JAKARTA- Rektor Universitas Pattimura Ambon, Prof. Dr. M.J. Saptenno mengatakan, Maluku hanya membanggakan kekayaan alam yang melimpah tetapi semua itu tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat Maluku. Dia meminta, siapapun untuk berhenti menjadikan Maluku sebagai kelinci percobaan, apalagi dengan mengorbankan rakyat.
“Semua ada di Maluku, yang kurang itu hanya kebijakan yang bisa meningkatkan kesejahteraan Maluku,” tegas Prof. Saptenno ketika berbicara dalam Webinar Nasional “Jalur Rempah, Jalan Kebudayaan Menuju Sustainable Living”, Selasa (15/02/2022).
Webinar ini dihadiri Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno dan diikuti 700 lebih peserta dari luar dan dalam negeri. Kegiatan ini diselenggarakan Archipelago Solidarity Foundation, Sinar Harapan.Net, Kemendikbudristek bersama dengan Universitas Pattimura, Universitas Islam Negeri Ambon, UKI Maluku, Politeknik Negeri Ambon, Institut Agama Kristen Protestan Negeri.
“Hidup berkelanjutan membutuhkan kebijakan nyata membawa manfaat bagi masyarakat, kalau tidak maka kita hanya akan terus berbicara di webinar tapi tidak ada realisasi,” tegas Prof. Saptenno.
Rektor yang menjabat periode kedua ini mengatakan, dirinya mengikuti adanya destinasi prioritas nasional atau sering disebut Bali baru, tetapi Maluku sama sekali tidak dilirik, meski potensi yang ada sangat luar biasa. Mengapa Maluku tidak dijadikan satu destinasi prioritas, jika memang mau mensejahterakan Maluku.
Dia mengatakan, sampai saat ini dirinya tidak melihat ada kebijakan pemerintah pusat yang nyata untuk mempercepat kesejahteraan di Maluku. Kekayaan alam Maluku hanya dibanggakan, tetapi tidak memperlihatkan adanya perhatian serius dari pemerintah.
“Sebagai pimpinan universitas, terus terang, saya prihatin dengan kebijakan yang ada di Maluku. Pembangunan dari pinggir Presiden Jokowi tidak terlihat di Maluku. Bahkan, jaringan komunikasi saja masih sangat susah. Kita sudah merdeka 75 tahun ya masih begini,” tegasnya.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, menurut Saptenno, jika situasi ini dibiarkan terus-menerus, maka Maluku akan tetap tertinggal, karena dukungan anggaran dari pusat dari tahun ke tahun tidak hampir tidak berubah, sehingga tidak akan sangat sulit untuk meraih perubahan yang diharapkan.
Mengenai rempah Maluku, Prof. Saptenno melihat tidak adanya perhatian yang baik. Bahkan, generasi muda sudah tidak mengetahui cara memetik cengkih, pala dan sebagainya. Dia mencontohkan, pada zaman kolonial, bukan hanya cengkih dan pala yang mendapat perhatian, tetapi juga kelapa. Saat ini, katanya, semua tidak berkembang dengan baik, karena masyarakat juga tidak semangat untuk menanam pala dan cengkih karena harga yang sangat rendah.
“Kalau dulu, dengan menanam cengkih orang sudah menyekolahkan anak dan sebagainya, sekarang tidak seperti itu lagi,” katanya.
Untuk itu, Prof Saptenno mengharapkan adanya kolaborasi antara perguruan tinggi, lembaga non pemerintah dan semua pihak untuk bersama-sama mencari solusi untuk mengangkat kembali citra rempah Maluku sehingga membawa manfaat bagi kesejahteraan Maluku. Hanya dengan cara seperti itu, rempah bisa membawa pengaruh bagi hidup berkelanjutan (Enrico.N. Abdielli)