Minggu, 20 April 2025

Pemerintah Didesak Jelaskan Tiga Pasal Siluman

BANDARLAMPUNG- Anggota DPR RI  dari Fraksi Partai Hanura Frans Agung Mula Putra mendesak pemerintah mengklarifikasi terkait kemunculan tiga pasal siluman dalam UU Pilkada No.8 Tahun 2015 yang telah disahkan DPR RI pada 17 Februari 2015 lalu.

 

“Saya mendesak dan meminta pemerintah menjelaskan soal kemunculan tiga pasal ini,” kata Frans Agung kepada Bergelora.com, Selasa (27/4).

Menurutnya, munculnya tiga pasal siluman itu diduga kuat saat terjadi pertemuan antara pimpinan Panja RUU Pilkada dan Kapoksi Komisi II DPR RI dengan pihak pemerintah di Sekretariat Negara (Sekneg) pada 9 Maret 2015.

“Soal siapa yang menghilangkan dan atau yang menambahkan pasal dalam UU Pilkada setelah disahkan itu kita tidak tahu. Hanya saja kasus itu diduga terjadi setelah ada pertemuan pihak DPR RI dengan pemerintah di Sekneg pada 9 Maret 2015,” kata balon bupati Lamsel itu.

Padahal kata Frans Agung, perdebatan pemilihan kepala daerah langsung atau tidak langsung sudah selesai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2014 dan disahkannya menjadiUU No.1 Tahun 2015 dan UU No 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU No.1 Tahun 2015tersebut.  Namun, UU ini menjadi cacat hukum ketika muncul pasal yang sebelumnya tidak ada dalam UU atau pasal yang sudah dibahas dan disahkan oleh paripurna DPR pada 17 Februari 2015itu.

Frans menyebutkan pasal yang bermasalah tersebut; Pertama, Pasal 42 Ayat 7 UU No 1 Tahun 2015 yang disetujui DPR menyebutkan, “Pendaftaran calon gubernur dan calon wakil gubernur, pasangan calon bupati dan calon wakil bupati, serta pasangan calon walikota dan calon wakil walikota selain pendaftarannya ditandatangani oleh ketua dan sekretaris partai politik, jugà harus disertai surat persetujuan dari pengurus partai politik tingkat pusat.”

Pasal itu menurut wakil rakyat dari daerah pemilihan Lampung I itu, ternyata hilang atau tidak ada dalam UU No 8 Tahun 2015.

Kedua, Pasal 87 Ayat 4 UU No 1 Tahun 2015 yang berbuny, “Jumlah surat suara di TPS sama dengan jumlah pemilih yang tercantum di dalam DPT dan daftar pemilih tambahan ditàmbah dengan 2,5% dari daftar pemilih tetap sebagai cadangan”. Padahal, pasal itu, tidak pernah dibahas dan disetujui oleh paripurna DPR. Tapi anehnya kata Frans Agung, pasal ini justru muncul dalam UU No.8 Tahun 2015 tersebut.

Ketiga, Pasal 71 Ayat 2 UU No.1 Tahun 2015 berbunyi, “Pengisian jabatan hanya dapat dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan.” Bahwa penjelasan pasal ini tidak pernah dibahas dan disetujui dalam paripurna DPR dalam perubahan UU No.1 Tahun 2015. Namun muncul menjadi, ”Dalam hal terjadi kekosongan jabatan, maka gubernur, bupati dan walikota menunjuk pejabat pelaksana tugas.”

Putra mantan bupati Tulangbawang Abdurachman Sarbini ini menambahkan telah hilang tiga point dari sebelumnya sebanyak 115 poin dan kini hanya menjadi 112 poin. Bahkan terjadi kekosongan hukum untuk politik uang dan jual beli suara dukungan partai politik dalam UU No.1 tahun 2015 dan UU No.8 tahun 2015 tersebut.

“Jadi, masih terjadi pertentangan antar ketentuan, tumpang-tindih, batasan syarat dan ketentuan pengajuan ke Mahkamah Konstitusi (MK) itu justru melangar hak asasi manusia,” ungkapnya.

Selain itu adanya ketersediaan anggaran bagi KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, tapi ada yang sudah dianggarkan dengan dana berlebih dan ada pula yang belum dianggarkan.

“Jangan sampai kekurangan anggaran ini dijadikan alasan untuk menunda pelaksanaan Pilkada dan politik anggaran jangan sampai dijadikan alat untuk menyandera Pilkada langsung ini,” pungkasnya. (Ernesto A. Goevara)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru