Minggu, 18 Mei 2025

Yaman, Saudi, dan Duitnya

Oleh: Dina Sulaeman,Ph.D

Bergelora.com mendapatkan tulisan kritis tentang Arab Saudi sehubungan dengan harapan yang sangat besar dari umat Islam Indonesia terhadap kedatangan Raja Salman ke Indonesia. Tulisan ini diambil dari akun Facebook Dina Solaeman

Meskipun memiliki cadangan minyak yang kaya dan posisi yang geopolitik sangat penting, Yaman adalah negara miskin, menghadapi krisis pangan, dan ketidakadilan ekonomi. Tak heran bila pemerintah Ali Abdullah Saleh yang berkuasa sejak 1978 berkonflik, bahkan berperang, dengan siapa saja, mulai dari kubu sosialis, kubu Ikhwanul Muslimin, kubu Syiah-Zaidiyah (etnis Houthi), hingga kubu Salafi.

Pada tahun 2009,  muncul aktor baru di Yaman, yaitu Al Qaida Arab Peninsula (AQAP). Dua tokoh utama AQAP adalah dua warga Arab Saudi alumni Guantanamo, Abu-Sayyaf al-Shihri dan Abu-al-Harith Muhammad al-Awfi. Dengan alasan adanya Al Qaida, AS membombardir Yaman, dengan seizin Presiden Saleh. AS juga memberikan “dana keamanan” untuk Saleh (2008 hingga 2010 saja jumlahnya 500 juta USD),  dan gantinya, Saleh mengizinkan Pulau Socotra untuk dipenuhi dengan berbagai peralatan militer canggih AS.

Seiring dengan gelombang Arab Spring,  rakyat Yaman (dari berbagai suku dan mazhab) bangkit berdemo menuntut pengunduran diri Presiden Saleh. Masifnya gerakan demo di Yaman akhirnya berujung pada tergulingnya Saleh yang telah berkuasa 33 tahun. Ia melarikan diri pada November 2011 ke Arab Saudi, dan digantikan oleh Mansur Hadi. Namun, tahun 2012, Saleh kembali ke Yaman dan dilindungi oleh Mansur Hadi. Anak Saleh, Jenderal Ahmed Ali, bahkan tetap memiliki kekuasaan penting di militer. Dalam situasi ini, Al Qaida melakukan aksi-aksi pengeboman, termasuk mengebom istana kepresidenan, menambah kacau situasi di Yaman.

Singkat kata, pasca keberhasilan rakyat menggulingkan Saleh, yang berkuasa di Yaman adalah elit-elit lama, termasuk anasir Al Qaida. Faksi-faksi yang banyak berjuang dalam upaya penggulingan Saleh justru disingkirkan, termasuk gerakan Ansarullah yang dipelopori suku Houthi (tapi anggotanya dari berbagai faksi dan mazhab). Ini memunculkan ketidakpuasan rakyat yang semula berharap terjadinya reformasi.

Gerakan demo besar-besaran kembali terjadi sejak Agustus 2014, menuntut diturunkannya harga BBM dan dilakukannya reformasi politik. Presiden Mansur Hadi bersedia menandatangani perjanjian dengan Ansarullah, yang isinya Mansur bersedia membentuk pemerintahan baru dengan melibatkan Ansarullah dan semua partai politik yang ada. Namun kemudian, Mansur Hadi memilih lari ke Arab Saudi.

Sejak 26 Maret 2015, Arab Saudi dibantu AS, Israel, dan negara-negara Teluk membombardir Yaman. Banyak yang menggampangkan analisis menyebut ini upaya Saudi menahan hegemoni Iran di Yaman. Orang yang bilang begini lupa bahwa perang itu butuh duit besar, dan aktor-aktor akan bersikap rasional. Tanpa ada modal dan balik modal yang diharap, tak ada perang. Sama sekali tidak ada motif Iran, yang sedang kesulitan ekonomi akibat embargo dan sedang sibuk di Suriah, untuk merepotkan diri di Yaman. Ini juga diakui Bernadette Meehan, Dewan Keamanan AS yang mengatakan bahwa Iran tidak memiliki komando dan kontrol atas kelompok Houthi.[1]

Menjelang serangan Arab Saudi, faksi-faksi di Yaman sebenarnya sudah hampir menandatangani kesepakatan damai dan pembagian kekuasaan di antara 12 faksi, termasuk suku Houthi. Hal ini disampaikan oleh mantan utusan khusus PBB di Yaman, Jamal Benomar.[2] Seandainya Saudi tidak menyerang Yaman, kemungkinan besar pemerintahan demokratis saat ini telah terbentuk di Yaman. Serangan ke Yaman menunjukkan bahwa Saudi, AS, Inggris, sama sekali tidak menghendaki proses demokratis terjadi di Yaman.

Akibat dibombardir Saudi, jelas, telah terjadi tragedi kemanusiaan di Yaman. Namun bukan berarti Saudi menjadi baik-baik saja. Biaya perang itu amat-sangat besar. Biaya perang Yaman, plus beban membiayai Al Qaida dan berbagai derivasinya di Suriah dalam proyek penggulingan Assad, membuat Saudi mengalami defisit sangat besar.

Jumlah defisit tahun 2015 adalah 98 milyar Dollar (15% dari GDP-nya), sedang tahun 2016 sebesar 79 miliar Dollar. Cadangan devisanya juga anjlok. Untuk mengurangi defisit tahun ini, selain memangkas gaji PNS, mencabut subsidi bahan bakar, privatisasi (termasuk rencana menjual saham Aramco), Saudi juga merencanakan mengurangi anggaran militer, meskipun perang di Yaman tetap akan dilanjutkan. [3]

Dalam kondisi seperti ini, kalian bilang, Saudi mau bawa duit untuk menutup utang Indonesia ke China, membantu rakyat Indonesia yang terzalimi oleh pemerintah, menjawab doa-doa 7 juta orang di demo 212? Serius lo?

[1]http://www.huffingtonpost.com/2015/04/20/iran-houthis-yemen_n_7101456.html

[2] https://www.wsj.com/articles/former-u-n-envoy-says-yemen-political-deal-was-close-before-saudi-airstrikes-began-1430081791

[3] http://m.gulfnews.com/business/economy/saudi-arabia-projects-53b-deficit-in-2017-1.1950442

*Penulis adalah Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjajaran-Bandung

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru