NEW YORK – Pemerintah negara-negara di dunia perlu menaruh perhatian penting pada Goal 16 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) tentang antikorupsi dan tata kelola demi menciptakan masyarakat yang damai, berkeadilan dan inklusif di Indonesia. Jika tidak, target-target SDGs yang lain tidak akan terwujud.
“Implementasi pembangunan dan pembiayaan pembangunan hanya akan efektif apabila korupsi dicegah dan dikurangi,” kata Ilham Saenong, Direktur Program Transparency International Indonesia (TII).
Hal itu disampaikan setelah menghadiri Deklarasi Dukungan Open Government Partnership (OGP) terhadap Agenda Pembangunan 2030 di Gedung PBB New York, 27 September 2015. Setidaknya sepuluh perwakilanOrganisasi Masyarakat Sipil Indonesia hadir dalam deklarasi ini diantaranya Walhi, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Aliansi Jurnalis
Independen (AJI), Prakarsa, TII dan Kontras.
Dalam rilis yang diterima Bergelora.com Rabu (30/9) Ilham menguraikan realitas di Indonesia saat ini, masyarakat tak kunjung sejahtera, meskipun triliunan dana pembangunan digelontorkan setiap tahunnya. Ia menduga korupsi karena tata kelola pemerintah yang buruk menjadi penyebabnya.
“Akibatnya manfaat pelayanan publik dan pengadaan barang jasa pembangunan tidak sampai pada masyarakat yang paling membutuhkan,” lanjut Ilham.
Merujuk Corruption Perception Index Indonesia yang dirilis Transparency International pada 2014 Indonesia menempati posisi 107 dari 175 negara yang disurvei. Indonesia memperoleh skor 32 dalam skala 0-100. Nol menunjukkan negara paling korup dan angka 100 untuk paling bersih. Artinya, Indonesia masuk dalam kategori negara dengan tingkat persoalan korupsi yang tinggi di birokrasi, lembaga-lembaga politik, dan peradilan.
Dalam goal 16 SDGs diantaranya menegaskan pentingnya tata kelola dan menekan korupsi. Masyarakat harus terlibat sejak kebijakan dibuat dan program pembangunan dilaksanakan.
“Pelibatan tersebut bersifat subtantif, bukan hanya sebagai stempel atau gimmick saja,” katanya.
Agenda Pembangunan 2030 yang dirumuskan dalam 17 Goal SDGs telah mengubah paradigma pembangunan secara signifikan.
Dian Kartikasari Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang hadir dalam High Level Panel Pembangunan Berkelanjutan yang diadakan Beyond 2015 pada hari yang sama dalam Sidang Umum PBB, menegaskan SDGs menempatkan masyarakat sebagai pusat.
“Artinya masyarakat menjadi tujuan akhir, maupun sebagai pelaku aktif dalam pembangunan,” ungkapnya.
Dian menegaskan prinsip leave no one behind dalam SDGs harus dimaknai kelompok-kelompok rentan yang selama ini sering diabaikan dalam agenda pembangunan harus mendapat prioritas pertama sebelum membicarakan yang
lain.
“Kelompok miskin, kaum rentan, termasuk perempuan, penyandang disabilitas, pekerja migran dan masyarakat adat selama ini sering tersingkir dalam proses penentuan kebijakan dalam pembangunan,” kata Dian menambahkan.
Pembangunan masyarakat yang damai, berkeadilan dan inklusif sebagai cita-cita Goal 16 SDGs dapat diwujudkan melalui penerapan prinsip-prinsip tatakelola pemerintahan terbuka.
“Kita bisa menggunakan platform OGP dan pengalaman Indonesia selama 4 tahun
terakhir sebagai modal awal untuk membangun mekanisme dan tatakelola implementasi SDGs. Jika dilakukan akan mempercepat pencapaian Nawacita,” katanya.
Dalam OGP dikenal kesetaraan antara wakil pemerintah dan masyarakat sipil dalam struktur dan mekanisme pengambilan kebijakan. Selain itu disediakan mekanisme review yang bersifat independen untuk lebih memperkuat akuntabilitas. Sebanyak 66 negara pendukung OGP diharapkan menjalankan Agenda Pembangunan (SDGs) 2030 dengan platform OGP seperti model kepemimpinan, mekanisme pengambilan keputusan, rencana aksi dan monitoring SDGs. Indonesia adalah pendiri OGP tahun 2011 bersama tujuh negara lain, seperti Amerika Serikat, Inggris, Meksiko dan Brazil,
Filipina dan India. (Enrico N. Abdielli)