JAKARTA – Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyindir kementerian/lembaga yang berlomba membuat kampus dengan pembiayaan negara, pada saat SD-SMP yang notabene pendidikan dasar belum sepenuhnya gratis. Hal itu terjadi dalam sidang lanjutan uji materi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Kamis (1/8/2024).
“Yang ada di hadapan kita, kementerian dan lembaga berlomba-lomba membuat lembaga pendidikan yang levelnya pendidikan tinggi–yang itu bukan berarti tidak perlu–tapi secara konstitusi tidak diletakkan sebagai kewajiban utama,” ujar hakim konstitusi Arsul Sani.
“Kita tidak usah bicara kementerian A, B. Kita bisa menyaksikan lah kalau dari siaran televisi saja bagaimana penerimaan, wisudanya, kemewahan gedungnya itu, kan ada,” lanjut dia.
Namun dari segi anggaran, semestinya pembiayaan negara tidak diprioritaskan ke sana.
“Paling tidak kalau pakai kata ‘kewajiban’, itu bukan kewajiban nomor satu atau yang utama, kewajiban nomor satu adalah pendidikan dasarnya,” kata dia.
Wakil Ketua MK Saldi Isra juga meminta pandangan serupa terhadap perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappenas) yang dihadirkan ke persidangan.
Ia meminta agar Bappenas menguraikan sejauh mana pembagian 20 persen alokasi APBN untuk pendidikan terhadap kampus-kampus dari kementerian yang notabene bukan prioritas secara konstitusi.
“Pertanyaan kami yang selama ini belum juga tuntas, bagaimana dengan pendidikan-pendidikan yang diselenggarakan kementerian/lembaga? Kayak kementerian agama ada, tiap kementerian ada sekolah pendidikannya, Kemenkeu punya, Kumham punya, itu masuk ke situ (20 persen APBN untuk pendidikan) atau tidak?” cecar Saldi.
“Ini (mencerdaskan kehidupan berbangsa) menjadi satu visi kita bernegara, tapi pendidikan dasar saja yang wajib dibiayai pemerintah masih jauh dari yang dicita-citakan,” imbuh dia.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sebelumnya, isu ketidaktepatan belanja pendidikan ini mengemuka dalam sidang uji materi UU Sisdiknas pekan lalu.
Perwakilan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) yang dihadirkan Mahkamah mengungkap bahwa mereka hanya mengelola 15 persen dari total Rp 665 triliun dana untuk keseluruhan anggaran pendidikan yang dibelanjakan pemerintah pusat tahun ini. Sebanyak Rp 346,6 triliun (52 persen) ditransfer ke pemerintah daerah sebagai pihak yang bertanggungjawab menyelenggarakan pendidikan dasar.
Sisanya, dana itu dibagi ke sejumlah kementerian/lembaga yang juga melaksanakan fungsi pendidikan, Kementerian Agama, anggaran pendidikan pada belanja nonkementerian/lembaga, dan pengeluaran pembiayaan.
“Terdapat isu ketidaktepatan pada anggaran pendidikan di belanja kementerian/lembaga, antara lain pendidikan kedinasan dan pelatihan oleh nonsatuan pendidikan yang tidak terstandar dalam hal kurikulum pembelajaran dan standar kompetensi dan kelulusan,” kata Kepala Biro Perencanaan Kemdikbudristek, Vivi Andriani, di hadapan majelis hakim.
Dalam uji materi di MK ini, Jaringan Pemantau Pendidik Indonesia (JPPI) meminta agar Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas tidak hanya mewajibkan pendidikan dasar (SD-SMP) gratis di sekolah negeri saja, tetapi juga sekolah swasta.
Menurut mereka, sekolah swasta tidak wajib gratis bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Mereka juga mempersoalkan tingginya angka putus dan tidak sekolah di saat anggaran pendidikan juga semakin tinggi.
Minta Masukan Bappenas
Majelis hakim konstitusi secara khusus meminta masukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) soal konsekuensi yang akan muncul jika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait SD-SMP negeri dan swasta gratis.
Permintaan itu disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dan hakim konstitusi Arsul Sani dalam sidang lanjutan uji materi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Kamis (1/8/2024).
“Apa konsekuensinya kalau ini dikabulkan? Itu yang paling penting. Sebab, kalau nanti itu tidak tegambar dengan baik, kami khawatir Mahkamah akan salah dalam mengambil sikap,” kata Saldi kepada perwakilan Bappenas yang dipanggil sidang.
“Supaya ada keseimbangan kami memandang antara yang dimohonkan pemohon dengan desain yang itu dimulai dari Bappenas. Jadi, Bapak bisa menggambarkan, kalau ini dikabulkan, ini akan terganggu, ini terganggu, ini terganggu,” ujar dia menambahkan.
Saldi menegaskan, MK membutuhkan gambaran yang komprehensif. MK, misalnya, mengantisipasi bahwa jika gugatan ini dikabulkan, hal tersebut berpotensi membuat pemerintah tak bisa menyediakan biaya untuk pendidikan menengah dan tinggi.
Sebab, menurut dia, pendidikan dasar yang wajib dibiayai oleh pemerintah implementasinya masih jauh dari apa yang dicita-citakan. Padahal, hal itu merupakan amanat konstitusi.
Lalu, hakim Arsul Sani juga melontarkan pertanyaan sejenis kepada Bappenas. Secara spesifik, ia ingin tahu pos mana saja yang dapat dikorbankan jika alokasi minimal anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dipusatkan untuk menggratiskan SD dan SMP, tanpa pandang bulu sekolah negeri atau swasta.
“Karena yang ada di hadapan kita, kementerian dan lembaga berlomba-lomba membuat lembaga pendidikan yang levelnya pendidikan tinggi. Itu bukan berarti tidak perlu, tapi secara konstitusi tidak diletakkan sebagai kewajiban utama,” kata eks politikus PPP itu.
“Kita tidak usah bicara kementerian A, B. Kita bisa menyaksikan lah kalau dari siaran televisi saja, bagaimana penerimaan, wisudanya, kemewahan gedungnya, itu kan ada. Dari perspektif konstitusi itu bukan ‘kewajiban’ nomor satu, ‘kewajiban’ nomor satu adalaj pendidikan dasarnya,” ujar dia.
Arsul menegaskan, Bappenas perlu memberi masukan kepada majelis hakim supaya putusan terkait gugatan ini nantinya bukan sekadar cek kosong, semata-mata putusan utopis yang tidak bisa atau sulit dilaksanakan karena keterbatasan. Ada dampak lain yang perlu diantisipasi juga, misalnya, bakal menjamurnya sekolah swasta apabila MK memutuskan SD-SMP swasta turut dibiayai pemerintah.
“Apa sih sebetulnya yang bisa ‘digoyang’ dari alokasi APBN yang kurang lebih 20 persen untuk menguatkan pendidikan dasar?” kata Arsul.
Dalam uji materi di MK ini, Jaringan Pemantau Pendidik Indonesia (JPPI) meminta agar Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas tidak hanya mewajibkan pendidikan dasar (SD-SMP) gratis di sekolah negeri saja, tetapi juga sekolah swasta.
Menurut mereka, sekolah swasta tidak wajib gratis bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Mereka juga mempersoalkan tingginya angka putus dan tidak sekolah di saat anggaran pendidikan juga semakin tinggi. JPPI berpandangan, program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari pemerintah masih berupa belas kasihan atau bantuan negara, alih-alih kewajiban negara. (Web Warouw)