Oleh: Ricky Rachmadi *
Nuansa huru hara yang sarat gesekan politis dalam memperebutkan posisi Ketua DPD RI pasca “pemberhentian paksa” Irman Gusman yang “dikebut” dalam waktu yang kilat kembali menggeliat. Padahal, keputusan pemberhentian paksa tersebut masih menuai pro kontra, Irman Gusman pun sedang melalui proses pra-pengadilan yang sedianya baru akan mulai sidangnya pada tanggal 18 Oktober 2016 yang nanti.
Alih alih menunggu ketentuan proses hokum yang tetap, justru proses pemilihan semakin dikebut, pembahasan untuk memilih pimpinan baru DPD yang mewakili wilayah barat saja dilaksanakan “super-kebut” pada hari selasa,11 Oktober nanti, tepat satu minggu sebelum sidang pra-peradilan Irman Gusman digelar.
Bagi saya sulit untuk membantah kita menyaksikan sebuah realita yang kental akan sisi hitam politik yang amat kelam. Isu pertarungan rebut jabatan seolah-olah dianggap maha penting. Padahal urusan urusan mendesak atas kepentingan dan kebutuhan rakayat menanti serta perlu direspon dengan cepat dan sigap,bencana alam maupun bencana sosial yang terjadi silih berganti terjadi di beberapa tempat, penanganan bencana di garut, aneka penggusuran pemukiman rakyat yang kian tidak manusiawi di kota-kota besar, maupun kondisi harga barng barang yang tak stabil,kerapkali mencekik leher bagi rakyat.
Pada momen-momen kritis ini rakyat membutuhkan wakil-wakilnya untuk bekerja dengan giat, segala urusan administratif,simbolik dan rebutan kuasa dapat menunggu, dapat dikesampingkan, fokus perhatian dapat diarahkan pada agenda agenda yang mendesak untuk rakyat. Rakyat-rakyat di daerah menjerit, uluran perhatian dan aspirasinya amat perlu didengarkan dengan seksama.
Saya pribadi bukan bagian anggota DPD, tetapi saya amat menghargai dan menghormati marwah integritas DPD yang terhormat dan agung. Saya pribadi kecewa dengan pilihan para senator, sebutan bagi anggota DPD untuk buang buang tenaga dan fokus perhatian hanya terpusat huru-hara internal DPD.
Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan proses nalar dan hati yang bersih untuk melayani rakyat, konsistensi marwah integritas DPD sedang diuji, publik membutuhkan bukti dan jawaban bahwa kaum senator yang mereka pilih bukan sosok yang terjangkit dalam virus politik-sentralistik yang khas, lantas mengabaikan aspirasi dan jeritan hati rakyat daerah.
Akibat fokus pada huru hara internal DPD, kegiatan untuk melayani rakyat terganggu, proeses pembahasan-pembahasan serius seperti amandemen konstitusi mandek, Kunjungan-kunjungan kerja ke daerah dalam menyapa rakyat terbengkalai, pembahasan mengenai kondisi ekonomi rakyat dan pengawalan atas keterjangkauan rakyat atas bahan bahan pokok strategis di daerah menjadi relatif stagnan bahkan cenderung menurun tak lagi berjalan dengan maksimal, setiap waktu fokus pemberitaan dan pernyataan penyataan para senator hanya menyoroti soal urusan-urusan yang bersifat administratif yang seolah olah kompleks hingga.pertarungan kuasa,perebutan posisi Ketua DPD RI,praktis secara efektif kinerja terhenti.
Sementara rakyat melanjutkan kepedihan hidup dengan berat, tapi para senator sibuk urusan internal mereka sendiri, maka terlihat jelas rasa empati dan simpati semakin memudar atas penderitaan rakyat. Secara sanyup-sanyup suara batin rakyat terdengar, apakah kaum senator telah melupakan rakyat?, ataukah mereka hanya menjadi komoditas untuk meengkuh politik dagang sapi, yang termashur sebagai pola budaya politik di pusaran pusat kekuasaan?. Pelan tapi pasti rakyat mulai berpikir adakah perilaku kuasa instan telah merubah pada wakil rakyat atas komitmen dan janji janji politiknya terdahulu?
Namun para elit senator yang terhormat tak bergeming,pola pikirnya amat sentralistis, seolah olah prioritas utama adalah buru buru dan ngotot untuk terus melaju untuk memutuskan proses pemilihan ketua DPD yang segera. Netralitas dan penghargaan proses hukum diabaikan. Tanpa penghargaan atas proses hukum yang terjadi, tidak ada yang lebih mengenaskan tatkala justru proses hukum diabaikan, serta seolah olah tidak dianggap sebagai sebuah proses yang serius, alih alih demikian, sebuah preseden yang tak elok telah lahir, kaum senator yang terhormat justru “main kebut” bertarung untuk merebutkan kuasa jabatan, yang sarat lika liku yang,rumit penuh dengan persaingan politik.
Setiap kelompok berkelahi diam diam mendukung dan mengorbitkan “jago-jagonya” tersendiri yang diunggulkan agar mampu mengamankan kepentingan politiknya masing masing, amanat dan kepentingan rakyat terbengkalai, taruhannya terlalu mahal, marwah dan integritas DPD yang terhormat. Kita menghadapi realita yang penuh dengan ironi,kelam, sulit untuk dibantah tatkala rakyat hanyalah jargon yang terucap dalam kebisingan pertarungan hasrat kuasa ada depan mata.
*Penulis adalah peneliti pada lembaga kajian Center for Information and Development Studies ( CIDES)