Minggu, 26 Januari 2025

Hendardi: Pasca Pilkada Serentak, MK Rentan Disuap

JAKARTA- Tantangan terberat Mahkamah Konstitusi  (MK) dalam 1 tahun ke depan adalah persiapan dan pelaksanaan peradilan sengketa pilkada serentak pada akhir Desember 2015. Dengan kembalinya kewenangan menangani perselisihan hasil pemilu kepala daerah (PHPUD), MK kembali akan diuji kredibilitasnya, mengingat sengketa Pilkada melibatkan kontestasi baik di dalam maupun di luar sidang. Peradilan Sengketa Pilkada akan menjadi arena baru uji integritas mahkamah. Hal ini disampaikan oleh Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (22/8).

 

“Kontestasi ini juga rentan penyuapan. Rencana MK bekerjasama dengan KPK untuk menyadap seluruh alat telekomunikasi pegawai, panitera, dan hakim MK bukanlah solusi utama. Selain melanggar hak asasi, cara ini juga lebih menunjukkan respons emosional dibanding sebagai langkah rasional,” ujarnya.

“Untuk memastikan peradilan pilkada serentak memenuhi rasa keadilan, MK harus melakukan berbagai langkah antara lain menyusun dan melakukan sosialisasi intensif mekanisme penyelesaian sengketa, bukan hanya kepada Parpol tapi juga pada para kandidat yang berkontes,” ujarnya.

MK juga menurutnya harus menambah jumlah personel ad hoc yang kredibel  dan memastikan seluruh proses peradilan berjalan terbuka dan aksesibel serta memutakhirkan manajemen perkara

“Yang utama adalah menerapkan dismissal process yang ketat atas setiap permohonan. MK akan berpotensi mengadili perkara sebanyak 265 sengketa. Jika diasumsikan hanya separuhnya, maka MK akan mengadili 133 sengketa. MK hanya diberi waktu 45 hari kerja untuk memutus perkara ini sejak permohonan sengketa diajukan,” ujarnya

Hendardi menjelaskan, MK telah mengadili sengketa Pilkada sejak 2007 hingga 2013. Banyak terobosan yang telah dicipta, hingga akhirnya kewenangan ini dipangkas sendiri oleh MK setelah M. Akil Muchtar, Ketua MK periode ketiga tertangkap tangan oleh KPK dalam kasus suap sengketa Pilkada.

Saat membuang 1 kewenangannya mengadili Perselisihan Hasil Pemilu Daerah (PHPUD), sesungguhnya MK tengah melakukan konsolidasi kelembagaannya sebagai court of norm yang hanya mengadili UU terhadap konstitusi. Dengan putusan  perkara No. 97/PUU-XI/2013 yang menguji UU 12/2008 tentang Perubahan Kedua UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, MK memutuskan bahwa PHPUD bukanlah kewenangan limitatif yang menjadi kewenangan MK sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945.

Niat MK untuk melepas kewenangan ini pada awalnya diafirmasi oleh pembentuk UU ketika menyusun UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Ketentuan dalam Perppu No. 1/2014 tentang Pilkada ini mengamanatkan kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilu kepala daerah (PHPUD) diserahkan kembali kepada Mahkamah Agung.

“Tetapi MA menolak dan hingga akhirnya kewenangan ini kembali ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam UU 8/2015 tentang Perubahan UU 1/2015 tentang Perubahan Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota,” jelasnya.

Menurutnya, sekalipun kewenangan ini bersifat sementara hingga terbentuk peradilan khusus pemilu, tetapi cara para pembentuk UU menyusun UU Pilkada menunjukkan paradoks serius. Bagaimana norma yang sudah diputus oleh MK sebagai inkonstitusional dipaksakan masuk kembali menjadi norma baru dalam UU baru.

“Dengan alasan mengisi kekosongan hukum, maka peradilan pilkada kembali ke tangan MK, hingga 2027 saat pembentukan peradilan khusus pemilu telah dibentuk,” ujarnya. (Calvin G. Eben-Haezer)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru