JAKARTA- Indonesia adalah negara hukum, karena itu Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti diminta jangan main-mainkan hukum untuk pencitraan. Hukum perlu bukti, bukan perlu dukungan politik. Demikian ahli tatanegara Yusril Ihza Mahendra kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (3/2).
Ia menjelaskan bahwa kapal SS2 milik Thailand adalah kapal kargo yang membawa ikan dari PNG. Bukti-bukti manifest muatan dari PNG lengkap. Sejak berangkat dari PNG kapal tersebut tidak pernah masuk ke wilayah laut teritorial RI. Kapal berlayar di melalui Laut Arafura bagian Australia dan melintasi ZEE dari selatan Timor Leste, NTT, NTB, Bali, Selatan Jawa, barat Sumatra. Kapal ditangkap di kawasan ZEE dekat Sabang ketika akan melintas ke Phuket, Thailand. Mereka ditangkap bukan karena sedang mencuri ikan. Kapal tersebut kapal kargo, bukan kapal penangkap ikan. Kapal dikejar TNI AL karena radio panggilnya tidak menjawab panggilan kapal patroli TNI AL. Tapi tidak ada kewajiban kapal yang melintasi ZEE untuk menyalakan radio panggil. TNI tidak menemukan kesalahan apa-apa.
“Karena tidak temukan kesalahan yang menjadi kewenangan AL, kapal tersebut diserahkan ke KKP untuk disidik. KKP sudah lakukan penyidikan sejak Agustus dan sudah serahkan berkas ke jaksa. Tapi jaksa kembalikan karena tidak cukup bukti,” jelasnya.
Ia melanjutkan, bolak balik ke jaksa, bukti tak kunjung cukup. Padahal penyidikan harus rampung 30 hari. Pengadilan harus putus 30 hari juga. Karena kapal membawa ikan dari PNG dan kapal tidak pernah masuk ke laut teritorial RI, maka kapal tersebut tidak timbulkan kerugian apapun bagi RI. Kalau KKP katakan kapal tersebut mencuri ikan kekayaan laut RI dan melanggar kedaulatan RI, mereka wajib buktikan tuduhannya di pengadilan.
“KKP tidak perlu umbar pernyataan menuduh kapal tersebut pencuri kalau tidak bisa buktikan di pengadilan. Sudah lama kami mendesak KKP agar segera limpahkan perkara ini ke pengadilan biar pengadilan putuskan salah atau tidak.” Tapi sampai hari ini Jaksa Penuntut Umum kembalikan lagi berkas ke KKP karena alat bukti tidak cukup,”
Indonesia adalah negara hukum, karena itu menurutnya Menteri Susi jangan main-mainkan hukum untuk pencitraan.
“Hukum perlu bukti, bukan perlu dukungan politik. Lebih detil semua bukti penyanggah akan saya kemukakan di sidang,” tegasnya.
Yusril Ihza Mahendra menganjurkan untuk membandingkan kasus kapal Thailand tersebut dengan kasus kapal nelayan NTT yang ditangkap aparat Australia. Nelayan Indonesia menang di pengadilan Australia, 2014 lalu
Nelayan NTT Vs Australia
Sahring, seorang nelayan Indonesia asal Oesapa Kupang, Nusa Tenggara Timur menang di Pengadilan Australia ketika menggugat pemerintah federal negara itu yang membakar perahunya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia pada 2008.
Pengacara nelayan Indonesia tersebut, Greg Phelps dalam surat elektroniknya yang diterima di Kupang, Kamis, mengatakan kliennya sudah diberi kompensasi sebesar 44.000 dolar Australia oleh pengadilan federal di Darwin, Australia Utara setelah dinyatakan menang dalam gugatan tersebut.
“Ini merupakan sebuah batu ujian bagi pemilik, kapten dan nelayan Indonesia lainnya yang memiliki kasus yang sama dimana perahu mereka disita dan dihancurkan oleh otoritas negara itu,” kata Greg Phelps yang juga pengcara Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) yang berkedudukan di Darwin, Australia Utara itu.
Sahring, nelayan berusia 43 tahun asal Sulawesi yang sudah lama menetap di perkampungan nelayan Oesapa Kupang itu, sudah berulang kali terbang ke Darwin untuk mengikuti jalannya persidangan tersebut, sampai gugatannya dimenangkan oleh Pengadilan Federal Australia di Darwin.
Kapal nelayan yang ditumpangi Sahring bersama tiga buah kapal nelayan asal Oesapa Kupang, ditangkap oleh kapal patroli AL Australia HMAS Broome pada 2008 di ZEE Indonesia yang juga meliputi landas kontinen Australia itu.
Kapal-kapal nelayan Indonesia asal Oesapa Kupang itu digiring masuk ke wilayah perairan Australia kemudian dihancurkan dan dibakar oleh patroli AL Australia pada saat itu.
Dihadapan majelis pengadilan federal Australia di Darwin, Sahring mengatakan AL Australia keliru melakukan penangkapan pada saat itu dengan tuduhan bahwa “kami sedang mencari dan menangkap teripang di dasar laut Australia”.
Perahu “Ekta Sakti” yang ditumpanginya, kata dia, dirancang khusus hanya untuk menangkap ikan dengan wilayah operasi di sekitar ZEE Indonesia.
“Ketika itu, saya sedang memancing di daerah yang telah umum atau biasa digunakan oleh nelayan lainnya dari Indonesia. Tetapi, kami kemudian digiring oleh patroli AL Australia ke wilayah perairan Australia dan kapal-kapal kami dibakar,” ujarnya.
Greg Phelps mengatakan atas dasar pembelaan tersebut, Sahring kemudian mendapat kompensasi dari pengadilan federal Australia sejumlah 25.000 dolar Australia untuk kehilangan perahunya, 15.000 dolar Australia untuk mengganti pendapatannya sebagai nelayan serta 4.000 dolar Australia untuk tindakan penahanan yang tidak sah.
Menurut hakim John Mansfield, kata Greg Phelps, Sahring tidak melakukan pelanggaran apapun terhadap Undang-Undang Pengelolaan Perikanan, dan tidak ada alasan yang kuat bagi pemerintah federal Australia untuk menyita kemudian membakar perahunya.
Greg Phelps menambahkan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Indonesia di perairan Indonesia di bawah lisensi mereka bukanlah merupakan pelanggaran hukum, kecuali mereka terbukti melanggar hak pengelolaan ikan di dasar laut,” katanya.
“Banyak nelayan yang berjuang untuk mempertahankan hidup mereka di Timor Barat NTT, karena mereka telah kehilangan perahu untuk mencari nafkah hidup. Saya tahu, anak-anaknya Sahring sudah tidak bisa lagi melanjutkan pendidikan sejak Sahring ditangkap,” ujarnya.
Ketua Aliansi Nelayan Tradisional Laut Timor (Antralamor) Haji Mustafa yang dihubungi secara terpisah di Kupang mengatakan sangat gembira ketika mendengar kabar tentang adanya kompensasi yang diberikan oleh pengadilan federal Australia di Darwin.
“Peristiwa itu bukan hanya menimpa Sahring saja, tetapi ada beberapa nelayan lainnya, termasuk di antaranya saya. Perahu kami dihancurkan dan dibakar, namun kami hanya menunjuk Sahring sebagai perwakilan dalam melakukan gugatan hukum terhadap pemerintah federal,” kata Mustafa.
Mustafa melukiskan keputusan pengadilan federal Australia di Darwin itu sebagai sebuah angin surga bagi para nelayan yang mengalami penyiksaan oleh pemerintah federal Australia, karena perjuangan tersebut sudah berjalan sekitar enam tahun.
Greg Phelps mengatakan kompensasi tersebut akan digunakan oleh Sahring dan teman-temannya untuk menyekolahkan kembali anak-anak mereka yang terlanjur putus sekolah akibat sumber penghasilan orangtuanya diberangus.
Sementara itu, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni melayangkan pujiannya kepada hakim John Mansfield yang cukup adil dalam memutuskan perkara yang menimpa nelayan asal Timor Barat tersebut.
Lembaga non pemerintah tersebut terus mendorong Greg Phelps untuk melakukan pembelaan terhadap nelayan Indonesia yang mengalami persoalan hukum seperti yang dialami oleh Sahring dan kawan-kawannya.
“Kasus ini berjalan sudah bertahun-tahun lamanya, namun Greg Phelps tetap dengan setia mendampingi nelayan-nelayan kita sampai akhirnya membuahkan hasil yang begitu menggembirakan dalam upaya membela hak-hak mereka,” kata Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Kedubes Australia itu.
Dalam hubungan dengan itu, Tanoni juga meminta kepada pemerintah federal Australia untuk tidak mengajukan banding lagi atas perkara dimaksud, karena hanya akan memperlambat proses pembayaran kompesasi kepada Sahring dan kawan-kawannya.
“Kami akan terus berjuang untuk membela hak-hak nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor, karena persoalan ini tidak ada kaitannya dengan persoalan politik, melainkan urusan kemanusiaan yang dibela oleh siapapun, termasuk di antaranya pemerintah dan para politisi di negeri ini,” demikian Ferdi Tanoni. (Web Warouw)