JAKARTA – Ekonom Senior yang juga merupakan pendiri Institute for Development of Economics and Finance atau INDEF, Faisal Basri mengungkapkan sejumlah kejanggalan basis perhitungan penerapan bea masuk anti dumping (BMAD) untuk produk keramik asal China sebesar 200% oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
Keanehan pertama, kata Faisal ialah dasar penyelidikan lonjakan impor keramik asal China yang dilakukan KADI selama tiga periode, yakni Juli 2019-Juni 2020, Juli 2020-Juni 2021, dan Juli 2021-Juni 2022. Namun, penyelidikan periode itu tidak memasukkan indikator terpenting yang mempengaruhi perdagangan global, yakni Pandemi Covid-19.
“Tapi analisis KADI memandang Covid itu tidak ada, tidak ada sama sekali satu katapun tentang Covid, dan semua perusahaan kan mengalami kerugian lah pada umumnya,” ucap Faisal dalam <em>Program Squawk Box CNBC Indonesia</em>, Senin (29/7) dikutip Bergelora.com di Jakarta, Rabu 31/7)
Keanehan kedua, menurut Faisal ialah adanya dua kajian terpisah yang dilakukan oleh KADI terkait basis pengenaan BMAD keramik. Kajian itu bertolak belakang antara yang dilakukan oleh Ketua KADI yang lama dengan yang terbaru.
“Yang kedua ada yang aneh sebetulnya KADI mengeluarkan dua kajian, dua perhitungan, yang pertama itu ketika ketua KADI nya belum diganti, jadi tidak sebesar ini sebetulnya kajian pertama, tapi tiba-tiba ketua KADI diganti, yang sekarang bikin kajian baru, dicocok-cocokan dengan 100-200% itu keluar lah yang aneh-aneh ini,” ungkap Faisal.
Keanehan ketiga ialah kondisi 38 perusahaan keramik yang ada di Indonesia sebetulnya tidak ada permasalahan, sebab mayoritas memproduksi keramik merah yang kualitasnya lebih rendah dari keramik porselen asal China, dengan produksi yang juga rendah. Sehingga, harga jualnya dua kali sampai tiga kali lebih rendah dari porselen.
“Yang paling penting juga bahwa keluhan dari KADI ini hanya mencerminkan 26% dari total populasi, nah sisanya sebetulnya tidak masalah,” tutur Faisal.
Oleh sebab itu, Faisal menekankan, penerapan BMAD ini harus diperhitungkan secara cermat, jangan sampai hanya mengakomodir 26% industri yang terdampak.
Ia pun menyarankan kepada KADI untuk mencermati pengaruh ketersediaan gas sebagai bahan baku utama dalam memproduksi gas.
“Jangan-jangan mereka yang kesulitan itu kekurangan gas atau tidak memperoleh pasokan gas, karena pasokan gas sangat terbatas. Karena cukup banyak keramik ini yang tidak memperoleh gas, dan gas nya itu harganya sudah diturunkan padahal dari US$ 13 menjadi US$ 6 itu kan luar biasa, karena keramik pembakaran,” kata Faisal.
“Kemudian mereka juga masih dapat safeguard dari 23% menjadi 13%. Jadi perlindungan itu sudah ada,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, rencana pemerintah menerapkan BMAD terhadap beberapa produk impor dari China termasuk ubin keramik kini terus dikebut. Proses investigasi sudah selesai oleh KADI Kementerian Perdagangan (Kemendag)
“Untuk perkembangan penyelidikan BMAD produk ubin keramik, penyelidikan tersebut telah selesai,” kata Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), Danang Prasta Danial kepada CNBC Indonesia, Jumat (19/7/24).
KADI pun telah menyampaikan hasil penyelidikan tersebut kepada Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Mendag Zulhas) dan sedang dikaji. BMAD ini akan menjadi senjata ampuh dalam menghalau banjir impor keramik ubin dari China, karena pengenaan tarif tambahan akan membuat keramik impor sulit bersaing.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Anti-dumping Tindakan Imbalan Dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, Menteri Perdagangan memiliki waktu 14 hari untuk menindaklanjuti rekomendasi dari KADI sejak surat itu diberikan kepadanya.
“Saat ini masih dalam tahap menerima masukan dari Kementerian terkait atas rekomendasi KADI,” kata Danang. (Web Warouw)