JAKARTA – Ketua Panja RUU Pendidikan Kedokteran Willy Aditya mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo pada 6 September 2022. Willy tersinggung dengan sikap Mendikbud-Ristek, Nadiem Makarim.
Willy menilai, telah terjadi pelecehan dua lembaga tinggi negara yaitu Lembaga Kepresidenan dan DPR. Dilakukan oleh Nadiem.
Willy menjelaskan, RUU Pendidikan Kedokteran (Dikdok) telah menjadi RUU inisiatif DPR, presiden juga telah mengirimkan surat presiden setuju membahas RUU tersebut pada 2 Desember lalu. Dengan menugaskan Menteri Nadiem sebagai wakil pemerintah untuk membahas RUU Dikdok.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Baleg telah rapat kerja dengan Mendikbudristek pada 24 Februari 2022 dan meminta pemerintah menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Dikdok.
Dalam Pasal 49 Ayat 2 UU Pembentukan Peraturan Perundangan disebutkan, Presiden menugasi menteri beserta dengan DIM paling lama 60 hari sejak surpres diterima pimpinan DPR. Namun, sudah lewat 60 hari sejak surpres, belum juga DIM dikirim ke DPR, bahkan sudah lewat sampai 9 bulan.
Dalam pertemuan informal pimpinan Badan Legislasi dengan Mendikbudristek dan Menkes, telah dijanjikan akan dikirim DIM hingga akhir Juni 2022. Namun, sampai September 2022 tidak ada kabar DIM tersebut.
“Bagi kami, hal ini merupakan pengabaian atas amanat/perintah UU sekaligus merupakan bentuk pelecehan kelembagaan, baik terhadap lembaga DPR maupun Lembaga Kepresidenan,’’ tulis Willy Aditya dalam suratnya kepada Presiden Jokowi itu, dikutip dari siaran pers, Selasa (27/9).
Politikus NasDem ini mengatakan, ia ingat betul program nawacita Jokowi. Pada poin kedua disebutkan ‘Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan’. Selain itu, pada poin ke enam disebutkan ingin ‘Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia’.
Willy mengatakan, RUU Dikdok merupakan RUU yang selaras dengan dua poin nawacita tersebut. RUU tentang Dikdok berkehendak membangun paradigma kesehatan yang terakses, terjangkau, dan memanusiakan manusia.
Terakses, kata wakil ketua Baleg ini, artinya mudah didapatkan, meski itu di daerah-daerah yang paling pinggir di wilayah Tanah Air kita.
“Kesehatan bukan lagi barang langka dan mahal hingga fenomena Dokter Lie Dharmawan dengan Rumah Sakit Apung-nya harus kita saksikan di tengah segala kemegahan rumah sakit di kota-kota besar,” jelas Willy.
“Terjangkau artinya kesehatan menjadi sesuatu yang bisa diraih oleh siapa pun tanpa memandang dia berduit atau tidak. Kesehatan di sini bukan hanya dalam soal pelayanan, akan tetapi juga bagaimana kesediaan tenaga kesehatan atau tenaga medis bisa dipenuhi dengan mudah,” paparnya.
Sekolah-sekolah kesehatan dan utamanya kedokteran, tulis Willy, juga bisa kita sediakan meski itu di daerah-daerah paling pinggir sekalipun. Maksud dari kehendak ini adalah agar pemerataan tenaga medis, khususnya dokter dan dokter gigi bisa terwujud sesuai dengan visi Bapak Presiden.
Sedangkan memanusiakan manusia artinya sistem kesehatan kita benar-benar memperlakukan manusia sebagaimana mestinya. Manusia dengan kondisi sakitnya bukanlah komoditas. Manusia dengan hasrat ingin sehatnya bukanlah peluang bisnis.
“Kita ingin membangun kesehatan karena semua manusia memang membutuhkan hal itu; karena bangsa ini harus sehat; karena kualitas hidup manusia Indonesia harus meningkat dan menjadi SDM yang unggul,” katanya.
Mahasiswa kedokteran di Indonesia, tulis Willy dalam surat terbuka itu, tidak terbebani dengan tingginya biaya pendidikan, yang kita ketahui bersama saat ini biaya pendidikan kedokteran sangat tinggi.
Putra-putri terbaik dari daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang berkualitas dan unggul dari sisi akademik layak untuk menjadi dokter dan mengabdi di daerah asalnya. Tanpa perlu pesimis dan merasa ‘gagal di awal’ karena membayangkan besarnya biaya untuk menjadi dokter.
Paradigma yang ada di masyarakat selain pendidikan kedokteran itu mahal, tulis Legislator NasDem dari Dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan Sampang) itu, juga lama kuliahnya dan sulit untuk lulus. Hal itu karena adanya mekanisme Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) yang bersifat ujian nasional sebagai satu-satunya syarat kelulusan (final exam) bagi mahasiswa kedokteran.
Padahal, mereka telah menyelesaikan seluruh tahapan pembelajaran dan perkuliahan dan telah menyelesaikan ujian tulis dan ujian praktik (ujian co-ass) di fakultasnya. Biaya untuk mengikuti UKMPPD itu tidaklah murah, selain itu bagi mahasiswa yang belum lulus, tetap harus membayar biaya uang semester yang cukup besar di universitasnya, meskipun sudah tidak ada lagi kegiatan pendidikan di kampusnya.
Hanya karena jika tidak membayar uang semester, maka mahasiswa tersebut akan dicabut statusnya sebagai mahasiswa dan tidak dapat mengikuti UKMPPD.
Menurut Willy dalam suratnya, UKMPPD sebagai exit exam itu hanya ada di Indonesia. Tidak ada negara di dunia ini yang menyelenggarakan ujian nasional kelulusan bagi mahasiswa kedokteran. Sekaligus UKMPPD merupakan bentuk ketidakpercayaan pemerintah kepada fakultas kedokteran dan akreditasi perguruan tinggi yang telah dilakukan pemerintah, sebagaimana diatur dalam UU Pendidikan Tinggi bahwa merupakan otonomi akademik dari perguruan tinggi dalam hal menetapkan syarat kelulusan, menentukan kelulusan mahasiswa, memberikan ijazah dan gelar, dan mewisuda lulusannya.
Willy mengakui, itu bukanlah pekerjaan mudah. Banyak kepentingan yang berupaya untuk mempertahankan sistem kesehatan dan sistem pendidikan kedokteran yang ada saat ini. Namun demikian, langkah awal harus segera dimulai, sebagaimana berbagai langkah yang telah dimulai oleh Presiden dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia.
“Sudah terlalu sering kita mendengar bagaimana di wilayah pedalaman yang tidak ada tenaga kesehatan sama sekali. Sudah lama Puskesmas menyampaikan bahwa mereka tidak memiliki dokter spesialis, bahkan dokter umum sekalipun.”
Kelebihan RUU Dikdok ini dibandingkan dengan UU Pendidikan Kedokteran yang saat ini berlaku, selain ingin mewujudkan pendidikan kedokteran yang terjangkau dan berkualitas, juga mengatur beberapa terobosan dan langkah perbaikan terkait pendidikan dokter spesialis dan dokter subspesialis yang menjadi profesi “mewah” bagi masyarakat Indonesia, sekaligus mengatur rekrutmen dan pemerataan distribusi tenaga medis yang paling dibutuhkan oleh bangsa ini,” jelas Willy.
Materi dalam RUU Dikdok bisa jadi banyak yang perlu dikoreksi atau masih jauh dari sempurna. Namun demikian, itikad untuk memperbaiki dan memajukan bangsa dan negara ini telah sempurna adanya.
“Kami berharap, segala itikad mulia ini tidak menjadi mentah hanya karena tidak terpenuhinya sebuah fatsun politik dari pembantu Presiden atas kewajiban membuat dan menyerahkan DIM RUU Dikdok sebagaimana perintah UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” tutup Willy. (Calvin G. Eben-Haezer)