Jumat, 7 Februari 2025

Sri Edi Swasono: Rakyat dan Pekerja Harus Punya Saham Di BUMN/D

JAKARTA- Dalam membangun dan menjalankan Badan Usaha Milik Negara BUMN dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sudah waktunya pemerintah daerah menerapkan peraturan bahwa karyawan, pekerja dan rakyat ikut serta menjadi stake holder memiliki saham keuntungan atau bagi hasil dan terlibat dalam usaha bisnis yang dilakukan oleh BUMD. Hal ini ditegaskan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Sri Edi Swasono kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (26/10) mendukung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mendorong pendirian BUMD di berbagai daerah.

 

“BUMN-BUMN banyak dijual dengan me­langgar Pasal 33 UUD 1945. Gerakan perekonomian rakyat mestinya tidak boleh tinggal diam termangu. Rakyat harus ikut memiliki BUMN, terutama rakyat yang memiliki kaitan usaha dengan BUMN bersangkutan, sebagai unsur common bond kaitan-kaitan produksi (suppliers, workers), distribusi seperti (mar­keting agents, distributors, petailers, salesmen dan konsu­men/pelangganan (consumers, final users),” demikian Sri Edi Swasono seperti yang disampaikan dalam buku terbarunya “Keindonesiaan, demokrasi Ekonomi, Kedaulatan dan Kemandirian” (2015).

Anggota Presidium Komite Kedaulatan Rakyat (KKR) ini menjelaskan bahwa untuk meredam kapitalisme maka harus diberlakukan ‘Triple-Co’ pada semua badan-badan usaha milik negara baik di pusat (BUMN) maupun daerah (BUMD).

“Sistem ekonomi kolonial yang liberalistik dan individualistik perlu “di-Pasal 33-kan” melalui konsepsi Triple-Co untuk meredam kadar kapitalisme,” jelasnya.

Mewujudkan Triple-Co menurutnya adalah suatu upaya riil untuk membentuk “kebersamaan” dalam kehidupan ekonomi berdasar demokrasi ekonomi, yaitu membentuk co-ownership (ikut serta dalam pemilikan bersama), co-determination (medezeggenschap atau ikut serta menilik dan ikut menentukan kebijaksanaan perusahaan), dan co-responsibility (ikut serta bertanggung¬jawab). Triple-Co mengintegrasikan perekonomian nasional.

Sebagai contoh, prinsip Triple-Co menuntut agar saham INDOSAT sebagai usaha nasional, seharusnya tidak dijual ke usaha swasta (asing), tetapi sebaliknya berdasar prinsip co-ownership seharusnya pemilikan mendahulukan kepentingan para pemangku kepentingan para clienteles, seperti pelanggan pengguna jasa telpon, termasuk para pelanggan pemilik ponsel sebagai komponen dalam jajaran commond-bond badan usaha ini.

“Dengan demikian terjadi pemilikan bersama dan pemerataan pemilikan sebagai upaya restrukturisasi ekonomi melalui pemerataan pemilikan. Pemilikan tersebar seluas-luasnya,” jelasnya dalam buku itu.

Partisipasi dan Emansipasi

Ia melanjutnya, dalam demokrasi ekonomi harus diwujudkan partisipasi dan emansipasi ekonomi. Sistem ekonomi sub­ordinasi dalam bentuk hubungan ekonomi ‘Tuan-Hamba’, ‘Majikan-Buruh’ atau­pun ‘Taoke-Koelie’ ala Cultuurstelsel harus ditinggalkan.

“Sebagai misal, hubung­an antara Inti dan Plasma di dalam PIR (Perkebunan Inti Rakyat) seharusnyalah berupa hubungan yang participatory-emancipatory, bukan hubungan subordinasi yang dis­crimina­tory, yang menumbuhkan keter­gantungan pihak plasma-rakyat kepada majikan-inti,” ujarnya.

Pemilikan pabrik pengolahan di dalam sistem PIR harus berdasar prinsip Triple-Co seperti dikemukakan di atas, artinya plasma-rakyat ikut memiliki saham perusahaan, ikut menentukan kebijak­sanaan perusahaan dan sekaligus ikut ber­tanggungjawab.

Kredit perbankan pun menurutnya harus diatur sesuai dengan prinsip Triple-Co, artinya kredit perbankan tidak hanya diberikan kepada para investor besar (Majikan Inti), tetapi juga diuta­makan kepada para petani (Plasma Rakyat), kre­dit pembangunan dan pengembangan pasar-pasar rakyat tidak diberikan kepada para developers pengembang pasar, tetapi kredit hendaknya langsung diberikan kepada para pedagang pengguna kios pasar, melalui equity loan.

“Ini menjadi tugas besar bagi Bank BRI yang sejak awalnya adalah bank untuk rakyat dengan nama bank Koperasi Tani dan Nelayan,” ujarnya

Semacam Triple-Co dilaksanakan di Amerika Serikat sejak hampir setengah abad yang lalu, yang diberi nama ESOP (Employee Stock Ownership Program). Bung Hatta lebih awal dari ide ini, pada tahun 1947 sebagai Ketua Panitia Pemikir Siasat Ekonomi (cikal-bakal BAPPENAS) telah direncanakan perlunya buruh memiliki saham perusahaan dan berkoperasi.

“Dengan demikian ibaratnya kita memasukkan paham kooperatif di dalam badan usaha nonkoperasi,” jelasnya.

Ia menjelaskan Pasal 33 UUD 1945 tidak anti besar, namun meng­hendaki yang besar itu hendaknya dimiliki oleh banyak pihak. Inter­nasional Cooperatif Alliance/ICA barusan (2007) telah me­nam­pilkan 300 profil “koperasi kelas dunia” yang tidak kalah be­sarnya dan korporasi-korporasi dunia yang terkemuka, sekedar sebagai contoh bahwa yang besar itu dimiliki oleh banyak orang. (Web Warouw)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru