Senin, 10 Februari 2025

Bidan Kamini, Melayani Rakyat Desa Jamblang Dengan Iklas

JAKARTA- Bidan desa itu bernama Kamini. Bergelora.com mendapat kesempatan mewawancarai suka-dukanya menjadinya bidan desa. Disela perjuangan panjang Forum Bidan Desa (Forbides) PTT (Pegawai Tidak Tetap) menuntut hak menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), di Istana Presiden pertengahan September 2016 ini.

Bidan Kamini (35 tahun) anak tertua dari 4 bersaudara dari Pak Mukri dan Bu Suratmi. Adiknya, Suaenah (34 tahun) jadi perawat di Bogor, Juniah (30 tahun) bekerja di pelabuhan Cirebon dan Leoni Hardianti (18 tahun) masih kuliah di Poltekes Tasikmalaya. Kalau ketemu dijalan orang pasti menyangka Bidan Kamini masih anak sekolahan. Padahal bidan desa perawakan mungil ini sudah berkeluarga dengan dua anak perempuan. Yang tua sudah kelas 2 SMP. Suaminya Sartiman (38 tahun) bekerja swasta. Mereka menikah tahun 2001.

Jadi bidan desa sudah dijalaninya dari tahun 2006 dengan status bidan desa PTT. Sejak awal Kamini ingin bisa melayani rakyat di desa kelahirannya, di Desa Jamblang, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Mayoritas masyarakat di Desa Jamblang bekerja sebagai pedagang klontong. Ada juga pengrajin topeng dan terompet.

“Awalnya saya pingin jadi petugas kesehatan. Tapi Sekolah Pendidikan Kebidanan (SPK) sudah tutup, jadi saya ambil keguruan, guru biologi. Sudah tiga tahun berjalan saya masuk perawat pingin jadi tenaga kesehatan lagi,” Bidan Kamini memulai kisahnya.

Jadilah Kamini sekolah di Akademi Kebidanan di Kota Cirebon pada tahun 2002. Tiga tahun sekolah Kami lulus 2005 dan jadi bidan desa. Pada tahun 2006 Kamini langsung diangkat jadi Bidan Desa PTT Pusat, langsung di bawah Kementerian Kesehatan.

“Waktu itu juga saya langsung jadi Bidan Desa. Karena sempat ikut Program dari WHO (World Health Organization), setelah selesai saya langsung diangkat jadi PTT,” katanya.

Saat itu di Desanya, Jamblang belum ada yang berpendidikan tinggi. Rata-rata lulusan SD (Sekolah Dasar). Angka kematian ibu dan bayi di Desa Jamblang masih tinggi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Ibu hamil mencari pertolongan persalinan pada paraji (dukun beranak). Walau pada tahun 2005 sudah ada Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) dengan seorang bidan dari suku batak dari desa tetangga, tapi rakyat masih awam. Ibu melahirkan memilih ke paraji.

“Saya pingin membangun desa saya sendiri. Kasihan rakyat desa saya, masih seperti itu pengetahuannya. Jadi bidan desa pasti akan sangat membantu mereka. Memang tidak gampang. Tapi pelan-pelan  rakyat desa mulai mengerti pentingnya bersalin di tenaga kesehatan,” jelasnya optimis.

Sehari-hari tugas Bidan Kamini adalah melayani kesehatan masyarakat di desa. Kegiatannya di 5 Posyandu Desa Jamblang melayani 36 RT (Rukun Tetangga). Jadi satu Posyandu terdiri dari 4-6 RT. Satu RT berkisar  antara 50-70 kepala keluarga. Di Jamblang ada 4 blok yaitu Pandean, Karang Anyar, Tegalan dan Lebak. Paling padat penduduk di Tegalan dengan jumlah penduduk 2.000 orang yang dibagi dalam 11 RT dengan 2 Posyandu. Jumlah penduduk di Desa Jamblang terdiri dari 5.287 orang. Kecamatan Jamblang terdiri dari 8 desa dengan 1 Puskesmas.

Bidan Kamini, anggota Forum Bidan Desa (Forbides) PTT di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, saat kunjungan bayi baru lahir di Desa Jamblang, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon (Ist)Posyandu adalah pusat pelayanan terpadu. Posyandu ini ada di tengah masyarat tujuannya mendekatkan akses kesehatan dengan masyarakat. Di Posyandu kita bisa memperkenalkan kesehatan kepada masyarakat dengan melakukan penyuluhan kesehatan. Untuk petugas di posyandu biasanya saya di bantu oleh kader posyandu yang berasal dari masyarakat sekitar untuk membantu penimbangan dan sebagainya.

Puskesmas adalah pusat kesehatan masyarakat berada di wilayah kecamatan yang bertanggungjawab terhadap kesehatan masyarakat di wilayahnya. Di Kecamatan Jamblang ada 1 Puskesmas membawahi 3 Pustu dan 5  Polindes. Manfaat dan fungsi Pustu adalah sama yaitu melayani masyarakat di satu desa

“Kita itu ada jadwal keliling dibeberapa Posyandu. Jadi kalau misalnya, Selasa minggu pertama di blok Karang Anyar I. Rabu minggu pertama di Karang Anyar II. Hari Selasa minggu kedua di blok Pandean. Rabu minggu kedua di blok Lebak. Untuk minggu ke tiga, Selasa dan Rabu itu di blok Tegalan semua.  Kalau di blok Karang Anyar di Posyandu I sasarannya antara 50-55 orang. Blok II  sasarannya 45 orang. Nah, yang paling banyak di Tegalan yang padat penduduknya bisa mencapai 100 orang dalam satu Posyandu,” jelas Bidan Kamini.

Untung Bidan Kamini tidak sendirian. Ia kadang dibantu Tenaga Petugas Gizi (TPG) dan perawat. Dalam satu Posyandu juga ada 5 kader Posyandu dari masyarakat. Pengalaman yang menyenangkan buat Bidan Kamini adalah saat menolong persalinan selamat ibu dan bayinya.

“Ada kepuasan tersendiri di hati saya. Apalagi kalau punya pasien yang beresiko. Maksudnya beresiko itu pasien hamil yang komplikasi yaitu kehamilannya di sertai dengan penyakit contohnya darah tinggi. Atau pasien dengan perdarahan dan sebagainya. Jika kita berhasil memantau ibu hamil dari saat pertama kali kita menemukan ibu hamil diketehui ada resiko sampai dia lahir, bersalin dan masa nifasnya aman. Selamat ibu dan bayinya. Itu lah kepuasan bagi saya. Soalnya setiap ibu hamil yang ada di wilayah kerja saya adalah tanggung jawab bidan desa,” paparnya

Komplikasi Kehamilan

Bidan kamini, anggota Forum Bidan Desa (Forbides) PTT di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dan masyarakat pengguna Kartu Indonesia Sehat (KIS) di Desa Jamblang, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon (Ist)Dari sekian banyak ibu hamil ada saja yang mengalami komplikasi dalam kehamilannya. Agar ibu dan bayi selama kehamilan persalinan dan nifas maka selalu dipantau dengan cara kunjungan rumah selama hamil dan sampai ibu selesai masa nifas 40 hari setelah melahirkan.

“Kesulitannya jika menemui pasien yang mempunyai resiko atau komplikasi dia nggak mau di rujuk sama sekali. Itu biasanya karena faktor pendidikan dan ekonomi. Dan bisanya kalau saya merasa tidak mampu untuk membujuk pasien tersebut, saya minta bantuan sama aparat desa untuk memaksa pasien berangkat ke tempat pelayanan kesehatan yang lebih lengkap. Untuk sistem rujukan yang sulit biasanya saya libatkan tokoh masyarat, dari RT setempat, aparat desa, kepala desa, bidan koordinator sampai kepala Puskesmas,” katanya.

Ia menceritakan, di Posyandu masalah yang paling banyak ditemui adalah ibu hamil dengan resiko dan gizi buruk. Ibu hamil beresiko adalah dengan tekanan darah tinggi berat. Banyak juga yang random multi (hamil lebih dari tiga kali) dan anemia berat atau kurang gizi.

Di Kecamatan Jamblang ada Puskesmas dengan dua dokter umum. Kalau ada pasien yang tidak bisa ditangani di Posyandu maka dirujuk ke Puskesmas. Kebetulan di Puskesmas ada  Tim Penanggulangan Komplikasi.

“Kadang kita nemu (pasien-red) sendiri atau laporan dari kader. Kalau laporan dari kader disampaikan ke saya, maka saya harus mendatangi pasien di rumah. Kalau perlu saya bawa ke Puskesmas. Kalau gak bisa ditangani  di Puskesmas, ya harus dibawa ke rumah sakit,” jelasnya.

Rumah Sakit terdekat dari Desa Jamblang adalah Rumah Sakit Mitra Plumbon dan Rumah Sakit Ibu dan Anak Khalisa. Jaraknya  masing-masing 3-4 kilometer dari desa. Kalau ke RSUD Arjawinangun jaraknya 10 kilometer.

“Kalau untuk merujuk ke rumah sakit alhamdulillah kita tidak ada kendala asalkan pasien terdaftar sebagai peserta BPJS. Semua rumah sakit yang ada di kabupaten Cirebon  bisa menerima pasien tersebut,” ujarnya

Bidan Kamini menceritakan pengalaman lain saat menolong persalinan pada orang yang tidak mampu namun berupaya untuk membayar seadanya.

Bidan Kamini, anggota Forum Bidan Desa (Forbides) PTT di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dalam kunjungan bayi baru lahir di Desa Jamblang, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon (Ist)“Biasanya saya kembalikan lagi ke rasa ikhlas  karena tidak semua orang mampu untuk membayar persalinan. Kadang di bayar dengan seikhlasnya. Bahkan ada yang ngasih cuma Rp 20.000 di jaman sekarang juga ada. Tapi ya sudah lah, mungkin itu adalah rizki saya. Kalau pasiennya punya Jamkesmas atau BPJS akan bisa diklain ke BPJS untuk biaya persalinan pasien. Tapi kalau pasien nggak punya apa-apa, kita bisa apa. Saya kembalikan lagi ke yang di atas rizki Allah yang ngatur,” katanya.

Bidan Kamini mengingatkan tidak semua masyarakat mampu untuk membayar BPJS walaupun hanya Rp 25.500/bulan. Rakyat desa tidak bisa kalau harus membayar iuran tiap bulan.

“Kadang buat mereka makan juga ngedadak nyari. Ibaratnya nyari uang pagi hari buat makan nanti siang. Nyari uang siang hari buat makan untuk besok pagi. Apalagi untuk pembuatan BPJS kan harus semua anggota keluarga membikinnya,”

Gizi Buruk

Bidan Kamini juga memantau kesehatan masyarakat langsung dari rumah ke rumah. Yang mengagetkan, Bidan Kamini melaporkan ternyata masih ada temuan kasus gizi buruk di desanya. Kebanyakan karena penyakit penyerta.

“Gizi buruk pasti ada aja. Misalnya karena ada penyakit atau bawaan. Bawaan jantung, atau karena bayi denga berat lahir rendah karena prematur,” katanya.

Ia menjelaskan gizi buruk ada kriterianya. Kalau berat badan bayi tidak sesuai dengan usia saat itu bisa dinyatakan gizi buruk. Tiap bulan bayi ditimbang skala kenaikan berat badannya. Penanganan gizi buruk ditangani dengan melapor dan konsultasi ke petugas gizi  kemudian dibawa ke Puskesmas untuk diperiksa dokter. Setelah itu layak dapat bantuan berupa makanan, susu PMT (Program Makanan Tambahan) untuk si bayi berupa MP-ASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu). 

“Semua dibagi di Posyandu. Kadang dapatnya makanan olahan. Jadi misalnya saya dapat dua kasus gizi buruk bulan kemarin. Kebetulan karena bawaan. Setiap kali melahirkan si ibu dapat anak dengan gizi buruk karena penyakit ibunya. Setelah beberapa bulan berat badan masih gak naik. Saya minta bantuan dokter, dikasih susu PMT. Jadinya berat bayi naik lumayan,” ujarnya.

Kamini, anggota Forum Bidan Desa (Forbides) PTT di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, saat kunjungan ibu hamil dan penanggulangan penanganan komplikasi di desa Jamblang, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon (Ist)Lebih mengagetkan lagi, ketika Bidan Kamini menceritakan gaji yang diterimanya selama ini.  Ia menceritakan bahwa sejak tahun 2006  sampai 2010 setiap bulan  ia menerima gaji Rp 590.000, padahal tertulis Rp 600.000. Awalnya gaji diterima dari Kementerian Kesehatan lewat pengiriman Kantor Pos. Kemudian dirubah lewat BRI. Lalu kembali lewat Kantor Pos.

“Sekarang sudah naik jadi Rp 1.450.000, tertulisnya Rp 1.750.000 per bulan. Sekarang dterima di rekening Bank Mandiri,” ujarnya.

Bidan Kamini juga buka praktek mandiri pelayanan 24 jam di rumah Untuk kebutuhannya, Bidan Kamini membeli  peralatan beli sendiri. Peralatan itu terdiri dari Partuset (alat persalinan), oksigen, meja dan tempat tidur untuk dipakai di Polindes. Polindes adalah Pusat Pelayanan Desa  yang pendanaan, bangunan dan fasilitasnya secara mandiri di biayai sepenuhnya oleh pemerintah desa. Petugas kesehatan di Polindes atau Pustu terdiri dari 1 bidan desa,1 perawat dan 1 petugas.

“Jadi selalu siap setiap saat. Ntar malam ada yang ketok-ketok dan kita musti layani pasien yang datang. Atau mendatangi rumah pasien yang tidak bisa datang,” ujarnya.

Perjuangan Forbides buat Bidan Kamini tentu penting. Kenaikin status dari  PTT jadi PNS memang sudah haknya. Karena selama pengabdiannya atas nama negara melayani masyarakat desa tak bisa diragukan lagi.

Yah, buat kepastian kerja dan penghidupan masa depan kami. PNS itu penting walaupun gaji gak seberapa,” ujarnya dengan mata lelah.

Saat ini ada 42.245 Bidan Desa PTT dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam Forbides, sedang menunggu Presiden Joko Widodo menanda tangani pengangkatan menjadi PNS. (Web Warouw)

 

 

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru