JAKARTA – Menteri Agraria dan tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan, ada 6,4 juta hektar lahan di Indonesia yang berpotensi mengalami tumpang tindih.
DIa menyebutkan, 6,4 juta hektar lahan itu memiliki sertifikat, tetapi tidak tertera di peta sehingga berpotensi tumpang tindih.
“Saya sampaikan saja di Indonesia ini, potensi tumpang tinggi tanah itu memang luar biasa. Karena setelah saya dalami, akibat masa lalu itu memang ada sekitar 6,4 juta hektar,” kata Nusron di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (31/10/2024).
“Yang kalau di sertifikatnya itu jumlahnya 13,8 juta bidang sertifikat. Ada sertifikatnya, enggak ada petanya. Nah, ini memang potensi tumpang tindih,” imbuh dia.
Nusron tidak memungkiri bahwa lahan yang berpotensi tumpang tindih ini menjadi incaran mafia tanah.
Ia pun mengaku harus keliling ke lapangan untuk membenahi masalah lahan-lahan tersebut, termasuk menemui Kejaksaan Agung (Kejagung) agar memiliki fokus yang sama.
“Nanti (keliling juga) ke kepolisian dan sebagainya. Karena inilah yang potensi masalah sengketa tanah, kemudian konflik pertanahan, kemudian yang dimainkan oleh mafia tanah,” ucap Nusron.
Ia berharap masalah sengketa lahan itu dapat diminimalisasi meski tidak semua masalah dari 6,4 juta hektar lahan itu terselesaikan.
“Ini mau enggak mau kan harus kita selesaikan. Kalau toh enggak bisa menyelesaikan semua, minimal kan harus saya mengurangi. Tinggal 1 juta atau berapa. Supaya potensi konflik pada sengketa pada kemudian hari itu menurun,” kata Nusron.
Politikus Partai Golkar ini menekankan, permasalahaan itu harus diselesaikan demi menyudahi konflik tanah yang berpotensi semakin karut-marut. Oleh karena itu, ia pun meminta aparat penegak hukum untuk tegas dan mafia tanah dikenakan pasal berlapis termasuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
“Saya minta kepada APH supaya dikenakan pasal berlapis. Tidak hanya tindak pidana umum atau tindak pidana korupsi. Tapi kan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) untuk efek jeranya,” kata Nusron.
Sanksi Buat 537 Perusahaan Sawit Tanpa Izin
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sebelumnya, Nusron Wahid menargetkan, kasus 537 perusahaan sawit yang tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) tanpa Hak Guna Usaha (HGU) selesai pada akhir tahun ini.
“Targetnya sampai Desember ini harus selesai,” kata Nusron di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (31/10/2024).
Ia mengatakan, penertiban dilakukan untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang ada sebelumnya, yakni Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 27 Oktober 2016 terkait Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 41.
Merujuk putusan MK tersebut, penanam kelapa sawit harus memiliki dua izin sekaligus, yakni IUP dan HGU, bukan lagi salah-satunya.
Menurut rencana, ratusan perusahaan sawit tidak berizin itu bakal dikenakan sanksi berat.
“Kalau potensi dendanya sedang dihitung oleh BPKP. Kami minta BPKP menghitung. Setiap yang menanam kelapa sawit yang budidaya itu harus, satu punya IUP perkebunan, satu punya HGU. Nah, akibat keputusan itu ada 537 perusahaan kelapa sawit yang tidak punya HGU,” ucap Nusron.
Nusron mengungkapkan, 537 perusahaan sawit itu telah menanam di tanah negara tanpa izin selama 8 tahun terakhir, mengacu pada aturan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mulai berlaku tahun 2016.
“Berarti sejak tahun 2017, 2018, 2019, 2020, 2021, 2022, 2023, 2024. Selama 8 tahun, ya. Selama 8 tahun yang bersangkutan itu menanam di atas tanah negara tanpa izin,” kata politikus Partai Golkar itu.
Selain menghitung denda, Nusron juga tengah mengonsultasikan masalah hukumnya dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Ia ingin mengetahui, menanam selama 8 tahun di tanah negara tanpa izin masuk kategori perbuatan melawan hukum atau perbuatan lainnya.
“Nah, kemudian yang kadung menanam, mereka ini dendanya dikenakan berapa? Apakah sifatnya dendanya itu bagi hasil? Apakah dendanya dihitung sewa? Selama 8 tahun atau bagaimana? Kita serahkan sama juru hitungnya BPKP,” kata Nusron.
Diberitakan sebelumnya, Nusron mengaku tak segan memberikan sanksi berat kepada 537 perusahaan sawit yang tak memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) tanpa Hak Guna Usaha (HGU). Sanksi utama yang akan diterapkan adalah denda pajak, dengan besaran yang saat ini sedang dihitung oleh BPKP.
“Ini yang mau kita tertibkan dalam waktu 100 hari ini harus tuntas, kalau ditotal jumlahnya ada 2,5 juta hektar,” kata Nusron dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi II DPR RI di Jakarta, Kamis (31/10/2024).
Kementerian ATR/BPN juga sedang melakukan evaluasi untuk menertibkan dan menyelesaikan penerbitan HGU dari ratusan perusahaan ini. (Enrico N. Abdielli)