JAKARTA- Indonesia perlu segera mengantisipasi ancaman dari perang proxy (proxy war) dengan menggunakan strategi celah struktur diikuti dengan pemutihan semua kesepakatan dan perjanjian internasional yang merugikan Indonesia. Hal ini disampaikan oleh, pengamat komunikasi Universitas Indonesia, Dr. Irwansyah dalam diskusi bertema “Menangkis Ancaman Proxy War” di Jakarta, Minggu (20/12) yang dihadiri sejumlah pengamat sektor intelijen, komunikasi dan kebijakan.
“Kita harus berani melakukan pemutihan terhadap seluruh kesepakatan dan perjanjian internasional yang menguntungkan pihak asing dan kekuatan global,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa sejumlah perjanjian dan kesepakatan Internasional yang telah melibatkan Indonesia di dalamnya merupakan bagian dari perang proxy. Untuk itu sangat penting untuk memahami esensi isu sebagai langkah awal mengantisipasi perang proxy.
“Indonesia yang telah meratifikasi konvensi internasional yang lebih banyak menguntungkan pihak asing, nampaknya perlu melakukan sejumlah terobosan. Kita harus keluar dari jebakan proxy,” ujarnya.
Dr. Irwansyah juga menjelaskan bahwa Indonesia bisa menangkis ancaman perang proxy dengan menggunakan strategi celah struktur. Artinya menguasai sumber informasi yang tak dimiliki pihak lain agar menggunakan kesempatan untuk mengantisipasi ancaman perang proxy.
“Semakin banyak jaringan yang dimiliki oleh individu atau institusi tersebut maka semakin banyak informasi yang dimilikinya sehingga mampu mempengaruhi pihak lain,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Akademisi Universitas Pertahanan, Dr. Yono Reksoprodjo menjelaskan bahwa Proxy atau pihak ketiga yang menjadi perantara merupakan pengertian dalam ranah perang, pertahanan dan keamanan. Perang yang sebelumnya ditafsirkan hanya terjadi dalam dimensi fisik, berubah drastis menjadi perang yang dimediasi oleh pihak lain.
“Proxy war saat ini telah mencapai perang generasi keempat, yaitu perang asimetris, perang yang mengaburkan batasan antara pelaku perang dan korban,” jelasnya.
Menurutnya, dalam Proxy War memanfaatkan pihak ketiga menjadi lebih efektif ketimbang berhadap-hadapan secara diametral. Perantara kepentingan pihak-pihak yang berperang menjadi kunci kemenangan.
“Indonesia pada periode orde lama memiliki pengalaman perang proxy, saat Amerika tak menginginkan Indonesia jatuh ke blok Komunis yang kemudian disambut baik oleh kelompok militer di Indonesia yang anti Komunis,” ujarnya.
Perang proxy yang dialami Indonesia pada waktu itu menurutnya berujung pada penghancuran kelompok kiri di Indonesia berlangsung masif pada 1965 dan secara perlahan namun pasti kekuasaan sipil jatuh ke dalam rezim militer.
Ia mengingatkan bahwa motif perang dan keterlibatan pihak ketiga sebagai boneka atau proxy, selalu berkutat pada konflik perebutan sumberdaya. Hal ini selalu menempatkan Indonesia di Asia Tenggara sebagai wilayah yang rentan perang proxy, operasi kepentingan asing untuk mengangkangi sumberdaya alam nusantara (ZKA Warouw)