JAYAPURA- Presiden Sinode Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), Pendeta Dorman Wandikbo menegaskan bahwa badan pengurus pusat tidak pernah mengeluarkan surat edaran yang mengandung unsur larangan ibadah bagi umat muslim maupun penggunaan jilbab di Tolikara. Hal ini disampaikannya kepada Bergelora.com di Jayapura, Senin (20/7).
Pendeta Dorman Wandikbo mengatakan, pihaknya tidak pernah melarang umat muslim beribadah maupun menggunakan jilbab di wilayah Tolikara, seperti termuat dalam surat edaran nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015, yang dikeluarkan di Karubaga tertanggal 11 Juli 2015. Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua Wilayah Toli, Pendeta Nayus Wenda dan Sekretaris, Pendeta Marthen Jingga, dengan logo GIDI, serta ditembuskan kepada Bupati Tolikara, Ketua DPRD Tolikara, Polres Tolikara, Dandramil Tolikara dan file.
“(Surat) itu betul ada, tapi tanpa konfirmasi dengan saya selaku Presiden GIDI. Tanpa konfirmasi ke Bupati Tolikara sebagai ketua panitia juga sebagai penanggunjawab. Setelah kasi keluar surat itu tanggal 11 Juli, lalu tanggal 12 atau 13 Kapolres telpon Pak bupati dan saya,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa lewat telpon seluler ke Kapolres tersebut dirinya meminta maaf atas keluarnya surat tersebut.
“Saya minta maaf atas surat itu. (Surat-red) Itu tidak boleh keluar. Itu hari besar orang muslim jadi harus lakukan ibdah. Dan kemudian kalau bisa lakukan seperti biasa dan lakukan di dalam musolah. Dan tidak pakai toa karena sudah ada perda di Tolikara. Baru Pak Bupati juga sampaikan minta maaf kepada masyarakat di wilayah itu dan sebagai tanda solidaritas, bupati beli satu ekor sapi dan kami bersama-sama serahkan kepada mereka untuk dipotong, jelang hari raya idul Fitri,” jelasnya.
Dorman juga menjelaskan bahwa Bupati juga menyampaikan lewat kapolres, agar kalau bisa lakukan ibadah di dalam musolah, jangan di luar karena banyak mahasiswa, hampir 3.000 orang disini untuk kegiatan seminar dan KKR. Karena kalau di luar suasananya bisa memancing panas.
“Kemudian, pada tanggal 17 pagi itu, kaum muslim ibadah dengan pasang toa dan lakukan ibadah di luar. Karena ibadah diluar dan pasang toa, mahasiswa sekitar 15 orang dengan sangat sopan mendatangai panitia ibadah dan meminta kalau bisa ibadah di lakukan dalam ruangan, karena jarak dari tempat ibadah itu ke tempat kegiatan hanya 300 meter,” ujarnya.
Tapi, tiba-tiba menurutnya ada yang bawa senjata dan keluarkan tembakan. Akhirnya semua berlarian. Beberapa orang mulai datang, termasuk dirinya dan beberapa tamu undangan. Namun akhirnya mundur karena takut kena peluru nyasar.
“Massa berhamburan, marah, karena lihat ade-ade tertembak jadi pancing emosi dan mereka bakar kios, bukan musola. Musola itu ada di bagian dalam, tengah, tapi karena kios itu dari kayu, jadi merembet ke rumah-rumah penduduk dan ke musola yang ada dibagian belakang,” jelasnya.
Ia mengatakan, terciptanya insiden yang menewaskan satu remaja, 11 luka tembak dan kerugian materi akibat pembakaran rumah dan kios, memberikan kesan buruk aparat kemanan yang kecolongan dan tidak mampu menjaga keamanan sebagaimana menjadi tugas utamanya dan telah menyanggupi hal tersebut.
“Kami sangat menyayangkan lambannya sosialisasi yang dilakukan aparat keamanan kepada warga muslim, sehingga terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, apalagi toleransi umat beragama sejak puluhan tahun lalu di Tolikara, dan secara umum di seluruh tanah Papua sangat baik, dan paling baik di Indonesia.” (Yuliana Lantipo)