PARAPAT- Forum Bidan Desa (PTT) Forbides terus mengejar Presiden Joko Widodo sampai di danau Toba untuk memastikan nasib 40.000 bidan PTT yang belum diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PTT). Ketua Umum Forbides, Bidan Desa Lilik Dian Ekasari bersama beberapa puluh orang bidan desa PTT mengejar jadwal kunjungan Presiden Joko Widodo ke danau Toba, Sabtu (20/8).
Lilik Dian Ekasari bersama rombongan bidan desa PTT yang tergabung dalam Forbides Sumatera Utara mengejar Presiden dan bicara langsung menagih komitmen Presiden atas janjinya untuk mengangkat bidan desa PTT menjadi PNS. Forbides juga menyiapkan surat terbuka yang diserahkan langsung kepada Presiden RI. Dibawah ini surat terbuka kedua untuk Presiden RI Joko Widodo yang diterima Bergelora.com Minggu (21/8)
Assalamualaikum, Wr. Wb
Salam Sejahtera Pak Jokowi
Sehat selalu Bapak dan Ibu Negara Iriana Di sepanjang aktifitas sehari-hari Bapak.
Pak Presiden,
Hari ini Sabtu, 20 Agustus 2016, ada kabar gembira khususnya dari sahabat-sahabat juang kami, rekan sejawat bidan desa berlabel Pegawai Tidak Tetap (PTT Pusat), dari provinsi Sumatera Utara.
Kunjungan Presiden dan Ibu Iriana, di Puskesmas Aekhabil, kecamatan Sibolga Selatan, Kotamadya Sibolga, Sumatera Utara. Yang didampingi Menkes RI Ibu Nilla F Moeloek, dan Anggota Komisi XI DPR RI Maruarar Sirait yang akrab dipanggil Bang Ara, dapat berjumpa, bersalaman, berfoto, bahkan kami amat bersyukur, Ibu Iriana menerima persembahan buket bunga dari FORBIDES. Dan Bapak, mendengarkan langsung aspirasi, aduan kami bidan desa berlabel PTT tentang perjuangan hak kepastian kerja kami agar dapat diangkat semuanya sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Terlebih Bapak, menerima dan mengantongi langsung Surat Terbuka kami untuk Bapak yang pertama, sehari sebelum 17 Agustus 2016.
Bapak Jokowi,
Hari ini kita sama-sama berada di pinggir danau Toba, tanah Batak, Sumatera Utara. Sebenarnya, saya bertolak dari Jakarta ke Sibolga, Pak. Lantaran ingin menghadiri Karnaval Toba di Balige, entah apa yang mendorong saya dengan harap-harap cemas harus menjumpai Bapak.
Baru injakkan kaki pertama kali, di bandara Dr. Ferdinan Lumban Tobing, tepat pukul 10.30 Wib, kabar pasti dari rekan bidan desa PTT di Sibolga, Bapak kunjungi Puskesmas rekan saya.
Selisih lima belasan menit saja Pak. Saat rombongan pengamanan kendaraan Presiden akan meluncur jalur yang berlawanan saya tempuh. Saya menuruni kendaraan yang saya tumpangi lalu bergegas menyebrang jalan, dan melambaikan tangan, meneriakkan nama Pak Jokowi, dari pinggir jalan.
Saya lihat Bapak menganggukkan kepala, tersenyum dan lambaikan tangan, dari balik kaca jendel terbuka sedan hitam berkecepatan sedang melintas dari tatapan saya.
Di acara penurunan bendera Merah Putih, upacara sore hari di Istana Negara, saat Bapak bersalaman kelilingi masyarakat berjalan seperti kejadian tahun lalu, sayapun telah meminta Bapak untuk merespon adanya Surat Menkes RI tertanggal 7 Juni 2016, yang saya sebutkan dalam surat terbuka saya sebelumnya. Tentang keberadaan nasib bidan desa Pak Jokowi. Bapak memerintahkan Ajudan Bapak Kombes Polisi. Bapak bilang, “diselesaikan!”. Sembari menunjuk Ajudan Kombes Polisi Pak Toni, di sore itu. Namun tak ada kelanjutannya, dari perintah Bapak Presiden hingga hari ini Pak.
Pak Jokowi,
Mohon maaf saya kembali menyita perhatian Bapak kembali. Atas nama seluruh bidan desa berlabel PTT (Pusat) kami sekali lagi sampaikan kesungkanan luar biasa, dan nyuwun ngapuro, nyuwun sewu Pak Jokowi, sebab saya, dan kawan kami bidan desa PTT Pusat ini bukanlah siapa-siapa. Hanya perempuan dan ibu-ibu para pengabdi yang jauh dari akses bertemu Bapak.
Itu betul Pak. Para pengabdi seperti kami ini, jangan ditanya lagi jerih pengabdian selama ini. Menyanggupi daerah-daerah pelosok, yang listriknya hidup dua jam dalam satu hari.
Menuliskan surat inipun, saya teringat banyak kawan sejawat kami, yang meninggal dunia, saat perahunya terjungkal di laut, Papua sekitar awal Desember 2015 lalu.
Di Kalimantan, rekan bidan PTT kami, saat merujuk pasien ke RS yang terperosok ambulannya dan akhirnya menjadi pasien alami keguguran. Di Tasikmalaya, nyaris diseruduk babi hutan, saat berjalan kali menandu pasien ibu melahirkan selama empat jam di jalan setapak.
Bahkan di Jawa Tengah, bidan desa PTT (Pusat) harus melawan ombak ketinggian empat meter, saat rujuk pasien sambil menenteng anak sendiri. Pak Gubernur Ganjar Pranowo, juga mengetahui peristiwa itu. Kami bukan lagi selamatkan dua nyawa, namun pertaruhkan tiga nyawa sekaligus Pak. Nyawa bidan desa berlabel PTT sendiri.
Pak Jokowi,
Semoga Bapak membaca dan dapat mengambil keputusan terbaik untuk selamatkan ibu melahirkan dan selamatkan bidan desa Mu ini Pak.
Kami tertekan Pak. Kami bingung. Kami gelisah. Dan kami semua saat ini merasa di ujung tanduk. Lima hari kerja lagi Pak. Jumat, 26 Agustus 2016, akan menjadi Jumat Kramat. Jika nasib kami sebagai ibu-ibu bidan desa berlabel PTT tak memiliki kedaulatan atas hak kepastian kerjanya. Dijadikan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), di atas usia 35 tahun. Yang sama saja cuma berubah label. Dan tetap berstatus kontrak.
Dan di bawah 35 tahun akan dikriteria siapa yang menjadi CPNSD. Pengumuman itu sama sekali tidak menggunakan nalar ilmiah Pak. Usia kami yang bertambah melebihi 35 tahun, itu karena tak putus-putus mengabdi sebagai bidan desa PTT Pusat.
Dan di bawah 35 tahun, juga tak jelas kepastiannya, siapa yang benar-benar dinyatakan lolos CPNSD. Padahal kondisinya force majeur Pak. Penumpukkan bidan desa yang tak pernah mendapatkan kesempatan setelah lebih dari sembilan tahun mengabdi. Lebih berpengalaman, dan yang selama ini berjuang di garis terdepan, untuk menurunkan AKI dan AKB, di tengah perjuangan hak kepastian kerja ini Pak.
Tadi pagi Bapak dengarkan jeritan hati ibu-ibu bidan desa PTT, di Puskesmas di daearah Sibolga. Percayalah Pak, kalau Bapak sempatkan kunjungi belasan ribu puskesmas di seluruh Indonesia ini Pak, jeritan yang sama dari bidan desa ini Pak, akan terdengar, menusuk-nusuk Merah Putih yang baru saja kita kibarkan di Hari Kemerdekaan ini, Pak.
Bagaimana Indonesia Daulat Kesehatannya, jika bidan desa Bapak ini, sebagai tenaga fungsional rendahan selama ini, jauh dari kepastian kerjanya..
Pak Jokowi,
Kami tak ingin keluar dari mulut macan, masuk mulut buaya Pak. Jika pengumuman 26 Agustus 2016 nanti, kami tak miliki jaminan kepastian kerja sebagai Pegawai Tetap Negara, CPNS. Apalagi, politik ladang PUNGLI, jadikan bidan desa Mu ini, sebagai mesin ATM, di tengah semangat Revolusi Mental dan Nawacita yang melekat dalam pengabdian kami.
Salam Juang, Pak Presiden Jokowi!
Danau Toba, Parapat, Sumatera Utara
20 Agustus 2016,
Bidan Desa Lilik Dian Ekasari,
dan kawan-kawan
Sebelumnya informasi yang didapat Bergelora.com, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) yang baru, Asman Abnur bersama Badan Kepegawaian Nasional (BPN) justru membatasi bidan desa PTT yang akan diangkat menjadi PNS. Untuk bidan desa PTT diatas usia 35 tahun tidak ada pengangkatan. Sedangkan yang dibawah 35 tahun sesuai dengan kuota formasi dari masing-masing daerah.
“Kami sebenarnya menginginkan semua bidan desa PTT dibawah Forbides sebanyak 40.000 bidan bisa diangkat jadi PNS. Agar dapat bekerja dibawah tanggung jawab Kementerian Kesehatan. Namun Menpan dan BPN yang mengatur kuota. Tidak semua diangkat,” ujar sumber Bergelora.com di Kemenkes, Jakarta, Sabtu (20/8)
Keputusan yang bertentangan dengan janji Presiden Joko Widodo ini rencananya akan diumumkan pada 26 Agustus 2016.
“Inikan namanya mensabot janji Presiden. Ini sama saja memupuk antipati pada pemerintahan dan Presiden Joko Widodo,” ujar Bidan Desa Lilik Dian Ekasari kepada Bergelora.com di Parapat. (Eka Pangulimara Hutajulu)