Oleh : Eka Pangulimara Hutajulu*
Bantahan Karo Hukum, Komunikasi Informasi Publik (HKIP) Kemenpan & RB, Herman Suryatman atas tudingan politikus PDIP Arief Wibowo, bahwa dasar hukum pengangkatan CPNS tersebut ilegal, nampak harus disikapi secara bijak dan memenuhi ruang demokratis yang berkeadilan. Kebijakan pengangkatan CPNS tersebut tak dipungkiri merupakan sebuah terobosan dalam penyelesaian permasalahan kepegawaian yang bertumpuk. Membutuhkan keseriusan dan kehadiran negara.
Statement teranyar diungkap Menkes RI Nilla F Moeloek misalnya, dalam sidang Raker bersama Komisi IX DPR RI, Senin, 20 Maret 2017 baru-baru ini. Kebijakan pengangkatan tenaga kesehatan misalnya, itu akibat kedatangan 19 ribuan bidan desa PTT (Pusat) di Kemenpan & RB. Tepatnya 28 September 2015 lalu.
Mengingat momentum tersebut, ada rasa kemanusiaan dan keadilan yang ingin dicapai pemerintahan pusat memerhatikan kondisi bidan desa PTT, yang sudah memiliki masa kerja hingga 10 tahun lamanya.
Menpan & RB 2014-2016 Yuddy Chrisnandi setujui pengangkatan tersebut. Atas dasar kemanusiaan, dan tupoksi bidan desa sebagai tenaga fungsional yang bekerja melaksanakan prioritas program nasional. Memberikan pelayanan kesehatan di desa-desa. Apalagi pelaksana program internasional, MDG’s. Yang saat ini berlanjut menjadi SDG’s menurunkan tingginya Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi (AKI & AKB). Memerhatikan kondisi yang ada, keberadaan bidan desa PTT (Pusat) dinilai cukup strategis.
Dalam perkembangannya, Menpan & RB, terbitkan Permenpan & RB No. 8 Tahun 2016 tentang Penetapan Kebutuhan dan Pelaksanaan Seleksi Bagi Dokter, Dokter Gigi, Bidan Pegawai Tidak Tetap Kementrian Kesehatan, Guru, Garis Depan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian Kementrian Pertanian Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintahan Daerah Tahun 2016.
Lalu Surat Keputusan Bersama Menteri PAN & RB, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan RI, Menteri Pendidikan & Kebudayaan, dan Kepala BKN bernomor HK.02.05/MENKES/360/2016, NOMOR SKB/01/MENPAN-RB/07/2016, NOMOR 1/VII/SKB/2016, NOMOR 800-5548 TAHUN 2016, NOMOR 110/SKEP/KA/VII/2016 tentang Pengadaan Aparatur Sipil Negara Di Lingkungan Pemerintahan Daerah dari Pegawai Tidak Tetap Kementrian Kesehatan.
Peristiwa dan aturan tersebut perlu diungkap kembali. Sebagai pengingat kita. Bahwa telah terdapat kebijakan yang justru berbarengan dengan agenda pemerintahan pusat di semua daerah, yang diketahui oleh Menteri Dalam Negeri.
Kegigihan Komisi IX serta Komisi II DPR RI yang cukup lantang turut berbicara dari berbagai RDPU dan kesempatan memastikan kondisi tenaga kesehatan dan pendidik agar memiliki hak kepastian kerja sebagai pegawai tetap negara CPNS. Banyak bidan desa PTT (Pusat) menjadi bagian dari perjalanan proses audiensi di Senayan. Bahkan, ketika Pramono Anung menduduki jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR RI. Yang kini menjadi Menseskab RI kabinet Kerja Jokowi-JK. Ataupun Ketua MPR RI Sidarto Danusubroto, yang saat ini juga masih aktif menjabat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Tidak ada yang tidak bersepakat. Dari pejabat DPR RI hingga DPRD di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota untuk agenda kepastian kerja terhadap masalah tersebut.
Yang lebih menunjukkan kejelasan lagi, tentang tenaga pegawai tidak tetap sektor kesehatan serta sektor pertanian tersebut, adalah pemilik SK Kementrian Pusat. Selama ini dibiayai oleh APBN. Dapat dibuktikan data basenya by name by addres. Telah mengabdi, mempunyai masa kerja sepanjang tahun berjalan ini. Hal yang berbeda dari ketiga sektor tersebut, adalah sektor pendidikan. Di mana pengangkatan CPNS yang termuat dalam Permenpan & RB No. 8 Tahun 2016, merupakan tenaga kerja pendidik GGD, betul-betul fresh graduate. Alias sama sekali baru dan belum memiliki masa kerja.
Maka atas kondisi tersebut terdapat proses rekruitmen yang berlaku khusus. Terhadap sektor kesehatan dan pertanian. Apalagi ketiga sektor tersebut adalah menjadi bagian mendasar pembangunan nasional di Indonesia selama ini.
Perjalanan moratorium sebagai kelanjutan pemerintahan sebelumnya, harus tetap dijalankan secara konsisten.
Pengumuman CPNS Tenaga Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI telah lebih dulu menyatakan pada tanggal 21 Februari 2017 untuk CPNS tenaga kesehatan sebanyak 39.090 orang yang terdiri dari 37.815 orang bidan desa, 863 orang dokter dan 418 orang dokter gigi. Hal ini masih menyisakan problem susulan bagi tenaga kesehatan yang telah sama-sama ikuti seleksi dan tes CAT yang berkesesuaian dengan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, dari peserta seleksi tenaga kesehatan sebanyak 43. 310 orang.
Menurut Nilla F Moeloek, 20 Maret 2017 di Senayan, sebanyak 4.102 orang bidan desa, 86 orang dokter, dan 32 orang dokter gigi diarahkan menjadi PPPK daerah. Lantaran usianya melebihi 35 tahun. Inipun diakui sebagai hasil ratas bersama Presiden.
Terdapat issue utama dalam menyoal kondisi tersebut. Pertama masalah usia yang tiba-tiba muncul. Padahal sebelumnya, Menteri Kesehatan RI sebelum peristiwa 28 September 2015 nyatakan bahwa problem pengangkatan CPNS saat itu, dikatakan, tidak memiliki anggaran dan peraturan.
Masalah pembatasan usia melangit. Bidan desa PTT (Pusat) gaduh dan menolak keras dijadikan PPPK sampai kapanpun!
Issue lainnya seperti kegaduhan di tingkatan pejabat negara, amat berkait. Tentang dasar hukum yang dijadikan legalitas pengangkatan CPNS. Paling tidak, atas 39.090 orang yang saat ini telah berproses di daerah-daerah untuk difasilitasi berkas fisiknya, hingga NIP-nya.
Karo Hukum Kemenpan RB nyatakan bahwa, dasar hukum pengangkatan CPNS dari bidan, guru, dan penyuluh gunakan PP No. 98 tahun 2000 tentang Pengadaan PNS jo PP 78/2013. Ini bantahan Karo Hukum atas pernyataan Wibowo.
Wibowo menuding bahwa PP tersebut ikut dicabut seiring dicabutnya UU No. 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dan berubah menjadi UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Di sinilah kebutuhan pelurusan pemahaman dan kebijakan menyoal pengangkatan CPNS berbasis peraturan yang semestinya mendapat tanggapan dari Presiden.
Dalam tradisi hukum di Indonesia, apabila perubahan peraturan perundang-undangan belum disertai kelengkapan peraturan pelaksana di bawahnya. Maka jelas peraturan yang berlaku adalah peraturan pelaksana sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum dalam menjalankan tata laksana perundang-undangan yang mengatur kehidupan teknis bernegara.
Dalam hal ini cukup jelas. Dasar hukum pengangkatan CPNS dapat menggunakan PP No. 98 tahun 2000 jo PP 78/2013.
Sebabnya, sejak kelahiran UU No. 5/2014 tentang ASN, tidak segera membuat peraturan pelaksana turunannya. Yaitu PP Manajemen PNS dan PP Manajemen PPPK.
Sejak kelahirannya pula, sejumlah pejabat di Kementrian dan Birokrasi semestinya turut bertanggungjawab atas kemunduran penerbitan peraturan hukum selama ini. Yang sempat digadang-gadang, selesai di bulan Desember 2014.
Terhadap issue permasalahan pembatasan usia. Mari kita benar-benar menggunakan dasar hukum PP No. 98/2000 jo PP No. 78/2013. Kita tengok pesan hukum apa saja yang hadir dalam kurun waktu tersebut, dalam kaitannya terhadap issue pembatasan usia. Melalui tanggapan ini, penulis turut membantah bahwa masalah usia diatur di dalam UU. Ataupun UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Penulis ingin bertanya kepada siapapun pejabat negara ini. Sebutkan pasal berapa yang mengatur urusan teknis soal usia?!
Dapat dipastikan, bahwa dalam undang-undang, tidak ada manifestasi pasal-pasalnya yang menyebut-nyebut masalah teknis. Sebab masalah teknis diatur oleh peraturan turunan dari sebuah undang-undang.
Dari 141 pasal dalam UU No. 5/2014 tentang ASN, begitupun dari sebanyak 37 pasal dari UU No. 43/1999, sama sekali tidak ada satu pasalpun menyebutkan masalah pembatasan usia terhadap proses rekruitmen tenaga kerja pegawai pemerintahan. Ataupun referensi lainnya dari sebanyak 193 pasal dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan di Indonesia, tidak ada aturan mengikat dalam sebuah undang-undang untuk mengatur teknis rekruiment berdasarkan usia.
Maka untuk menjadikan dasar hukum pengangkatan CPNS ini berdasarkan konteks dan keadaan yang lebih jernih. Kita perlu mengurainya kembali sejak diterbitkannya PP No. 98/2000 di mana peraturan tersebut mulai mengatur teknis pembatasan usia. Dimana pengangkatan CPNS dapat dilakukan dengan minimun usia 18 tahun hingga 35 tahun. Yang tercantum dalam pasal 6-nya.
PP No. 98/2000 telah mengalami perubahan kembali menjadi PP No. 11/2002, khususnya pasal 6 ayat 2, yang berbunyi “Pengangkatan CPNS dapat dilakukan bagi mereka yang melebihi usia 35 tahun berdasarkan kebutuhan khusus dan dilaksanakan secara selektif”.
Pesan dalam PP No.11/2002 tersebut merupakan dasar kekuatan hukum untuk melihat pengecualian pengangkatan CPNS yang telah memiliki masa kerja, dan merupakan kebutuhan khusus yang harus melalui proses seleksi.
Sejarah pernah mencatat, pengangkatan CPNS bidan desa PTT misalnya di tahun 2006, ataupun pengangkatan CPNS Kategori 1 yang berdasarkan PP No. 48/2005, dan PP No. 56/2012, tentu saja memerhatikan pertimbangan hukum atas PP No. 11/2002 tersebut. Sehingga pengangkatan CPNS yang berlangsung dalam periode 2006 hingga 2014 sama sekali tidak mempersoalkan permasalahan usia. Fakta ribuan orang PNS berhasil direkrut atas dasar memiliki masa kerja sebelumnya sebagai pegawai tidak tetap (minimal satu tahun masa kerja), maupun honorer yang masuk Kategori 1 (digaji berdasarkan APBN dan APBD).
Selanjutnya, PP No. 11/2002 mengalami perubahan kembali menjadi PP No.78/2013, tidak merubah konten apapun terhadap pasal 6 ayat 2, PP No. 11/2002. Pesan yang hadir dalam perubahan kedua PP No. 98/2000 tersebut. Hanya merubah ketentuan pasal 2 ayat 2, pasal 7, pasal 7A dan pasal 7B, pasal 7C atas PP No.98/2000, di mana PP No. 78/2013 hanya memuat dua pasal saja. Yang mengandung pesan tentang perencanaan dan perlakuan seleksi, atas pelaksanaan pengadaan pegawai negeri sipil bagi warga negara Indonesia.
Hal ini telah penulis sampaikan kepada Deputi IV Kantor Staf Presiden Eko Sulistyo, sebagai pertimbangan kebijakan dan rekomendasi. Agar fakta hukum tersebut sampai ke meja Presiden dan Wakil Presiden RI.
Jika Menkes RI pernah menyatakan bahwa tenaga kesehatan di atas 35 tahun akan diarahkan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) berdasarkan hasil ratas bersama Presiden. Agaknya perlu ditinjau kembali.
Di Istana Mancawarne, Gianyar, Bali, Menpan & RB , Asman Abnur baru saja ditemui seorang bidan desa PTT (Pusat), di hari Rabu, 22 Maret 2017 dan lalu sempat bertanya. Tentang PPPK yang masih dikontrak kerja kembali kepada Menpan & RB. Penulis cukup tergelitik mendengar kisah pertemuan tersebut. Sebabnya, Menpan & RB justru memberi jawaban di luar nalar ilmiah. Kepada bidan desa PTT tersebut yang telah mengabdi sepuluh tahunan lamanya, yang disebut akan diarahkan menjadi PPPK, membuat kita semua terhenyak. Pasalnya, Menpan & RB sendiri malah menjawab, bahwa dirinya masih memelajari tentang sistem kerja kontrak dalam PPPK.
Dalam hal ini penulis mengingatkan kepada seluruh pejabat publik di negeri ini, agar berikhtiar dan dapat menorehkan kebaikan untuk melakukan perubahan. Jangan sampai atas ketidaktahuan justru menjerumuskan ribuan orang menjadi PPPK.
Menimbang kegaduhan yang mesti segera disudahi. Penulis merasa perlu hadirkan tiga hal yang seyogyanya segera dilakukan.
Pertama, atas dasar PP No. 98/2000 jo PP No. 78/2013 maka tidak ada permasalahan pembatasan usia yang telah jelas diatur di dalam PP No. 11/2002 pada pasal 6 ayat 2. Sebagai wujud dan konteks penanganan khusus atas permasalahan khusus untuk mengangkat seluruh tenaga kesehatan yang masih bersisa sebanyak 4.220 orang yang terdiri dari bidan desa PTT, dokter, dan dokter gigi. Segera menetapkan pengumuman kepada 19 ribu penyuluh pertanian Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian dengan melaksanakan seleksi dan tes CAT pada penyuluh pertanian yang belum menjadi peserta seleksi, sebagai CPNS secara sistematis.
Di tangan penulis, sebuah rahasia akan segera terungkap. Data base SK CPNS yang diberikan di tahun 2015 dan tahun 2016. Dan lagi, itu terjadi di luar moratorium (kementrian lainnya). Dan berusia rata-rata di atas 45 tahun.
Kedua, menjadikan momentum pengangangkatan CPNS tenaga kesehatan, pendidik dan pertanian sebagai agenda penyelesaian permasalahan kepegawaian di Indonesia yang mendukung infrastruktur dan pembangunan nasional di tiga bidang tersebut. Agar dapat mengejar ketertinggalan dan kekurangan atas permasalahan nasional dengan program pemerintahan pusat yang lebih tepat sasaran.
Ketiga, mengevaluasi seluruh tenaga honorer yang telah direkrut oleh sejumlah pemerintahan daerah berdasarkan kebutuhan, pemerataan dan keterbukaan distribusi tenaga pelaksana program pemerintah pusat dan daerah. Agar memiliki kepastian kerja di tempat kerjanya. Meningkatkan taraf hidup dan pendapatan. Sehingga menggairahkan ekonomi di tingkat bawah.
Masih segar di ingatkan kita, 57 ribu orang PNS fiktif yang pernah terungkap. Tanpa pertanggungjawaban siapa yang seharusnya bertanggungjawab. Dan kalau saja telah menyedot anggaran negara, bergaji Rp. 1 juta rupiah semisal. Maka Rp. 57 miliar dalam sebulan, kebocoran APBN telah terjadi. Sudah berapa lamakah hal tersebut berlangsung? Apalagi pengangkatan CPNS di bumi pertiwi ini telah menjadi rahasia umum, selalu saja bakal CPNS dijadikan mesin ATM para oknum.
Mengingat SABER PUNGLI. Saya kira ini momentumnya. Presiden, mari berbenah dan bersih-bersih.
*Penulis adalah Pendiri Konfederasi KASBI, dan Pembina FORBIDES Indonesia-KASBI