Jumat, 7 Februari 2025

Prijanto, PKI dan PDIP

Oleh: Aju

Minggu, 29 Juni 2014, Mayjen (Purn) Prijanto, Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat (2006) dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta (2007 – 2012), mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan di tengah-tengah hiruk-pikuk kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden tahun 2014.

Anggota Tim Sukses Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 1 atas nama Prabowo Subianto – Hatta Rajasa, Prijanto, menuding ada indikasi pasangan nomor urut 2 atas nama Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia (PKPI) disusupi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Prijanto kemudian secara terbuka menilai ideologi PDIP agak mirip dengan PKI. Agaknya tudingan diarahkan kepada dr. Ribka Tjiptaning, anggota F-PDIP DPR, dimana ayahnya yang sudah lama meninggal dunia, pernah dikaitkan dengan PKI. Inilah kampanye hitam terburuk di era demokratisasi sejak 21 Mei 1998. Tudingan Prijanto, menimbulkan kemarahan banyak pihak yang implikasinya bagaikan senjata makan tuan.

Dalam perhitungan cepat beberapa jam usai pelaksanaan Pemilu Presiden, Rabu, 9 Juli 2014, hanya 4 dari 11 lembaga survey memenangkan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa yang diusung koalisi gemuk Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrat (PD), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulang Bintang (PBB).

Jokowi –JK dimenangkan 7 dari 11 lembaga survey kredibel. Berdasarkan pengalaman Pemilu Presiden tahun 2004 dan 2009, maka hasil rekapitulasi perolehan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), Senin, 22 Juli 2014 mendatang, dipastikan tidak jauh berbeda dengan hasil hitung cepat dilansir sebagian besar lembaga survey yang sebagian besar memenangkan Jokowi – JK.

Publik mempertanyakan motivasi Prijanto kembali mengangkat isu PKI. Padahal PKI secara struktur tidak pernah ada lagi, karena amat sangat dilarang keberadaannya di Bumi Pertiwi, pasca Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXV/MPRS/1966, tanggal 5 Juli 1966.

Semenjak itu, pemerintah mengharuskan semua elemen berbasiskan masyarakat dan partai politik secara tegas menganut Pancasila sebagai ideologi negara. Termasuk PDIP, sebagai partai politik yang legal, sampai sekarang tetap teguh mengakui Pancasila sebagai ideologi negara.

Presiden Soekarno melahirkan Pancasila. Megawati Soekarno, Ketua Umum DPP PDIP, adalah anak biologis Presiden Soekarno. Kalau seseorang pernah dikaitkan dengan PKI, bukan berarti keturunannya mesti dicap PKI. Karena keterlibatan seseorang di dalam PKI, sifatnya personal.

Tindakan Prijanto di era demokratisasi, hanya membangkitkan macan tidur. Implikasi lebih jauh, membuyarkan semua usaha sejumlah pihak yang selama ini terus melakukan rekonsiliasi nasional antar segenap komponen bangsa yang sempat tercerai berai pasca penumpasan PKI, 1965 – 1974.

Kalau masih ada tudingan seseorang dan atau lembaga dikaitkan dengan PKI, sebagaimana tuduhan Prijanto, maka publikpun pada saat bersamaan berhak pula meminta pertanggungjawaban hukum dan politik kelembagaan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) yang secara terang-terangan berada di balik aksi pembantaian massal yang menyebabkan jutaan manusia tidak berdosa dibunuh secara sadis, karena dikaitkan dengan PKI, periode 1965 – 1965.

Tudingan Prijanto membuat masyarakat merasa berhak pula untuk menolak secara massal rencana penetapan mantan Presiden Indonesia Jenderal Soeharto dan mantan Komandan Pasukan Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Letjen Sarwo Edhie Wibowo sebagai calon Pahlawan Nasional yang sempat diwacanakan tahun 2013.

Pertimbangannya, Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo, aktor intelektual di balik pembantaian massal jutaan manusia tidak berdosa periode 1965 – 1974. Di Kalimantan Barat, kelembagaan Penguasa Pelaksana Perang Daerah (Peperalda) Kodam XII/Tanjungpura sebagai komponen TNI-AD, pernah mencatut nama Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, tokoh Dayak Kalimantan Barat, untuk menyatakan perang terhadap Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) di stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) regional Pontianak, 21 September 1967.

Dampak dari pengumuman sepihak Peperalda Kodam XII/Tanjungpura, di RRI regional Pontianak, 21 September 1967, menimbulkan kemarahan warga Suku Dayak, sehingga belasan ribu warga Tionghoa yang tidak berdosa diperkosa, dibunuh, dan diusir dari kawasan perbatasan dan pedalaman selama penumpasan PGRS.

Terhadap aksi brutal TNI-AD di Jawa, Bali dan Sumatera dengan dalih pembersihan unsur PKI periode 1965 – 1974 dan di Kalimantan Barat, 1967, bagaimana sikap Prijanto yang pernah menjadi petinggi TNI-AD?

Apakah tindakan pemberangusan ideologi komunis di Indonesia melalui pengkondisian Gerakan 30 September (G30S) 1965 di Jakarta, harus ditempuh dengan tindakan biadab berupa pembunuhan massal terhadap manusia tidak berdosa yang mesti dibekingi TNI-AD?

*Penulis adalah Wartawan Senior di Kalimantan Barat

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru