Oleh : Mang Ucup
Dua hari sebelum perayaan ziarah kubur Tionghoa Ceng Beng (Qin Ming) tanggal 5 April setiap tahunnya, mama Mang Ucup sudah menyiapkan semua kebutuhan untuk berziarah, mulai dari sesajen, hio, uang sorgawi, maupun bakcang dan makanan lainnya. Bagi kami anak-anak, hari ziarah Ceng Beng ini adalah hari piknik besar. Maklum, kami harus menempuh perjalanan jauh dari Jalan Kelenteng ke pemakaman di Cikadut. Biasanya, kami sekeluarga selalu naik delman ke Cikadut.
Kami orang Tionghoa akan melakukan ziarah kubur secara besar-besaran dua kali dalam setahun. Sekali saat memperingati hari kematian, dan sekali saat perayaan ziarah kubur Ceng Beng. Makam (bong) etnik Tionghoa berupa tanah timbun berbentuk kubah dengan “batu nisan” (bong pay) setengah lingkaran, berfungsi sebagai papan nama sekaligus altar sesajian bagi yang meninggal. Papan nisan tersebut biasanya akan diukir dengan bentuk-bentuk empat “hewan langit” atau hewan penjaga surga yaitu Naga, burung Hong, Killin dan Kura-kura.
Di sisi kanan dan kiri pada ujung teras bangunan makam terdapat dua bangunan kecil seperti rumah dengan atap seperti pagoda. Bangunan yang sebelah kanan adalah kuil kecil untuk dewa bumi Thotek Kong. Dan yang sebelah kiri adalah bangunan untuk tempat membakar “uang sorgawi”, “mobil-mobilan”, “sepatu”, “baju”, “handphone dan power bank” ataupun “laptop dan iPad” atau perlengkapan duniawi lainnya yang akan dikirimkan ke akhiratnya yang meninggal.
Biasanya, pada ritual ziarah kubur, yang dilakukan adalah berdoa dulu kepada Dewa Langit dan Bumi, kemudian kepada “penghuni kuburan”. Untuk menunjukkan siapa leluhur mereka kepada keturunannya tidak jarang ditampilkan foto “penghuni kubur” di nisannya dan riwayat singkat hidupnya.
Kepercayaan Orang Tionghoa tentang kematian merupakan hal serius yang harus dipersiapkan sedemikian rupa. Hal ini dapat dilihat dari makam atau bong yang dibuat. Jauh-jauh hari, selagi orang itu masih hidup, lahan untuk makam sudah dipersiapkan dengan konsep yang tidak sembarangan. Dalam menentukan arah kuburan (Yin Feng Shui), orang Tionghoa memiliki kepercayaan kalau arah kuburan harus searah dengan aliran air.
Bagi mereka, tugas anak bukan hanya melanjutkan marga (she) dan membawa keberuntungan (hoki), tetapi yang terpenting adalah mengganti sang ayah merawat makam. Seorang anak laki-laki yang tidak mengurus makam disebut Put Hao (tidak berbakti).
Biasanya untuk suami istri yang meninggal akan dibuatkan dua liang kubur bersebelahan. Ketika salah satu dari mereka meninggal maka akan dibuatkan dua buah nisan atau Bongpai. Yang telah meninggal bercatkan merah dan yang belum meninggal bercatkan kuning. Memang, harus diakui bahwa orang Tiong Hoa itu termasuk etnis yang romantic sehingga setelah meninggal dunia sekalipun ingin tetap selalu bersebelahan, mirip kisah Sam Pek Eng Tay.
Tidak jarang kuburan yang dibangun memiliki gaya arsitektur mewah, seperti makam sang Raja Tekstil Yo Giok Sie, yang meninggal pada 23 Agustus 1963. Beliau adalah pendiri pabrik tekstil terbesar di Kota Bandung. Makam beliau lebih terkenal dengan nama Bong Koneng (makam kuning) karena atapnya yang berwarna kuning. Kuning sebenarnya merupakan warna kerajaan, dianggap sakral dan hanya kaisar dan putranya saja yang boleh menggunakan warna ini. Tetapi di Cikadut, who cares?
Banyak bangunan makam di Cikadut yang meniru Kuil Tian Tan di Beijing serta tindakan-tindakan yang mencontoh ritual yang dilakoni oleh Kaisar Tiongkok zaman dahulu — meski di negara Tiongkok sendiri mungkin tidak akan ditemukan makam rakyat biasa yang meniru makam Kaisar Tiongkok, karena semua yang dilakukan dan dipakai oleh kaisar merupakan hak istimewa bagi sang kaisar. Hal ini rupanya mencerminkan sebuah keinginan dari masyarakat Tionghoa di Cikadut, di mana mereka ingin menghargai leluhurnya layaknya seperti seorang kaisar.
Tokoh penting lainnya yang dikuburkan di makam Cikadut di antaranya adalah Tan Joen Liong yang meninggal pada 23 Agustus 1917. Di nisannya (Bongpai) bertuliskan Kapiten Titulair Der Chineezeen. Kapten Titulair berarti kapten kehormatan. Ini kemungkinan diberikan atas jasa dan pengabdian beliau dalam menjabat sebagai opsir Bandung dengan pangkat Letnan selama 25 tahun (1888-1917). Nama Tan Joen Liong juga diabadikan sebagai nama Jalan Joen Liong, yang sekarang telah diganti menjadi Jalan Baranangsiang, dimana bioskop Rivoli berdiri.
Sejak tahun 1856, Cikadut sudah dijadikan tempat pemakaman Tionghoa. Sebelumnya, pemakaman Tionghoa berada di Banceuy. Pada saat ini, pemakaman Cikadut telah memiliki luas tanah lebih dari 150 hektar, dan merupakan kompleks pemakaman yang terluas di seluruh Indonesia, bahkan di Asia Tenggara sekalipun. Tetapi sekarang sudah kalah luasnya oleh San Diego Hill di Karawang.
*Penulis adalah seorang nettizen, tinggal di Belanda