JAKARTA- Gerakan buruh yang memperingati Hari Buruh Internasional 1 Mei 2018 di Jakarta kemarin tidak sedikitpun memberikan perhatian pada nasib buruh migran yang menjadi tenaga kerja indonesia (TKI) di luar negeri. Tidak ada satu pernyataan solidaritas atau dukungan pada Daryati TKI asal Lampung yang saat ini akan menghadapi hukuman mati di Singapura.
“Di hari buruh internasional ini Serikat Buruh mainstream di Indonesia kok tidak bersuara menuntut perlindungan buruh migran ya? Buruh migran sama-sama buruh Indonesia, cuma majikannya di luar negeri,” demikian Ratih Pratiwi Anwar peneliti di Pusat Studi Asia Pasifik UGM ketika dihubungi Bergelora.com di Yogyakarta dari Jakarta, Rabu (2/5)
Menurutnya, diperkirakan jumlah total buruh migran Indonesia sekitar 5-10 juta orang. Sedangkan jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia lebih sedikit.
“Menurut versi data Kemenaker 84.000-an, versi BKPM 120.000-an Tenaga Kerja Asing (TKA) pada tahun 2017,” ujarnya.
Ia mengingatkan hak-hak TKI itu banyak dilanggar majikan di luar negeri. Kebanyakan TKI banyak yang tertimpa kasus hukum. Kabanyakan mereka mengalami kecelakaan kerja dan meninggal di negara asing.
“Mereka sangat layak mendapat perhatian dan komitmen penuh untuk dilindungi negara sehingga perlu dukungan dari semua pihak. Jangan sampai dilirik ataupun diberi mimpi saat pilpres saja,” tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Lampung Yunita Rohani mengatakan Daryati, TKI yang terancam hukuman mati itu berasal dari Desa Padang Ratu, Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung.
“Namanya Daryati, asal Kabupaten Pesawaran. Dia terancam hukuman mati di Singapura atas tuduhan pembunuhan,” kata Yunita Rohani dalam peringatan Hari Buruh Sedunia (May Day) 2018, di Tugu Adipura, Bandarlampung, Selasa (1/5).
Yunita menjelaskan Daryati menghadapi tuntutan hukuman gantung di Singapura. Pada persidangan Juni 2016, ia didakwa membunuh majikannya.
Namun, Yunita mengatakan, hingga kini keluarga Daryati belum mengetahui secara persis apa motivasi dan penyebab terjadi pembunuhan tersebut. Dia meminta pemerintah untuk melakukan pendampingan Daryati secara maksimal.
“Kami minta dukungan ke masyarakat untuk menandatangani petisi guna menyakinkan pemerintah pusat supaya melakukan pendampingan secara maksimal,” kata Yunita Rohani.
Sementara itu kepada Bergelora.com, dr. Ribka Tjiptaning AAK, dari Fraksi PDI Perjuangan di Komisi IX DPR RI menjelaskan, memasuki jaman reformasi, kaum buruh bebas untuk berserikat dan mogok. Tumbuh banyak serikat buruh yang berani menuntut haknya. Era keterbukaan politik adalah jembatan bagi gerakan buruh membesar dan mampu memperjuangkan hak-hak pekerja.
“Tapi sayang, beberapa serikat buruh mulai berpolitik praktis dengan dimulai mendukung salah satu pasangan dalam Pilgub DKI. Bahkan dengan menggunakan taktik isu SARA. Dan sekarang, ada serikat buruh mendukung salah satu bakal calon presiden untuk Pemilu 2019,” ujarnya.
Ia mengecam sikap serikat buruh yang seperti ini. Selain mengundang politik transaksional, sikap politik semacam ini hanya akan melemahkan gerakan buruh itu sendiri. Harusnya gerakan buruh menjadi kekuatan politik alternatif, ditengah peran parpol yang tidak maksimal dalam memperjuangkan kepentingan kaum pekerja.
“Masih banyak pekerjaan rumah bagi gerakan buruh, seperti menuntut pembebasan bagi TKI yang menghadapi hukuman mati diluar negeri. Penghapusan buruh outsourcing, tolak upah murah dan penghapusan PP No 78 Tahun 2015, tolak kriminalisasi buruh, usut kembali kasus kematian Marsinah,” tegasnya. (M. Fathur)