Oleh: Wardatul Hasanah
Dari mana aksi-aksi kekerasan dan intoleransi ditengah masyarakat yang Bhinneka Tunggal Ika ini berasal? Untuk itu Bergelora.com menurunkan tulisan dibawah ini (Redaksi)
Kekerasan dalam bentuk tawuran ternyata tidak hanya diperankan oleh orang dewasa saja. Belakangan ini justru banyak pelajar yang menjadi aktor aksi anarkis yang tentu mengkhawatirkan banyak kalangan. Lebih menyedihkan lagi tawuran antarpelajar ini sering memakan korban jiwa dari salah satu siswa yang terlibat tawuran.
Fenomena tawuran pelajar sebenarnya bukan hal baru. Masyarakat sering disuguhi aksi premanisme pelajar, baik langsung maupun lewat pemberitaan di media. Inilah realitas yang mesti diakui bersama bahwa tawuran menunjukkan kegagalan dunia pendidikan dan keluarga dalam mencetak generasi bangsa yang bermoral.
Kasus terbaru adalah tawuran dua sekolah menengah kejuruan pertengahan Februari lalu. Peristiwa ini terungkap setelah beredarnya video tawuran di kawasan Jakarta Timur. Mereka yang terlibat tawuran berasal dari sekolah STM Bunda Kandung dan SMK Adi Luhur (www.merdeka.com, 24/2/2017).
Tawuran yang sering melibatkan pelajar ini merupakan gelaja tidak sehat yang mengindikasikan adanya persoalan serius di dunia pendidikan kita. Sekolah sebagai tempat mendidik anak menjadi manusia yang bermoral seakan beralih fungsi menjadi tempat berkembangnya budaya kekerasan. Bahkan untuk melancarkan aksinya banyak dari mereka yang membawa senjata tajam seperti golok, celurit, pisau, dan samurai.
Para pelajar kita seakan tidak sadar bahwa mereka adalah kaum terdidik. Keberadaan pendidikan bukan sekadar diarahkan pada bagaimana siswa menjadi cerdas dan dapat nilai bagus. Namun yang lebih penting adalah bagaimana memosisikan pendidikan itu sebagai sarana untuk mencetak siswa menjadi manusia yang bermoral dan berguna bagi pembangunan bangsa ini.
Aksi tawuran pelajar hingga kini belum dapat terselesaikan. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu tawuran semakin meluas. Dalam pandangan penulis, ada banyak faktor yang menyebabkan tawuran terus terjadi. Di antaranya adalah tidak adanya keteladanan. Sebagai pendidik, guru tidak hanya bertugas mentransfer ilmu pengetahuan melainkan juga memberikan keteladanan (uswah) kepada seluruh siswa.
Menurut Tamrin (2014), keteladanan dalam pendidikan merupakan metode influentif yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk peserta didik berkarakter dan berakhlak mulia.
Guru adalah penentu dalam mencetak generasi bangsa yang cerdas sekaligus berkarakter. Jika guru berakhlak baik dan tidak berperilaku menyimpang, maka otomatis perilaku tersebut akan ditiru oleh siswa. Tapi sayang, tampaknya keteladanan itu sudah mulai terkikis sehingga berdampak pada perilaku peserta didik yang cenderung anarkis. Faktor selanjutnya adalah minimnya pendidikan agama. Sebagai benteng pembentukan moral, porsi pendidikan agama di sekolah-sekolah masih sangat minim. Hal demikian tentu berdampak pada pemahaman nilai-nilai agama di kalangan para pelajar. Bukan hanya di sekolah, minimnya pendidikan agama juga terjadi di lingkungan keluarga. Kebanyakan orangtua saat ini lebih mendorong anak-anaknya untuk mengasah intelektualitasnya sementara aspek spiritualnya diabaikan.
Memperkuat Sinergi
Melihat anarkisme pelajar yang kian mengkhawatirkan, langkah apa yang mesti dilakukan untuk meredam fenomena tersebut? Jawabannya adalah kerja sama dengan melibatkan pihak sekolah, orangtua, dan pemerintah.
Kelurga dan sekolah merupakan mitra untuk memberikan pendidikan yang mampu menciptakan anak yang bermoral dan menghindari segala bentuk anarkisme. Orangtua sebagai sekolah pertama bagi anak sangat memengaruhi perilaku anak tersebut. Oleh karena itu, lingkungan keluarga harus nyaman dan ramah bagi anak terutama dalam memberikan keteladanan dan penanaman nilai-nilai moral.
Sekolah juga memiliki peran penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang ramah, nyaman, dan aman bagi anak. Guru harus mampu mengembangkan potensi anak, baik potensi intelektual, emosional, dan spiritual secara maksimal dengan penuh keteladanan. Guru mesti memberikan pemahaman kepada peserta didik bahwa tawuran adalah tindakan yang bertentangan dengan norma agama dan tujuan pendidikan itu sendiri.
Sekolah dan keluarga perlu bersinergi dan harus tampil di garda terdepan dalam rangka meminimalisir berbagai tindakan anarkis pelajar. Sinergi antara sekolah dan keluarga perlu dibangun secara berkesinambungan. Mengutip pendapat Thomas Lickona (2013), sekolah dan keluarga harus bekerja sama demi mencapai tujuan yang sama. Dengan bekerja sama, kedua lembaga sosial pembentuk ini akan memiliki kekuatan untuk membesarkan manusia yang bermoral dan meninggikan moral bangsa.
Selain sekolah dan keluarga, pemerintah juga berkewajiban dalam mendidik generasi bangsa menjadi menusia yang berakhlak mulia. Jangan sampai pemerintah absen apalagi cenderung membiarkan aksi brutal pelajar. Pemerintah semestinya menjadi pendidik masyarakat untuk menaati ketertiban dan hukum yang berlaku. Sikap preventif pemerintah perlu didahulukan dengan menjalin kerja sama dengan pihak sekolah guna mencegah tawuran pelajar agar tidak terjadi lagi.
Semua pihak perlu berkerja sama untuk lebih memperhatikan para pelajar sebagai pewaris bangsa ini. Sebab, nasib Indonesia di masa mendatang berada di pundak mereka. Semoga sinergi ini menjadi obat mujarab untuk meminimalisir aksi tawuran pelajar dan menjadikan mereka sebagai pemimpin yang mampu mengeluarkan negeri ini dari berbagai keterpurukan.
*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta