JAKARTA- Indonesia harus bisa membendung krisis moneter yang sedang berlangsung di seluruh dunia, akibat devaluasi mata uang China, Yuan saat ini. Untuk itu semua pihak pemerintah, TNI/Polri dan seluruh rakyat harus bisa segera membangun dan menjaga persatuan nasional agar bisa bertahan dari berbagai kepentingan luar yang mencoba memecah belah bangsa Indonesia. Hal ini disampaikan oleh budayawan, Burhan Rosyidi kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (26/8).
“Nah, untuk itu lah, solusi jitunya adalah senantiasa tetap menjaga keintiman diantara kita bangsa Indonesia, Pemerintah harus memulai keintiman diantara sesama pejabat negara. Jangan saling serang. Kita semua akan menjadi korban,” tegas anggota Presidium Komite Kedaulatan Rakyat (KKR) ini.
Ia mengingatkan agar Menteri Koordinator Maritim, Rizal Ramli dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyadari bahwa soliditas pemerintahan saat ini menjadi sorotan masyarakat di tengah krisis moneter saat ini.
“Kalau perlu mengevaluasi proyek, ya laksanakan saja, jangan malah ribut ihadapan rakyat. Kita butuh kepemimpinan yang kuat dan berwibawa,” ujarnya
Ia mengingatkan bahwa, krisis moneter dunia saat ini sudah tak bisa lagi dibendung dan akan terus menekan hingga menjadi krisis ekonomi yang berkekuatan mengobarkan krisis sosial.
“Yang kalau tidak segera diantisipasi, akan berdaya-rusak dahsyat terhadap peradaban,” jelasnya.
Namun menurutnya dengan persatuan nasional yang dipimpin oleh pemerintah, maka rakyat dan pemerintah, sipil dan militer akan bersatu menahan dampak dari krisis moneter saat ini di dalam negeri.
Indonesia menurutnya harus belajar banyak dari devaluasi mata uang China yang memberikan dampak krisis moneter internasional.
“Satu hal yang lupa dilihat dalam situasi goyang dollar sekarang ini, sementara di satu pihak dollar berada di bawah kendali daulat pasar, di pihak lain mata uang China, Yuan justru dalam posisi berdaulat terhadap pasar,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa kuatnya mata uang Yuan atas pasar menunjukkan kekuatan ekonomi China dalam kepentingan ekspor ke pasal internasional.
“Sementara itu, negara-negara yang selama ini menguasai pasar, justru tidak bisa menahan gejolak moneter akibat devaluasi Yuan. Ini menunjukkan bahwa faktor negera sangat menentukan fondasi ekonomi, ketimbang pasar internasional. Inilah jaman baru yang tidak dimengerti oleh banyak pihak,” ujarnya.
Indonesia menurutnya baru saja masuk dalam era liberalisasi pasar semenjak reformasi 1998. Sebelumnya, dimasa pemerintahan Soekarno dan Soeharto, dibawah UUD’45 yang asli negaralah yang menentukan pasar. Liberalisasi oleh kekuatan Neoliberal berhasil melucuti kekuatan negara dengan amandemen UUD’45.
“Lah sekarang bisa kita buktikan bagaiman kekuatan negara di China menghadapi kekuatan pasar liberal yang sudah rontok saat ini. Supaya tidak terlambat, sudah waktunya mungkin bangsa ini kembali ke UUD’45 untuk menghadapi zaman baru,” ujarnya (Web Warouw)