JAKARTA- Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terus dirongrong dan terancam eksistensinya oleh dua kekuatan fundamentalisme yang terus bergerak secara simultan yang dalam prakteknya saling mengisi seperti sistem dolby stereo di gedung-gedung bioskop. Itulah “fundamentalisme agama” dan “fundamentalisme pasar”. Kedua kelompok fundamentalis ini harus disikat dari kabinet Joko Widodo. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI), Adhie Massardi kepada Bergelora.com di Jakarta Kamis (21/1)
“Kaum fundamentalisme agama menghendaki roda pemerintahan dijalankan dengan prinsip agama menurut tafsir mereka. Dalam memperjuangkan cita-citanya, mereka melakukan agitasi dan propaganda dengan memanfaatkan kesenjangan sosial akibat kebijakan pemerintah yang tidak adil. Inilah yang menjadi dasar pemikiran lahirnya kelompok-kelompok sempalan macam Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara), dan lainnya. Ujungnya-ujungnya melahirkan ekstrimisme yang jadi induk terorisme, inkubator bagi lahirnya pelaku bombunuh diri,” ujarnya.
Jurubicara Presiden KH Abdurrachman Wahid ini juga menyampaikan bahwa Sedangkan kelompok fundamentalisme pasar, yang menghendaki pemerintahan dijalankan menurut mekanisme pasar yang sudah mereka kuasai, memperjuangkan cita-citanya melalui mekanisme demokrasi yang dimanipulasi.
“Dengan cara ini mereka masuk ke sentra-sentra kekuasaan, baik di pusat maupun daerah. Dari sinilah mereka membuat kebijakan-kebijakan yang secara garis besar, dengan berlindung di balik jargon globalisme, memberikan peluang sangat besar kepada “penguasa pasar” untuk menguasai segala jenis hajat hidup orang banyak,” jelasnya.
Menurutnya Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini, pemerintah tidak bisa menetapkan mana yang lebih berbahaya dan menjadi prioritas untuk dilibas. Yang jelas, kedua bentuk fundamentalisme ini bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Tapi kalau melihat kenyataan di lapangan, kekuatan kelompok fundamentalisme pasar yang menguasai pemerintahan akan melahirkan kebijakan yang tidak berkeadilan, dan akan menciptakan kesenjangan yang pada gilirannya merupakan ladang subur bagi kaum fundamentalis agama untuk mengembangkan gagasannya.
“Makanya, eforia bersatu melawan terorisme pasca “Bom Sarinah” yang masih hangat ini harus dijadikan momentum bagi pemerintah untuk secara paralel bergerak menghentikan dua jenis fundamentalisme itu. Dari sisi aparat keamanan mencegah aksi-aksi terorisme, di sisi politik membersihkan kabinet dari orang-orang yang isi kepalanya sudah diformat dengan ideologi fundamentalisme pasar,” tegasnya.
Sebagaimana penganut fundamentalisme agama yang gampang ditengarai, kaum fundamentalis pasar di kabinet-istana juga mudah dideteksi dari perilakunya. Mereka yang mendorong presiden untuk menyerahkan kontrol atas energi, dan sumber daya mineral kita kepada pihak asing, atau menjunjung tinggi royalti dari pihak asing sebagai sokoguru APBN, sudah pasti ini bagian dari kaum fundamentalis pasar.
“Maka apabila ingin memberantas kaum fundamentalis secara stereo, mengimbangi langkah aparat keamanan melibas fundamentalis agama, tidak ada jalan lain bagi Presiden Joko Widodo selain menyikat orang-orang yang menjadi musuh rakyat dan bersembunyi di kabinetnya. Rencana me-reshuffle kabinet harus memakai basis moral: Membersihkan negeri ini dari berbagai jenis fundamentalisme,” tegasnya. (Web Warouw)