Selasa, 1 Juli 2025

Membongkar Dosa-Dosa Amien Rais

Amien Rais, Mantan Ketua MPR-RI yang mengesahkan Amandemen UUD’45, menjadikan Indonesia sebagai penganut sistim demokrasi liberal (Ist)

Amien Rais selalu berusaha tampil kembali dalam politik nasional. Namun publik tidak akan melupakan, bahwa MPR-RI dibawah kepemimpinan Amien Rais lah yang pada tahun 2002 mengesahkan amandemen UUD 45 dan merusak fondasi tatanan bernegara yang berlaku saat ini dari demokrasi pancasila menjadi demokrasi liberal. Dimasa kepemimpinannya jugalah “Pengampunan” terhadap para konglomerat hitam yang menikmati ratusan triliun rupiah melalui program BLBI, diputuskan oleh MPR-RI. Tulisan Derek Manangka ini dimuat dalam CATATAN TENGAH, Minggu 25 Maret 2018 yang diunggah dalam akun facebooknya dan diterbitkan Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Derek Manangka

TUDINGAN ‘pengibul’ atau pembohong terhadap Presiden Joko Widodo oleh politisi gaek Amien Rais, menciptakan kebisingan politik ataupun reaksi pro-kontra.

Yang paling menyolok reaksi Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan alias (LBP).

Pembantu Presiden yang nota bene seorang pensiunan Jenderal dari institusi bergengsi Kopassus ini, bagaikan seorang “preman” atau jagoan, yang siap berkelahi dengan Amien Rais.

Sikap LBP – yang membela Presiden Joko Widodo, menimbulkan persepsi, LBP jauh lebih marah dan tersinggung ketimbang Jokowi yang diserang langsung oleh Amien Rais.

Pernyataan Amie Rais itu sendiri mengemuka, tak lama setelah seorang ibu rumah tangga yang menjadi korban “Mafia Tanah” membuat pernyataan lewat “Catatan Tengah”, 17 Maret 2018

Annie Sri Cahyani, wanita yang menetap di sekitar kawasan Bintaro, Tangerang Selatan ini, menghimbau Presiden Jokowi agar tidak mengobral sertifikat tanah.

Himbauannya muncul, karena apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi kontradiktif dengan apa yang dia alami.

Annie memiliki sertifikat asli yang sekaligus berkekuatan hukum. Tetapi SHM – Sertifikat Hak Milik asli ini justru dikalahkan oleh sertifikat palsu.

Munculnya sertifikat palsu, tidak lepas dari sebuah modus konspirasi oleh oknum-oknum di Badan Pertanahah Nasional dan perusahaan pengembang (developer).

Himbauan Annie Sri Cahyani, cukup menohok. Karena mengemuka di saat Presiden Jokowi banyak melepas sertifikat tanah massal secara gratis, melalui sebuah upacara yang diliput luas oleh media.

Semakin menohok, sebab pernyataan Annie dilengkapi fotonya tengah berdua dengan Presiden Joko Widodo. Secara tersirat memberi kesan, orang yang “dekat” dengan Presiden pun bisa dibohongi oleh pengembang dan oknum BPN.

Seingga kalau catatan di atas yang menjadi referensi Amien Rais, kemudian menuding Presiden Jokowi melakukan pengibulan, dapat pahami.

Selain itu, sekalipun tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi Presiden Jokowi memiliki kelemahan dalam soal dokumen penting.

Bekas Walikota Solo dua periode ini, di awal-awal masa jabatannya pernah “keseleo” lidah – yang menyatakan bahwa dia menanda-tangani sebuah dokumen, tanpa membacanya terlebih dahulu.

Hal mana dijadikan parodi oleh media-media asing : “ I signed, But I Didn’t Read”.

Maknanya kurang lebih begini : “saya menanda tanganinya, tetapi apa isinya, saya tidak tahu karena saya tidak membacanya…”.

Nah, yang dikhawatirkan ribuan sertifikat itu, tidak sempat dibaca dan diperiksa, tapi langsung disahkan oleh Presiden melalui upacara massal tersebut.

Perdebatan soal seritifkat ini menjadi semakin kontradiktif. Terutama setelah LBP mengancam akan membuka dosa-dosa Amien Rais.

Semakin kontradiktif, sebab melalui Johan Budi, Jurubicara Kepresidenan, dikatakan pernyataan LBP tidak mencerminkan pandangan Presiden Jokowi.

Artinya, lain LBP, lain Amien Rais apalagi Jokowi.

Namun apapun perbedaan mereka bertiga, kalau LBP benar-benar membuka apa yang dimaksudkannya, tentu masyarakat bisa lebih jernih melihat sisi buruk dan sisi baik dari Amien Rais.

Hanya saja, berhubung hingga saat ini LBP tidak melanjutkan ancamannya itu, maka akuntabilitas dan kredibilitas atas ancaman tersebut, mulai merosot. Jangan-jangan LBP hanya menggertak. Karena bukan baru kali ini LBP membuat pernyataan yang terkesan menggertak. Sebuah cara yang mengingatkan prilaku sejumlah jenderal di masa jayanya para Jenderal di era Orde Baru.

Amien Rais sendiri terkesan cuek. Boleh jadi karena dosen ilmu politik dari UGM yang kemudian menjelma sebagai Tokoh Reformasi 1998, sudah kenyal dan kenyang menghadapi sikap seperti yang dipertontonkan LBP.

Jenderal Soeharto yang merupakan orang terkuat di Asia di tahun 1980-an, dihadapi dan dilawan Amien Rais.

Diakui atau tidak, Amien Rais-lah satu-satunya intelektual sipil Indonesia yang berani menuding rezim Presiden Soeharto sebagai yang menyuburkan praktek KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme).

Tak heran kalau Amien Rais di kalangan pengamat dinilai sebagai seorang sipil yang tak takut pada ancaman anggota militer termasuk mereka yang berpangkat jenderal.

Keberanian Amien Rais melawan rezim militer yang represif dan totaliter, akhirnya berbuah. Tahun 1998, setelah 32 tahun rezim militer Soeharto berkuasa, akhirnya tumbang.

Sekalipun yang menumbangkan rezim Soeharto bukanlah Amien Rais sendiri, tetapi siapapun yang berada dalam lingkar satu saat ini, tidak bisa mengklaim sebagai orang paling reformis, paling berjasa apalagi yang paling berhak menentukan ke mana arah republik ini seharusnya dibawa.

Sewaktu reformasi 1998 terjadi, LBP sendiri, tidak banyak yang tahu apa peran dan keberadaannya. Yang pasti nama LBP baru masuk dalam lingkar kekuasaan setelah Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid) mengangkatnya sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan di tahun 2000. Gus Dur menarik LBP dari posnya di Singapura sebagai Duta Besar.

Di saat yang sama, Amien Rais sudah menduduki jabatan Ketua MPR-RI periode 1999-2004. Di tangan Amien Rais sebagai Ketua MPR-lah banyak terjadi perubahan dalam sistem politik Indonesia.

UUD 45 yang berlaku saat ini, pengesahan amandemennya oleh MPR-RI terjadi di tahun 2002.

“Pengampunan” terhadap para konglomerat hitam yang menikmati ratusan triliun rupiah melalui program BLBI, diputuskan oleh MPR-RI.

Singkatnya UUD 45 hasil amandemen 2002 dan “pengampunan” kepada konglomerat hitam, dilakukan oleh MPR-RI yang diketuai Amien Rais.

Tidak heran, jika hingga saat ini masih ada yang menganggap Amien Rais sebagai seorang legenda yang tak tergantikan sekaligus politisi antagonistis. Tetapi di sisi lain, Amien Rais juga dipersepsikan sebagai politisi yang menjerumuskan Indonesia ke krisis yang lebih parah.

Sebab UUD 45 hasil amandemen, menyebabkan sistem politik yang kita anut sekarang ini, membuat demokrasi semakin keblablasan. Demokrasi menjadi “democrazy” karena sudah muncul perspesi demokrasi kita bisa jalan karena ada transaksi berupa uang atau berter-barteran. Orang “gila” pun bila punya uang, bisa menjadi pengatur jalannya pemerintahan.

Sementara diberinya “pengampunan” oleh negara lewat legitimasi MPR-RI kepada konglomerat hitam, telah menimbullkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar.

Para penikmati BLBI (Bantuan Likwiditas Bank Indonesia) makin menjelma sebagai konglomerat yang tak tersentuh, sementara rakyat miskin yang terus bertambah, makin tertekan oleh berbagai peraturan yang tidak berdasarkan keadilan. Dan tidak jarang para konglemerat ini, ikut berperan besar dalam pembuatan UU ataupun peraturan tersebut.

Hal-hal di atas oleh kaum haters Amien Rais, sebagai dosa-dosa pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut.

Dengan latar belakang ini, sebetulnya, kalau mau situasi politik Indonesia lebih kondusif, yang paling baik jika Amien Rais dan LBP sama-sama menahan diri sekaligus tahu diri.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru