JAKARTA – Indonesia memerlukan 96.000 insinyur pada tahun 2019 untuk mendukung proyek pembangunan infrastruktur yang sedang digalakkan pemerintah. Saat ini, Indonesia hanya memiliki 3.690 insinyur per satu juta penduduk. Hal itu masih kalah dengan Vietnam, Filipina dan Thailand. Sementara untuk kualifikasi diploma (D3) dibutuhkan 117.000 pada tahun yang sama.
Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Ali Ghufron Mukti, dalam diskusi bertema “Meningkatkan Sumber Daya Iptek untuk Mendukung Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan” yang diselenggarakan SHNet di Jakarta, Selasa (20/12).
Ali Ghufron menjelaskan tanpa ketersediaan insinyur dalam jumlah memadai, Indonesia akan kesulitan untuk bersaing dengan negara-negara lain. Karena itu, pemerintah menargetkan agar pada tahun 2025 nanti, setidaknya 25 persen mahasiswa berkuliah di fakultas teknik.
Saat ini jumlah mahasiswa teknik hanya 16,1 persen dari total seluruh mahasiswa atau sangat jauh dibandingkan dengan jumlah mahasiswa jurusan ilmu sosial yang mencapai 50,7 persen.
“Kalau mau percepat pembangunan infrastruktur dan meningkatkan daya saing, ya kita harus perbanyak sumber daya manusia (SDM) sesuai kebutuhan,” kata Ali Ghufron Mukti.
Diskusi tersebut juga menghadirkan Direktur Utama PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero), Sinthya Roesly dan Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Hermanto Dardak. Menurut Ali Ghufron, pada tahun 2019 nanti, Indonesia hanya memiliki sekitar 20.000 insinyur yang benar-benar bekerja di bidangnya.
“Dengan kekurangan yang ada, bicara angka untuk insinyur kita masih berat, apalagi soal kualitas. Karena itu, kita upayakan betul untuk meningkatkan daya saing kita,” katanya.
Ada 15 bidang teknik yang tersedia di Indonesia saat ini dengan teknik kelautan dan planologi paling kecil peminatnya. Bahkan teknik elektronika dan perminyakan memiliki tingkat pertumbuhan jumlah insinyur sangat kecil. Teknik dirgantara malah tak terdata peminatnya.
Hermanto Dardak mengatakan dalam membangun infrastruktur tidak hanya menambah jumlahnya saja, tetapi terutama adalah modelnya dalam mendukung pengembangan sumber daya manusia (SDM) ke depan. Ia berharap pembangunan infrastruktur dengan target membangun kota-kota baru yang ditata dan dikelola menjadi kota modern.
Hal seperti telah dilakukan oleh Jepang yang membangun jalur transportasi Tokyo-Ozaka, Amerika Serikat yang membangun jalur transportasi Boston-Washington dan India yang membangun jalur transportasi Delhi-Mumbai. “Pembukaan kawasan ekonomi yang tertata dengan baik akan drives pertumbuhan ekonomi. Kalau kotanya nyaman, ke mana-mana efektif dan efisien, itu akan meningkatkan daya saing kita ke depan,” kata Hermanto.
Ia juga menjelaskan, 75 persen ekonomi Indonesia saat ini masih tergantung masyarakat perkotaan, terutama DKI Jakarta. Jika tidak dicari langkah yang strategis untuk membangun kekuatan ekonomi baru di kota-kota baru, akan sangat sulit bagi Indonesia beberapa tahun ke depan.
Namun untuk itu, Indonesia perlu menyiapkan SDM yang mumpuni. Sinthya Roesly mengatakan pihak siap bekerja sama dengan Kemensitekdikti dalam rangka percepatan pembangunan SDM bidang teknik tersebut. (Tiara Hidup)