Senin, 10 Februari 2025

Bangkit Dari Keruntuhan (Bagian 12)

Oleh: Petrus H. Hariyanto*

Mobil itu bergerak  lincah menembus kemacetan jalanan ibukota. Semakin cepat lajunya ketika melewati jalan alternatif. Rasanya sang sopir sudah hapal betul rute itu. Dan tepat di depan SMAN 3 Jakarta mobil itu diparkir. Ketika aku turun dari mobil,  kulihat di seberang sekolah itu berdiri rumah makan dengan plang besar “Soto Gebrak”.

“Pak Peter jangan kaget kalau nanti ada bunyi gebrak dalam rumah makan ini. Itu ciri khas soto di sini,” ujar Pak Lutfi Ibrahim kepadaku.

Ini  perjumpaan kali kedua dengannya. Yang pertama saat acara Kopdar KPCDI (Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia) di Lembang. Dan hari ini kami berjumpa di Kantor PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) di Jalan Salemba. Pak Lutfi memenuhi undangan pengurus pusat untuk mengadukan kebijakan Rumah Sakit Royal Progress yang melakukan reuse  tabung dializer sebanyak 30 kali.

Perjumpaan pertama tak banyak kata yang saling kami pertukarkan. Yang kedua ini kami ngobrol begitu akrab. Seakan kami seperti sahabat karib yang telah lama saling mengenal.

Kutangkap orangnya ramah. “Pak Peter pulang ke mana? Agaknya rumah kita berdekatan. Ikut aku saja. Nanti saya antar sampai ke rumah,” ajaknya.

Bukan saja mengantar pulang satu mobil dengannya, Pak Lutfi juga mengajak mampir ke soto gebrak. Tentu saja aku senang karena aku pengemar soto. Bahkan soto apa saja aku suka. Jadilah kami makan berdua. Kami ngobrol panjanglebar.

“Apakah Pak Peter mengalami depresi dan stres berat pada tiga bulan pertama,” tanyanya kepadaku.

“Saya mengalami stres selama setahun. Setelah divonis gagal ginjal saya tidak langsung cuci darah. Setahun kemudian saya baru berani melakukannya. Dan setahun itu saya menderita. Selalu mengalami ketakutan. Takut mati, takut terjadi apa-apa kalau cuci darah. Rasanya seperti tahun tak berujung,” jawabku.

“Saya stres berat pada tiga bulan pertama. Berat badan saya sampai turun 20kg. Ketika cuci darah pertama saya merasa inilah akhir hidup saya. Saya sudah pasrahkan kalau Allah mengambil nyawa saya,” ucapnya dengan lirih.

Ungkapan Pak Lutfi membuat aku kaget. Pak Lutfi ternyata mempercayai diriku. Dia menceritakan hal yang paling pribadi kepadaku. Tubuhku memberi respon kalau aku siap dan bersedia mendengar uneg-unegnya.

Ternyata, awalnya Pak Lutfi terkena gagal ginjal akut. Dia menderita  batu ginjal.Setelah dioperasi tumbuh kembali dan mencemari ginjalnya. Seiring dengan itu Pak Lutti juga melakukan pola hidup tidak sehat. “Saya bisa sehari menghabiskan 11 teh botol, Itu yang mendorong terbentuknya batu ginjal dan merusak ginjal saya,” ujarnya dengan penuh sesal.

Sebelum cuci darah Pak Lutfi adalah seorang pengusaha yang sukses. Bisnis yang dibangunnya,  sudah layak disebut “kerajaan bisnis” karena terdiri dari beragam usaha. “Saya pensiun dini dari Standard Chartered Bank. Saat itu gajiku Rp 25 juta sebulan, sebagai Assistant Vice President. Dan saya lebih tertarik belajar bisnis sendiri,” ungkapnya ketika menceritakan  awal membangun bisnisnya.

Ia memulai dari nol. Awalnya Pak Lutfi membeli beberapa perusahaan waralaba. Dari sana dia mempelajari bagaimana sebuah bisnis dijalankan. Bisnisnya berkembang pesat. Bahkan dipercaya sebagai Master Franchise Royal Crepes untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Pak Lutfi bercerita dengan penuh semangat. Aku lihat baru satu sendok nasi yang masuk ke mulutnya. Padahal lauknya sungguh lezat. Dia memesan semangkok rawon. Dia lebih mendahulukan berbicara daripada makan. Dia sangat antusias sekali. Sedangkan aku yang sedari tadi setia  mendengarkan ceritanya, sudah hampir menghabiskan sepiring nasi dan semangkok soto daging.

“Uang mengalir begitu deras kepada saya. Setiap hari ada saja yang mau bergabung. Pekerjaan kami hanya mengirim gerobak Royal Crepes dan bahan bakunya. Kami juga menerima royalti,” ujarnya dengan bangga.

Karena kesuksesannya berbinis itu,  menurut pria lulusan teknik minyak Trisakti ini, ia jadi sering nampang di majalah ekonomi. “Saya juga laris menjadi pembicara. Saya menjadi motivator berbinis di berbagai perusahaan besar. Materi ceramah saya tentang bagaimana membangun usaha setelah pensiun dari tempat kerja,” ujarnya lagi.

Dia menikmati profesi barunya sebagai motivator. Uang  mengalir  juga dari kepintarannya memainkan kata-kata yang bisa membangkitkan minat orang berwiraswasta. Selama sebulan, jadwal presentasinya  begitu padat. Tentu saja membuat kekayaannya semakin bertambah. Sekali berbicara ia mendapat bayaran Rp 5 juta.

Sedangkan bisnisnya dia serahkan sepenuhnya ke orang kepercayaannya. Hal ini yang menjadi titik lemah. Karena saking percaya Pak  Lutfi tidak mengontrol lagi. Kepercayaannya disalah gunakan.”Karyawan saya melarikan duit perusahaan sampai Rp. 400 juta,” ujarnya dengan wajah sesalnya.

“Ya ampun pak. Besar sekali. Uang sebesar itu. Kalau saya sudah stres berat,” ujarku kepadanya

“Bukan itu saja pak peter. Kemudian,  menyusul vonis  cuci darah. Saya stres berat. Saya menolak vonis itu, sampai melakukan second opinion ke Penang. Toh sama saja. Saya harus tetap cuci darah. Rasanya dunia menjadi  gelap. Seakan tak ada jalan keluar. Saya stres berat. Mungkin hampir tiga bulan. Bisnis saya tak terurus. Semakin tidak ada kontrol, dan akhirnya rutuh semua,” ungkapnya dengan bibirnya bergetar.

Pak Lutfi terdiam. Dia menarik nafas panjang. Aku menduga dia sedang mengumpulkan keberaniannya untuk melanjutkan ceritanya. Aku hanya bisa memandangnya. Dan menunggu kembali dia bercerita.

“Saya menjual rumah. Aset yang bisa saya jual saya jual. Saya tidak mau mengemplang kewajiban saya kepada pihak lain. Jumlahnya ratusan juta,”

“Tuhan masih sayang kepadaku. Dia pertemukan aku dengan pasien cuci darah yang sungguh luar biasa. Dia seorang sopir truk pasir. Sehabis cuci darah dia masih harus menyetir truk yang bermuatan pasir. Kalau dia bisa kenapa aku tidak,”

Hidup pria yang memperistri Fetylani Handayani, mulai bangkit lagi. Bahkan dia diberi anugerah terindah. Istrinya melahirkan lagi. ” Anak itu masih berusia enam bulan pak Peter. Anaknya lucu sekali. Bagiku itu mujizat,”ungkapnya dengan tersenyum.

“Wah selamat Pak. Spontan aku mengucapkannya karena sangat senang mendengar hal itu,”

“Saya juga sudah berbisnis lagi. Masih kecil sih. Lumayan, bisa untuk dapur tetap mengepul. Saya membuka usaha distribusi telur,”.

“Apalagi setelah saya bergabung dengan KPCDI. Saya semakin bersemangat menata hidup. Saya salut kepada KPCDI yang gigih berjuang untuk kepentingan sesama pasien cuci darah.”

“Maukah pak Lutfi menjadi pengurus KPCDI?,” tanyaku

“Wah, mau sekali,” jawabnya spontan.

“Bapak bisa menjadi anggota Departemen Dana dan Usaha,”

Ajakanku disambutnya dengan antusias. Bahkan dengan lancarnya dia langsung mengusulkan pogram. Pak Lutfi mempunyai mimpi bisa memberi pelatihan dan training berwirausaha bagi pasien cuci darah yang sudah tidak sanggup bekerja lagi.”Aku ingin berkeliling se Indonesia,” ujarnya dengan penuh semangat.

Aku sungguh senang mendengar respon pak Lutfi. Tenaga dan pikirannya sangat dibutuhkan oleh teman-teman. Aku sudah membayangkan bila pak Lutfi bergabung menjadi pengurus, tentu semakin seru. Membanyangkan KPCDI menggelar workshop diberbagai kota, dan melath teman-teman yang tidak bekerja lagi di sektor formal untuk mampu membangun bisnisnya sendiri. Tentu akan banyak menolong kehidupan pasien cuci darah.

Sampai  acara makan berakhir, bunyi gebrak tak muncul-muncul. Kami melangkah pulang. Dan dalam perjalanan, aku membayangkan ingin segera bersama pengurus yang lain mengebrak KPCDI untuk melangkah maju.

*Penulis adalah Sekretaris Jenderal KPCDI (Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia), mantan Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru