JAKARTA- Masyarakat Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) berjuang sendiri untuk mempertahankan hak kepemilikan tanah adat dan lingkungan dari ancaman abrasi dan kerusakan akibat eksploitasi tambang granit PT. Waragonda Mineral.
Kepada PT. Waragonda Mineral dibacakan Kepala Pemerintah Negeri (KPN) Haya dan Saniri bersama warga yang hadir dalam rapat silahturahmi warga. (Ist)
Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) tak bersikap membela warga haya dengan memberikan rekomendasi pencabutan izin operasi pertambangan.
Konsolidasi warga terus dilakukan. Pemerintah Negeri (Pemneg) Haya mengambil alih perjuangan atas hak kepemilikan tanah adat dan lingkungan sebagai ruang hidup.
Pernyataan penolakan dibacakan Kepala Pemerintah Negeri (KPN) Haya dan diikuti Saniri dan warga yang hadir dalam rapat silahturahmi warga.
“Bissmillahirahmanirahim Tabea, kami pemerintah Negeri Haya dan Saniri, serta seluruh masyarakat negeri Haya menolak PT. Waragonda dan perusahaan lainnya da meminta segera angkat kaki dari negeri Haya,” kata KPN Haya, M. Yasin Sanaky dikutip Bergelora.com di Jakarta Sabtu (5/4).
Aktivis lingkungan, Sofyan menilai perjuangan warga Haya menolak bisnis ekstraksi pertambangan yang berdampak luas bagi kelangsungan hidup.
“Perjuangan warga Haya adalah bentuk perlawanan kolektif melawan eksploitasi lingkungan,” kata Sofyan.
Bagi dia, ancaman kerusakan bukan hanya deforestasi, abrasi dan erosi saja, tapi dampak rill terjadi pada kondisi tanah dan air yang tidak bisa digunakan warga.
“Dampak pertambangan melahirkan krisis lingkungan hidup. Dan itu sangat berbahaya bagi masyarakat,” kata dia.
Sofyan juga mendorong agar pemerintah Maluku Tengah tidak absen dari perjuangan warga Haya atas hak-hak kepemililan lahan ulayat dan penolakan terhadap eksploitasi ruang hidup.
“Pemkab sifatnys harus pro aktif. Jangan biarkan warganya berjuang sendiri,” tutup dia.

Tuntut Ganti Rugi Sasi Adat Rp1 Triliun
Sebelumnya dilaporkan masyarakat yang bersatu dalam Gerakan Masyarakat Adat Haya (GEMAH) melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Bupati Maluku Tengah, Rabu (12/3/2025) lalu.
Aksi rakyat Negeri Haya adalah buntut penolakan operasional PT. Waragonda Minerals Pratama, menuntut ganti rugi perusakan sasi adat.
Aksi demonstrasi pada.Rabu (12/3) itu menuntut ganti rugi perusakan sasi adat senilai Rp. Rp.9.999.999,999.
Selain ganti rugi tersebut, sejumlah tuntutan juga disampaikan koordinator lapangan Reza Wailissa.
Diantaranya, meminta Kapolres Maluku Tengah membebaskan dua tersangka warga Negeri Haya yang di tahan di Polres Maluku Tengah tanpa syarat.

Sasi Adat Rusak, Warga Bakar Fasilitas PT Waragonda
Sebelumnya, sejumlah fasilitas PT Waragonda Minerals Pratama dibakar warga Negeri Haya, Kecamatan Terhoru, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), di antaranya pos security, kantor, laboratorium, dua mobil serta kerusakan alat berat, pembakaran motor dan pembakaran mess karyawan.
“Reskrim sudah olah TKP. Dan untuk total nilai kerugian belum diketahui, namun sejumlah fasilitas perusahaan dibakar warga,” kata Kabid Humas Polda Maluku Kombes Pol Areis Aminnulla, kepada wartawan di ruang kerjanya, Senin, 17 Februari 2025 lalu.
Ia mengungkapkan, pembakaran tersebut berawal perusakan sasi adat yang micu kemarahan warga Haya.
Ia memastikan, kasus ini sudah ditangani Polres Malteng, dengan menurunkan satu pleton yang dipimpin Kasat Samapta.
“Sudah olah TKP, kemudian berkoordinasi dengan pemkab melalui Penjabat Bupati dan ketua DPRD Malteng untuk melakukan peredam terhadap kedua belah pihak agar tidak berkembang,” pungkasnya. (Web Warouw)