Oleh: Iwan Dwi Laksono
Banyak pihak sudah ribut mengkuatirkan kondisi perekonomian Indonesia yang terancam krisis finansial internasional akibat devaluasi mata uang China, Yuan. Kaum oposisi terus menerus memparalelkan keadaan Indonesia saat ini dengan situasi keruntuhan orde baru 1998. Namun semua itu isapan jempol. Mereka mimpi akan datang krisis ekonomi diikuti krisis politik dan pemerintah akan jatuh seperti 1998. Para pendukung pemerintah juga kelihatan mulai ragu dan bimbang, Namun kenyataannya,– saat ini kondisi stabilitas ekonomi masih terkendali. Seluruh indikator makro menunjukkan belum ada tanda-tanda terjadinya krisis. Hal ini berbeda ketika terjadi krisis finansial pada 1998, yang hampir semua indikator makro negatif.
Ada baiknya semua pihak melihat secara objektif dan tidak dibakar sentimen dan emosi semata. Saat ini Pertumbuhan ekonomi masih positif di semester satu yaitu masih 4,7 persen. Neraca perdagangan (Trade balance) juga surplus. Current account turun defisitnya. Jadi kondisi makro masih bagus. Belum lagi perbankan, NPL (Non Performing Loan) atau kredit macet dapat dikejar dan CAR (Credit Acurancy Ratio) atau batas pinjaman dalam kondisi sehat.
Fakta-fakta ini tentu sama sekali berbeda dengan 1998. Situasi kejatuhan ekonomi Indonesia 1998 jika masih ingat, tentu berbeda faktanya. Waktu itu ekonomi masih tumbuh, trade balance masih surplus, hanya saja current account allert ditambahi kondisi NPL nasional yang buruk dan CAR perbankan hanya 8%. Kondisi saat itu diperburuk dengandgn aturan perbankan yang tidak prudence dan sembrono.
Indikator perbankan yang buruk lainnya adalah Legal Lending Limit saat itu hanya 10%. Giro wajib minimum 2%, saldo giro merah yang menimpa banyak tanpa tindakan tegas serta pemberian BLBI tanpa pengawasan yang memadai.
Alangkah lebih elok bijaksana jika justru tidak memprovokasi dengan mengatakan bahwa situasi saat ini sama dengan situasi 1998. Sebagai cara bijaksana cukuplah kiranya memberikan masukan kepada pemerintah secara konstruktif agar kesalahan fatal yan pernah terjadi dilakukan pemerintah Orde Baru pada krisis 1998 tidak berulang dan menimpa rakyat Indonesia.
Kesalahan fatal itu adalah pada tahun 1997, Bank Indonesia menaikan suku bunga. Mirip seperti Yunani kemarin sehingga bank-bank komersial ikutan menaikkan rate nya, sementara uang langka di pasar. Sehingga pasar panik dan ekonomi tidak jalan. Ditambah lagi barang-barang sembako langka di pasar.
Krisis ekonomi dimana-mana triger nya selalu dari uang. Maka perbankan dan Bank Indonesia harus jaga semuanya dengan baik. Pada tahun 1997 triger nya adalah rezim devisa bebas yang sudah dimulai pada tahun 1996 yang tidak diiringi aturan Bank Indonesia yang baik sebagai regulator. Namun yang paling menentukan adalah struktur fundamental ekonomi yang lemah di jaman Orde Baru.
Saat ini, situasi masih terkendali. Namun memang kalau kondisi fundamental yang terkendali berada dalam kondisi ekonomi terintegrasi dengan eksternal, jika tidak segera ada antisipasi, tentu akan melemahkan.
Untuk itu saya mengusulkan agar tim ekonomi membuat matriks masalah dari 1997-1998 dan masalah 2015 untuk perbandingan dan mengambila langkah-langkah yang berlawanan dengan 1997-1998.
Pada tahap awal segera kontrol Bank Indonesia sebagai penguasa permainan uang dalam negeri. Cegah Bank Indonesia menaikkan rate nya. Sebisa mungkin malah menurunkan agar diikuti bank yang lain.
Antisipasi pemutusan hubungan kerja (PHK) masal. Kementerian Tenaga Kerja harus segera mengarahkan satuan kerja turun lapangan melakukan jemput bola informasi dan intermediasi. Kontrol semua harga sembako supaya tidak naik dan tersedia di pasar.
*Penulis adalah aktifis 1998 dan Ketua Umum DPP Jaman (Jaringan Kemandirian Nasional)