JAKARTA- Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Akhmad Muqowam, senator asal Jawa Tengah mengingatkan, masalah tata ruang memiliki persinggungan atau bersangkut paut dengan masalah pertanahan, juga kehutanan, pertanian, dan lingkungan hidup. Demi menjaga keserasian dan keterpaduan antardaerah serta antara pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan maka Undang-Undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur pembagian kewenangan.
Undang-undang ini antara lain memuat ketentuan pokok pembagian wewenang antara Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota yang memberikan kejelasan tugas dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Kebijakan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang, yaitu pengaturan penataan ruang, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasannya.
Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Pemerintah berwewenang dalam memfasilitasi kerjasama penataan ruang antarprovinsi, sedangkan pemerintah provinsi berwewenang dalam memfasilitasi kerjasama penataan ruang antarkabupaten/kota.
Wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh pemerintah daerah berdasarkan pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerahnya merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
“Faktanya hari ini terjadi beragam konflik pertanahan di berbagai pelosok wilayah Indonesia. Padahal, UU ini menyatakan penataan ruang sebagai sistem perencanaan serta pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatannya. Ketika rencana tata ruang menjadi sentral, maka rencana sektor-sektor disesuaikan dengan UU ini,” ujarnya.
Akhmad menyatakannya dalam pengantar rapat kerja (raker) Komite I DPD RI dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/4). Raker membahas pelaksanaan UU 26/2007 dan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan usul inisiatif Komite I DPD RI. Jajaran yang mendampinginya antara lain Sekretaris Utama BPN Suhaily Syam, Deputi Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan BPN Irawan Sumarto, Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan BPN Doddy Imron Cholid, dan Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat BPN Budi Mulyanto.
Komite I DPD RI menyadari tata ruang merupakan persoalan mendasar pembangunan. Bertahun-tahun konflik pertanahan, baik vertikal maupun horizontal, terjadi antara masyarakat dan pemerintah atau di antara masyarakat dan perusahaan negara atau perusahaan swasta/asing dan di dalam masyarakat itu sendiri, karena masalah tata ruang. Dalam perkembangannya, konflik pertanahan bertambah akibat lambannya pemegang kekuasaan mengatasinya, juga maraknya mafia pertanahan, sehingga banyak korban luka-luka dan meninggal atau perbuatan kriminal disangkakan oleh pengusaha dan perusahaan.
Peningkatan Pelayanan
Dalam paparannya, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan menyatakan tekad pihaknya untuk mewujudkan kehadiran negara dalam kebijakan pertanahan sebagai ruang hidup rakyat. Kementerian memfokuskan kebijakannya pada peningkatan pelayanan dan percepatan penanganan sengketa, serta pengendalian pemanfaatan tata ruang.
Bersama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian ATR/BPN berkomitmen untuk menyelesaikan masalah pemanfaatan ruang serta penguasaan dan pemilikan tanah masyarakat di kawasan hutan. Dia menyampaikan progress report penanganan sengketa pertanahan dan kebijakan penyelesaiannya. Salah satu cara penyelesaian sengketa pertanahan adalah menetapkan hak komunal masyarakat adat, juga masyarakat yang bertempat tinggal lebih 10 tahun, baik di kawasan kehutanan maupun perkebunan, yang tidak mempunyai ruang hidup di tempat tinggal lain.
Ferry menegaskan, pengaturan dan pengendalian hubungan tata ruang dengan pertanahan merupakan perwujudan kehadiran negara dalam memastikan tercapainya tujuan pemanfaatan sumberdaya agraria melalui penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan ruang dan tanah. Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN menyiapkan penjabaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015‐2019 yang berupa program reforma agraria pada tanah seluas 9 juta hektar (ha).
Selain penyediaan layanan online, penyederhanaan prosedur dan pengendalian tarif, serta pelayanan hari Sabtu‐Ahad, Kementerian ATR/BPN meningkatkan pelayanan melalui penyampaian hak masyarakat atas tanah antara lain Program Nasional Agraria (Prona) berbasis teritori (desa/kelurahan) dan penyediaan tanah bagi program prioritas.
Deputi Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan BPN Irawan Sumarto menjelaskan kegiatan legalisasi aset tanah melalui Prona tahun 2015 harus sesuai dengan ketentuan Prona, baik subyek, obyek, maupun ruang lingkup kegiatannya. Targetnya 922.093 bidang di seluruh Indonesia. Pendekatan legalisasi aset berbasis teritori bertujuan agar masyarakat tidak sulit memperoleh kepastian hak atas tanahnya, sekaligus mempertegas kehadiran negara di masyarakat untuk menangani masalah pertanahan.
“Penentuannya kami ubah dari sporadis ke sistematis berbasis wilayah.” Tegasnya.
Reforma Agraria
Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan BPN Doddy Imron Cholid menambahkan, Kementerian ATR/BPN menyiapkan program reforma agraria pada tanah seluas 9 juta ha, terdiri atas redistribusi tanah seluas 4,5 juta ha dan legalisasi aset tanah seluas 4,5 juta ha, yang diprioritaskan pada hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan lindung.
Dia menyinggung penanganan sengketa pertanahan melalui inventarisasi dan identifikasi masalah, evaluasi hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB), serta mempertemukan para pihak bersengketa dan memediasinya.
Mengenai gugatan perusahaan kepada Kementerian ATR/BPN karena membiarkan tanah terlantar, Menteri ATR/Kepala BPN mengatakan bahwa tindakan tersebut tidak menghalangi langkah Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan tanah terlantar guna menyelamatkan hak hidup masyarakat di sekitarnya.
Dia menjelaskan skema umum ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang urutannya adalah negara/pemerintah sebagai penguas dan pemilik tanah yang terluas, menyusul badan hukum privat, perorangan, penguasaan gurem, dan landless/buruh tani.
Kementerian ATR/BPN berkomitmen untuk menyelesaikan tahun ini beberapa Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), termasuk RTRWP Kalimantan Tengah. Pihaknya bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah membahas kebijakan RTRWP Kalimantan Tengah. Penghambatnya adalah perbedaan luas kawasan hutan dan bukan hutan. Para pihak menyepakati 1,4 juta hektar luas kawasan bukan hutan.
Ferry juga menyinggung pola penyelesaian konflik pertanahan. Pihaknya dan Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI bekerjasama untuk menyelesaikan konflik pertanahan setelah rapat konsultasi antara BAP DPD RI dengan Kementerian ATR/BPN beberapa waktu lalu.
Kita menyepakati pola penyelesaian konflik pertanahan,” ujarnya.
Raker menyimpulkan antara lain Komite I DPD RI menyatakan dukungannya kepada Kementerian ATR/ BPN dalam meningkatkan pelayanannya, khususnya penyertifikatan tanah warga kurang mampu dan penanganan sengketa pertanahan. (Enrico N. Abdielli)