kata Hiariej.
Hiariej melanjutkan, untuk masuk ke pengadilan HAM, adalah keputusan presiden, dan ini adalah suatu mekanisme yang mau tidak mau adalah proses politik.
“Jadi setelah Komnas HAM merekomendasikan bahwa ini masuk dalam pelanggaran berat HAM kemudian menyerahkan ke Kejaksaan Agung, maka untuk pembentukan pengadilan HAM ini perlu persetujuan DPR. Jadi sangat kental dalam politik,” beber Hiariej.
Menurutnya, peristiwa 27 Juli 1996 itu adalah kejahatan demokrasi. Dari persepektif pelanggaran HAM berat, kasus ini adalah kejahatan luar biasa, sesuai UU Nomor 26 tahun 2000.
PRD dan Ketakutan Soeharto
Kepada Bergelora.com di Jakarra dilaporkan, Kudatuli adalah upaya Orde Baru untuk mematikan perlawanan rakyat terhadap kediktaktoran Soeharto. Berangkat dari ketakutan terhadap Partai Rakyat Demokratik (PRD) dibawah kepemimpinan Budiman Sudjatmiko yang tercium dibalik dukungan terhadap Megawati yang saat itu dizolimi oleh Orde Baru dalam Kongres PDI.
Saat itu kepemimpinan PRD memutuskan untuk mendirikan panggung mimbar bebas rakyat di Markas PDI di Jalan Diponogoro.
“Tujuannya adalah untuk menggalang solidaritas terhadap Megawati dan menegaskannya sebagai ketua umum PDI yang sah,” demikian Sekjen PRD, Petrus H. Harjanto kepada Bergelora.com.
Beberapa pimpinan PRD diperintahkan untuk memperkuat mimbar-mimbar rakyat di kantor PDI tersebut. Selain Budiman Sujatmiko, dr. Ribka Tjiptaning, Ketua Umum Komite Pembela Megawati (KPM), Garda Sembiring, pimpinan Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID), WJ Thukul, Ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat dan Imam Budi Sanyoto, Ketua Serikat Tani Nasional (STN).
Saat itu, Dita Indah Sari yang saat itu sebagai Ketua Umum Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) sedang di penjara di Surabaya bersama Coen Husein Pontoh dari Serikat Tani Nasional (STN) dan M. Soleh dari SMID Surabaya. Mereka tertangkap dalam pemogokan ribuan buruh di Surabaya sebelumnya.
Menurut Petrus, laporan intelejen Orde Baru kepada rupanya menakutkan Presiden Soeharto saat itu, dan memerintahkan untuk menyerbu dan membubarkannya.
Rupanya Soeharto ketakutan dikejar dosa-dosanya yang telah mengorbankan jutaan nyawa rakyatnya dari 1965, Aceh, Papua, Timor-timur, Lampung, Tanjung Priok dan banyak kasus lagi.
Kerusuhan 27 Juli atau biasa disebut “Kudatuli” itu meninggalkan sejumlah pertanyaan. Salah satu pertanyaan yang kerap muncul ialah siapa yang mendalangi kerusuhan itu. Saat itu rezim Orde Baru menyebut Partai Rakyat Demokratik (PRD) berada di balik kerusuhan tersebut lantaran dinilai telah secara nyata melawan Orde Baru.
Kompas, 31 Juli 1996 menuliskan, Menko Polkam Soesilo Soedarman mengatakan, PRD menunjukkan kemiripan dengan PKI terutama dari istilah-istilah yang digunakan dalam manifesto politik tertanggal 22 Juli 1996.
Menurut Soesilo, PRD hanya satu dari beberapa pihak yang disebut membonceng kerusuhan tersebut.
Menanggapi tudingan itu, Ketua Umum PRD Agus Jabo Priyono menyatakan peristiwa Kudatuli sedianya merupakan akumulasi dari kekecewaan terhadap Orde Baru yang mengontrol semua lini kehidupan masyarakat.
“Akumulasi kemarahan seluruh eksponen kelompok masyarakat menyatu dalam mimbar-mimbar bebas di Kantor DPP PDI kala itu,” jelasnya pada Kompas.27 Juli 2020.
Agus menambahkan, saat itu seluruh kekuatan pro demokrasi berpikir bahwa mereka membutuhkan simbol perlawanan terhadap Suharto. Mereka akhirnya memilih Megawati sebagai simbol perlawanan. Sebabnya, terpilihnya putri Bung Karno sebagai Ketua Umum PDI itu kabarnya juga tak disetujui Presiden Suharto.
Ia mengakui saat itu PRD juga menjadi motor penggerak mimbar bebas pada 27 Juli di Kantor DPP PDI. Bahkan lima hari sebelumnya PRD mendeklarasikan diri sebagai partai politik baru di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang tak jauh dari Kantor DPP PDI.
Dengan adanya deklarasi tersebut maka PRD secara tak langsung menentang Orde Baru yang membatasi jumlah partai politik hanya dua dengan satu golongan yakni Golongan Karya (Golkar).
“Saat itu Orde Baru memandang PRD sebagai organ politik yang berpotensi mendelegitimasi mereka karena berani menentang kebijakan pembatasan partai politik dan dwifungsi ABRI yang menjadi kekuatan utama Orde Baru,” lanjut Agus.
Setelah pemerintah Orde Baru mengumumkan, PRD adalah dalang, maka pengejaran dilakukan kepada semua aktivis PRD di seluruh Indonesia.
Beberapa kader dan pimpinan PRD ditangkap di Medan, Lampung, Bandung, Bogor, Semarang, Yogyakarta, Semarang, Solo, Palu, Makassar, Mataram dan Manado. Penyiksaan dilakukan untuk mencari pimpinan PRD yang saat itu susah ditangkap. Sementara Dokter Ribka Tjiptaning di Jakarta ditangkap dan disiksa kemudian dilepas bebaskan.
Akhirnya beberapa bulan kemudian, karena kebocoran kurir yang ditangkap, rombongan pimpinan PRD akhirnya bisa ditangkap. Mereka adalah Budiman Sujatmiko, Petrus Harjanto, Garda Sembiring, Jakobus Eko Kurniawan, Ignatius Pranowo dan Suroso. Menyusul kemudian I Gusti Anom Astika dan Wilson. Mereka disidang dan di vonis penjara dan baru dilepas oleh Presiden BJ Habibie setelah Soeharto melepaskan Jabatannya pada 21 Mei 1998.
Diakui atau tidak, Peristiwa 27 Juli 1996 menjadi tonggak sejarah penting bagi perjuangan melawan kediktaktoran Soeharto dan Orde Baru. Walaupun Megawati juga tidak mengakuinya. (Web Warouw)