JAKARTA- Propaganda tentang kebangkitan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mengaitkan sejumlah kegiatan yang mempromosikan pengungkapan kebenaran peristiwa 1965, baik melalui film, diskusi, penerbitan buku dan lainnya diduga merupakan desain pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengadu domba masyarakat, menghalangi niat negara melakukan membongkar kebohongan dan membangun rekonsiliasi, dan membenarkan seluruh pembatasan dan persekusi kebebasan sipil. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (10/5) di Jakarta.
“Penyebaran stigma PKI terhadap beberapa kegiatan telah membangkitkan kebencian orang pada upaya-upaya persuasif, dialogis, dan solutif bagi pemenuhan hak-hak korban peristiwa 1965,” ujarnya.
Ujarnya, agak ganjil ketika ada TNI dan Polri merasa confirm bahwa PKI akan bangkit, padahal mereka memiliki intelijen yang bisa memberikan informasi akurat perihal fenomena di balik berbagai pembatasan dan persekusi atas kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul yang dalam 3 bulan terakhir terus terjadi.
Masyarakat awam pun menurutnya sebenarnya ragu akan propaganda kebangkitan PKI mengingat konstruksi ketatanegaraan Indonesia yang semakin demokratis. Di sisi lain, PKI sebagai sebuah partai juga mustahil bisa berdiri di Indonesia.
“Sikap TNI dan Polri yang turut mereproduksi propaganda tersebut menunjukkan bahwa intelijen mereka tidak bekerja. Atau bisa jadi justru pihak TNI adalah bagian dari kelompok yang melakukan penolakan atas upaya masyarakat sipil mendorong pengungkapan kebenaran,” ujarnya
Situasi ini menurut Hendardi jelas tidak produktif bagi praktik demokrasi dan pemajuan HAM. Apalagi pernyataan-pernyataan Menhan RI misalnya, bukan malah menyejukkan tapi malah menyebarkan kebencian dan memperkuat segregasi sosial.
“Publik perlu tahu bahwa korban dari propaganda itu bukan hanya korban 1965 tetapi kebebasan sipil warga. Bahkan mereka yang tidak membahas soal PKI pun dipersekusi dengan stigma yang sama. Ini sudah menentang dan mensabot perintah Presiden Joko Widodo sebagai Panglima Tertinggi TNI yang memerintahkan Menkopolhukam untuk mencari kebenaran dari Tragedi 1965,” tegasnya.
Menurutnya, Presiden Jokowi sebaiknya segera bersikap soal rencana menyusun skema penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, sehingga dinamika dan kohesi sosial tidak rusak akibat penyebarluasan kebencian yang tidak berdasar dan dan adu domba memecah belah persatuan nasional yang sangat dibutuhkan saat ini.
“Ada apa? Mengapa takut membuka kebenaran dan mengakhiri kebohongan pada generasi muda? Yang penting seperti kata Menkopolhukam, jangan menutupi fakta pelanggaran HAM,” ujarnya. (Web Warouw)