Selasa, 1 Juli 2025

UU ITE Diplintir, PBB Diminta Segera Awasi Pembungkaman Demokrasi Di Indonesia

JAKARTA- Dalam setahun terakhir, Safenet mencatat 11 orang aktivis dilaporkan ke polisi karena dituding melanggar pasal-pasal pidana di dalam Undang-Undang No 11/2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Untuk itu diminta perhatian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk ikut mengawasi proses demokrasi di Indonesia yang dijerat oleh Undang-Undang ITE. Hal ini disampaikan oleh Damar Juniarto dari Safenet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (19/8)

“Kami sudah minta perhatian Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi (Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression-red) David Kaye dan jaringan aktivis dan organisasi pro kebebasan ekspresi di negara-negara di Asia Tenggara untuk bersolidaritas dan membantu mengawasi proses demokrasi di Indonesia yang semakin terjerat pasal-pasal Undang-Undang ITE ini,” ujarnya.

Safenet  juga menurutnya mendesak Pemerintah Indonesia dan Komisi I DPR RI agar mencabut pasal-pasal Undang-Undang No 11/2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang kerap dipelintir untuk membungkam demokrasi seperti pasal 27 ayat 3, pasal 28 ayat 2 dan pasal 29 dari Undang-Undang tersebut.

“Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Indonesia seharusnya menolak pelaporan terhadap aktivis-aktivis yang dijerat dengan pasal-pasal UU ITE tersebut dan mendorong penyelesaian lewat mediasi sebagai alternatif pemidanaan,” ujarnya.

Ia menyerukan pihak-pihak yang melaporkan aktivis-aktivis ini agar berhenti memelintir hukum terutama pasal-pasal Undang-Undang No 11/2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) demi kepentingan sendiri yang jauh dari asas keadilan dan kebenaran.

Kasus Terbaru

Safenet menyampaikan kasus terbaru adalah pelaporan Pos Perjuangan Rakyat (Pospera) terhadap Koordinator ForBALI I Wayan “Gendo” Suardana pada Senin, 15 Agustus 2016,” ujarnya.

Pospera melalui Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) telah melaporkan Gendo kepada polisi dengan laporan Nomor TBL/584/VIII/2016/Bareskrim. DPP Pospera menuduh Gendo telah menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 16 UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Ras dan Etnis.

Laporan tersebut menyusul cuitan (tweet) Gendo melalui akun @gendovara pada 19 Juli 2016 yang berbunyi “Ah, muncul lagi akun2 bot asuhan pembina pos pemeras rakyat si napitufulus sok bela2 susi. Tunjukin muka jelekmu nyet.”

Perlu disampaikan bahwa cuitan tersebut harus dilihat dari konteks lebih luas dan tidak berdiri sendiri. Pada saat itu, Gendo dalam kapasitasnya sebagai ketua ForBALI sedang mengkritik kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang membiarkan izin lokasi terhadap PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Namun, kritik dengan tanda pagar #KecewaAmaSusi itu kemudian dijawab dengan akun-akun bot yang menggunakan tagar #BravoSusi. Karenanya ia lalu mengekspresikan kekesalannya.

Ekspresi kekesalan tidak bisa dipidanakan maka oleh karenanya dalam kaitan tersebut upaya hukum Pospera terhadap Gendo tidak bisa tidak merupakan upaya untuk membungkam suara aktivis yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa, Bali.

Sama halnya dengan pelaporan POLRI, BNN, TNI dan Johnly Nahampun terhadap Koordinator KontraS Haris Azhar pada 2 dan 4 Agustus 2016. Pelaporan yang disebut telah membuat nama baik institusi tercemar itu juga merupakan upaya untuk membungkam suara aktivis yang memersoalkan mafia narkoba yang melibatkan aparat negara. Pasal 27 ayat 3 UU ITE dipakai untuk menjerat kesaksian Haris Azhar yang berdasar pengakuan terpidana mati Freddy Budiman. Upaya pemidanaan atas kesaksian tersebut jelas menghambat demokrasi.

Dua kasus ini merupakan secuil dari banyaknya aktivis yang telah dilaporkan ke polisi sejak UU ITE dilegalkan, padahal apa yang disampaikan bagian dari ekspresi mereka untuk memperjuangkan kebenaran.

Hal ini bukan saja dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” tetapi juga oleh pasal 19 ICCPR  (International Covenant On Civil Political Rights) yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil.  (Irene Gayatri)

 

 

Narahubung:

Damar Juniarto +628990066000

Anton Muhajir +62817348794

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru