JAKARTA- Setelah menempuh perjalanan 1.000 Kilometer selama 43 hari, akhirnya petani masyarakat suku anak dalam (SAD) Kabupaten Batanghari, Propinsi Jambi dari tiba di Jakarta dan langsung menuju Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Rabu (26/11) untuk menuntut perampasan tanah yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
“Kami menuntut agar dilakukan pengukuran ulang HGU PT. Asiatic Persada dan Kembalikan Areal Seluas 3.550 Ha milik Suku Anak Dalam sesuai Surat Intruksi Gubernur Jambi Tanggal 07 Mei 2013. Jokowi tolong kembalikan tanah kami,” demikian Ketua Adat SAD Batin Bahar, Kutar kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (27/11). Hari ini rombongan menuju Komnasham dan menginap untuk meminta agar Komnasham memanggil semua pihak terkait dengan perampasan tanah.
Ia juga meminta agar pemerintah segera mengambil alih Ex PT. Jumer Tulen dan Ex PT. Maju Perkasa Sawit (MPS) yang melakukan pembukaan lahan dan penanaman perkebunan sawit tanpa ijin (illegal).
“Tangkap dan adili PT. Asiatic Persada yang melakukan perambah kawasan hutan (HPT) maupun pejabat pemerintah yang melegalkan perambahan tersebut,” ujarnya.
Kepala Desa Bungku, Utut Adianto juga meminta agar pemerintahan Joko Widodo segera mengatasi persoalan perampasan hak ulayat suku anak dalam oleh PT. Asiatic Persada.
“Jokowi perlu segera perintah menteri baru bu Siti perlu segera turun ke lapangan. Untuk membuktikan sendiri bagaimana nasib rakyatnya di lokasi perampasan tanah,” tegasnya.
Pimpinan Serikat Tani Nasional (SNT) Binbin Firman Tresnadi meminta agar pemerintahan Joko Widodo secara serius menyelesaikan persoalan-persoalan perampasan tanah-tanah petani dan tanah adat yang berlangsung selama ini.
“Kami juga meminta Jokowi menghentikan semua kriminalisasi yang dilakukan pada semua petani dan aktivis tani yang membela hak-hak mendasar rakyat tani. Selama masih terjadi penangkapan dan kriminalisasi berarti Jokowi cuma omong kosong besar soal Trisakti,” tegasnya.
Perampasan Tanah
Berdikarionline.com mencatat, sejak tahun 1987 warga SAD diusir dari tanahnya. Saat itu, rezim Orde Baru menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT. Bangun Desa Utama (BDU) seluas 20.000 ha. Ironisnya, HGU tersebut menindis wilayah perkampungan SAD.
Untuk mengusir warga SAD, Orba mengirim tentara untuk mengumbar dentuman senjata. Tak hanya itu, mereka menghancurkan pemukiman dan peradaban SAD. Sejak itulah warga SAD terusir dan hidup berpencar-pencar di berbagai tempat.
Tahun 2007, HGU PT. BDU beralih ke PT. Asiatic Persada, anak perusahaan Wilmar Grup. Tak berbeda dengan majikan lama, majikan baru ini pun tak kalah kejamnya. Perusahaan yang bermarkas di Singapura ini juga tak segan-segan memakai TNI, Polisi, dan preman untuk mengusir warga SAD.
Tapi warga SAD tak mau menyerah. Terutama kelompok SAD 113. Tahun 2010, mereka bertemu dengan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). Sejak itu, sebagian besar warga SAD diorganisasikan dalam Serikat Tani Nasional (STN), organisasi petani yang bernaung di bawah PRD.
Perjuangan itu berbuah hasil, BPN-RI memenuhi tuntutan warga SAD. Saat itu BPN memerintahkan agar pihak Asiatic Persada segera mengembalikan hak ulayat SAD seluas 3550 ha. Keputusan BPN ini diperkuat dan didukung oleh DPR-RI, Menteri Kehutanan, DPD-RI, Komnas HAM, dan Pemerintah Daerah Jambi.
Warga SAD pun kembali ke kampung halaman. Namun, lama berselang, PT. Asiatic tidak memperlihatkan itikad baik melaksanakan keputusan BPN RI tersebut. Pemerintah daerah juga diam-diam saja. Akhirnya, warga SAD kembali bergerak. Mereka menggelar aksi pendudukan di kantor Gubernur Jambi.
Tanggal 7 Desember lalu 2013, PT. Asiatic Persada kembali mengusir paksa warga SAD di tiga dusun, yakni Tanah Menang, Padang Salak, dan Pinang Tinggi. Penggusuran itu didukung Tim Terpadu (Timdu) Batanghari, yang didalamnya ada unsur pemerintah daerah Batanghari. Penggusuran itu juga melibatkan ribuan pasukan TNI, Polri, dan security PT. Asiatic Persada.
Penggusuran itu sangat brutal. Tidak hanya mengusir paksa warga SAD, para penggusur juga menghancurkan rumah, fasilitas umum, lahan pertanian, ternak, dan harta milik warga SAD. Tak hanya itu, TNI dan Polri juga kembali mengumbar rentetan tembakan untuk menancapkan teror dan ketakutan di memori orang SAD. (Web Warouw)