Oleh: Much Fatchurochman *
Di dalam debat pertama kemarin, sebelas tema yang terpilih untuk diperbincangkan memang mudah mengaduk aduk emosi paslon capres bahkan cawapres terbawa suasana, sampai ada yang memilih jadi pemandu sorak.
Begitulah dunia panggung, disoroti dari banyak sudut dan bingkai alam pikir masing-masing.
Di dalam budaya masyarakat ada istilah “tarung” alias “tanding” atau “dikalang” kalau menginginkan tontonan bagi banyak orang.
Sejarah kebudayaan Indonesia juga mengenal bagaimana kerumunan orang mendapatkan hiburan serta merta untuk kesenangan mereka, sebatas hiburan semata. Apakah mendapatkan pemenang? Urusan nyawa, juga jadi taruhan
Ada satu sesi perdebatan berkaitan “urusan nyawa” ini. Tentu saja menarik dan memantik obrolan luas.
Bedanya dengan kerumunan orang-orang yang menonton jago-jago mereka “bertanding”, di masa lalu, ada tontonan pidato, tontonan “adu jago” hingga bantengan alias adu kekuatan manusia dengan hewan binatang buas di lapangan terbuka. Ada Raja yang menonton, ada pangeran-pangeran yang ikut bersorak juga tentu saja rakyat biasa yang bisa bersama-sama menonton.
Kali ini, penyelenggaraan debat capres pertama oleh Komisi Pemilihan Umum di Jakarta pada 12.12.2023 jelas berupaya menghadirkan
“Debat Capres” yang mampu memandu pemilih kala nanti pada 14 Pebruari 2024 mencoblos surat suara di bilik dan memasukkan pilihan ke kotak suara.
Pemilihan Umum serentak tahun 2024, selain untuk memilih Presiden RI, wakil rakyat di DPR. Dari kabupaten hingga pusat juga wakil DPD jelas berkaitan “urusan nyawa” masing-masing warga negara. Jadi, bisa menilai bagaimana respon pemimpin soal “urusan nyawa” ini, termasuk politisi.
Bersyukurlah, di debat pertama capres “urusan nyawa” ini langsung kuat diresonansi oleh beragam kalangan. Semua juga pasti mahfum, politisi paham urusan publik, soal “urusan nyawa” ini.
Kemarin, di 14 Desember 2023, Aksi Kamisan di Depan Istana Negara ke-799, aksi yang ke sembilan puluh sembilan kali jelas menemukan momentum politiknya guna penegasan “urusan nyawa”.
Apakah serius atau hanya retorika politik saja?
*Penulis Much. Fatchurochman, pengamat dan wartawan lepas