JAKARTA – Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengatakan, terkait dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang larangan eks napi koruptor maju sebagai calon legislator, pihaknya menyerahkan itu ke parlemen dan komisi pemilihan. Hanya satu yang ditegaskannya, aturan sebaiknya memang merujuk pada aturan perundangan-undangan.
Pemerintah menyatakan tidak akan mengusulkan revisi Undang-Undang Pemilu dan menerbitkan Perppu untuk mengakomodir usulan KPU melarang mantan narapidana menjadi calon legislatif pada Pemilu tahun 2019.
“Kalau mengubah UU tidak mungkin, membuat Perppu tidak mungkin (untuk akomodir narapidana menjadi caleg),” ujar Tjahjo di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (6/4).
Tjahjo menjelaskan keengganan pemerintah merevisi Undang-Undang Pemilu lantaran pendaftaran caleg hanya tersisa dua bulan lagi. Ia juga berkata revisi Undang-Undang tidak bisa direvisi dalam waktu singkat.
Selain itu, Tjahjo juga khawatir revisi Undang-Undang Pemilu bakal meluas ke substansi lain jika jadi dilaksanakan sebagaimana yang terjadi pada revisi Undang-Undang sebelumnya.
Lebih lanjut, terkait dengan penerbitan Perppu, ia menilai keikutsertaan mantan narapidana dalam pemilu bukan merupakan hal yang bersifat genting. Sebab, ia mencatat persentase narapidana yang menjadi caleg jumlahnya tidak mayoritas.
“Mendesak itu kalau sudah di atas 50 persen,” ujarnya.
Di sisi lain, Tjahjo mempersilakan KPU membuat aturan yang nantinya melarang mantan narapidana menjadi caleg atau kepala daerah ke dalam PKPU. Namun larangan itu diminta tidak menyimpang dari ketentuan di dalam Undang-Undang yang berlaku.
“KPU silahkan buat PKPU, tapi aturan itu tidak menyimpang dari Undang-Undang,” ujar Tjahjo.
Lebih dari itu, ia menyarankan KPU bekerjasama dengan KPK untuk melakukan pencegahan, khususnya dalam konteks pidana korupsi.
KPU tengah membahas aturan melarang bekas narapidana kasus korupsi, narkoba hingga kejahatan seksual terhadap anak, menjadi calon anggota legislatif. Rencananya, aturan tersebut akan dimasukkan dalam Peraturan KPU baru karena belum pernah diterapkan pada Pemilu 2014.
Sementara itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat aturan melarang mantan narapidana korupsi mendaftar menjadi calon legislatif tak tepat. Menurut Mahfud, mestinya yang merancang aturan itu adalah eksekutif (presiden) dan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat).
“Aturan itu bagus tapi salah kalau KPU yang membuat,” ujar Mahfud saat ditemui di kantornya, Kamis (5/4).
Pada dasarnya, kata Mahfud, ketentuan tentang hak dan kewajiban warga negara hanya boleh diatur oleh undang-undang (UU). Oleh karena itu, hanya presiden dan DPR yang berhak menggodok aturan tersebut.
“Yang harus membuat itu ya lembaga legislatif karena menurut UUD hak asasi manusia hanya boleh dikurangi dan diberikan UU. Itu saja dalilnya tidak ada lagi,” kata Mahfud.
KPU sebelumnya berencana memasukkan aturan itu dalam Peraturan KPU yang baru. Aturan itu diklaim berasal dari inisiatif KPU karena Undang-Undang Nomor 7/2017 tidak mencantumkan larangan bagi eks napi korupsi yang ingin mendaftar caleg.
Larangan itu dinilai penting karena pejabat negara atau wakil rakyat merupakan orang yang diberi amanah oleh masyarakat. Oleh karena itu, mereka yang terpilih harus ‘bersih’ dan memiliki rekam jejak yang baik. (Calvin G. Eben-Haezer)