Kami masih berkabung atas kepergian kawan kami terkasih, Yuli Eko Nugroho. Wahyu Susilo mengirim tulisan Dr. Priyambudi Sulistiyanto, Senior Lecturer Flinders University Adelaide, Australia kepada pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Dr. Priyambudi Sulistiyanto
PAGI ini (21 Juni 2021) saya mengayuh sepeda listrik ke kampus Flinders University di pusat kota Adelaide, Australia, melintasi jalur sepeda di pertamanan kota yang indah, namun pikiran saya justru melayang jauh ke Yogya, kota tercinta, dimana belakangan ini terjadi peningkatan orang-orang yang terpapar Covid.
Setiap hari saya selalu menghubungi keluarga dekat dan di akhir pekan, biasanya, saya selalu telpon (japri) dengan beberapa teman lama, termasuk Juli Nugroho. Namun demikian, belakangan hari ini, saya tidak mendengar kabar dari dirinya. Ada apa ini?
Akhirnya, saya menghubungi Dedy Mawardi dan Wahyu Susilo lewat WA dan kemudian mendengar berita sedih bahwa Juli Nugroho dinyatakan meninggal dunia di Rumah Sakit Purworejo, Jawa Tengah, setelah terpapar Covid dan melakukan isolasi mandiri di rumahnya.
Berita sedih ini saya terima ketika saya akan memberi presentasi di Zoominar tentang Konflik Resolusi di Myanmar yang diadakan oleh Universitas Pertahanan Indonesia di Indonesia. Konsentrasi saya sedikit terganggu. Sedih dan pilu.
Secara historis, saya mengenal sosok Juli Nugroho sejak tahun 1980an ketika itu ia (dan beberapa teman seangkatanya) bergabung menjadi wartawan/aktivis pers mahasiswa di Majalah Keadilan, di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII), di Yogya. Kebetulan saya bertugas menjadi Koordinator riset dan kajian dan sering mengadakan diskusi rutin untuk mempersiapkan bahan dan topik utama untuk dibawa ke rapat Redaksi.
Disinilah, di barisan aktivis pers mahasiswa, saya berkenalan, berteori dan berpraksis dengan teman-teman lama, seperti misalnya dengan, Atha Mahmud, Ifdhal Kasim, Nashrun Marzuki, Muhammad Yamin, Iwan Asnawi, Dedy Mawardi, Syaiful Bahari, Diah D. Yanti, dan Abdul Haris Semendawai.
Ada banyak cerita dan refleksi tentang mereka semua namun yang saya ingin berbagi cerita disini adalah persahabatan dengan Juli Nugroho yang tetap saya teruskan dan terjaga terus meskipun saya sudah meninggalkan Yogya sejak 1989 (ke Lombok dan Sumbawa), 1990 (ke Bangkok, Muangthai) dan akhirnya 1991 (ke Adelaide, Australia).
Sejak saat itu, jika saya ‘mudik’ ke Yogya, saya selalu mencari, menghubungi, dan bertemu teman-teman lama lainnya, antara lain, Almarhum Muhammad Yamin, Raziku Amin, dan juga Rumekso Setyadi atau Markijok.
Terus terang, persahabatan dengan Juli Nugroho ini makin kuat dan mendalam, setelah saya berkerja sebagai dosen dan peneliti di luar negeri, di National University of Singapore (NUS), Singapura, dan di Flinders University, Adelaide, Australia. Saya selalu mendapat bantuan dan saran-saran dari Juli Nugroho ketika sedang meneliti dan menulis tentang topik-topik politik lokal di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya.
Jujur sekali bahwa Juli Nugroho adalah tidak sekedar kawan lama, namun ia juga ‘Guru’ dan ‘Mentor’ bagi saya khususnya untuk memahami dan memetakan dinamika politik lokal di Yogya dan sekitarnya.
Pengetahuan dan kecerdasannya untuk menganalisa dinamika politik lokal di Yogya adalah dikarenakan ia sudah tinggal lama di Yogya yaitu sejak tahun 1980an. Terlebih itu, ia juga berlatar belakang aktivis yang memiliki jaringan pertemanan yang banyak sekali, bahkan lintas aliran etnis, politik, lintas agama, dan lintas birokrasi.
Ia pun memiliki jaringan akar rumput yang luas baik di perkotaan dan pedesaan, disekitar Yogya, Bantul, Sleman, Wonosari, dan Kulon Progo.
Saya akui bahwa sebagai peneliti ilmu sosial, persahabatan saya dengan Juli Nugroho merupakan sebuah anugerah dan sangat istimewa mengingat jika saya ingin mencari informasi dan pemahaman tentang dinamika politik lokal di Yogya, saya bisa mendapatkan sumbernya langsung dan kredibel.
Dibawah ini adalah beberapa hasil riset politik lokal di sekitar Yogya yang pernah saya terbitkan di luar negeri dan sahabat saya, Juli Nugroho, adalah menjadi bagian terpenting dari proses penulisan dan kontemplasi penulisannya.
Pada tahun 2005 dan 2006 saya dibantu Juli Nugroho untuk mengunjungi Kotagede dan Bantul dan rangka meneliti dinamika politik dan identitas lokal di Kotagede, terutama yang berhubungan dengan jatuh bangunnya bisnis industri rakyat kerajinan perak dan peran Muhammadiyah.
Setelah itu saya mengamati pemilihan kepala daerah (Pilkada) pertama di Kabupaten Bantul dan saya juga dibantu banyak oleh Juli Nugroho, terutama menemui tokoh-tokoh lokal dan juga simpul-simpul politik yang penting di pedesaan di Kabupaten Bantul.
Setelah itu pada tahun 2009-2010, saya dan Andrew Rosser, teman akademisi di Universitas Adelaide, juga melakukan riset bersama untuk memperbandingkan dinamika politik di Sleman dan Bantul, khususnya dalam menerapkan skema pendidikan gratis.
Bantuan dari Juli Nugroho sangat penting mengingat saya bisa mendapatkan informasi di tingkat lokal dan bertemu dengan para guru dan juga paguyuban orang tua yang berbeda pendapat mengenai skema pendidikan gratis di kedua kabupaten tersebut.
Akhirnya, pada tahun 2010 dan 2011, saya melakukan riset antropologis di kaki Kaliadem dan Kaliurang dimana bantuan Juli Nugroho juga sangat penting yaitu mempertemukan saya dengan banyak nara sumber yang mengetahui secara langsung tentang penanganan bencana alam. Saat itu Juli Nugroho juga anggota tim bencana alam di tingkat nasional dan lokal pengetahuan ensiklopediknya tentang bencana alam di Indonesia, sangat mengesankan dan komprehensif.
Selamat jalan Kawan, Guru dan Mentor. Salam duka dari Adelaide. Amin dan Husnul Khotimah Mas!
Referensi:
Kotagede
Sulistiyanto, Priyambudi. “Muhammadiyah, Local Politics and Local Identity in Kotagede.” Sojourn (Singapore) 21.2 (2006): 254-70. Web.
Pilkada in Bantul
Sulistiyanto, Priyambudi. “PILKADA IN BANTUL DISTRICT.” Deepening Democracy in Indonesia? Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute Singapore, 2018. 190-208. Web.
Politik Pendidikan Gratis di Bantul dan Sleman
Rosser, Andrew, and Sulistiyanto, Priyambudi. “The Politics of Universal Free Basic Education in Decentralized Indonesia: Insights from Yogyakarta.” Pacific Affairs 86.3 (2013): 539-60. Web.
Politik Bencana di Gunung Merapi
Sakai, Minako ; Jurriëns, Edwin ; Zhang, Jian ; Thornton, Alec. “The Politics of the Mount Merapi Eruption in Central Java, Indonesia.” Disaster Relief in the Asia Pacific. Routledge, 2014. 137-49. Web.