Rabu, 19 Februari 2025

Internet Sebagai Alat Perjuangan Gerakan Demokrasi*

Oleh: Damar Juniarto**

Demokrasi selalu mengetengahkan paradoks.  Tak terkecuali dengan demokrasi pasca reformasi 1998 di Indonesia, di mana terlihat fenomena perkembangan pemanfaatan teknologi internet yang sangat masif, khususnya pemanfaatan media sosial oleh netizen untuk perluasan demokrasi di satu sisi, sementara di sisi lain, khususnya dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, makin marak penggunaan regulasi yaitu UU ITE untuk memidanakan netizen atas aktivitasnya di media sosial.

Bagaimana kita memahami implikasinya pada pelemahan demokrasi di Indonesia? Jawaban terhadap pertanyaan itu akan membawa kita pada penelusuran jejak penggunaan internet, sebagai instrumen paling kuat di abad ke-21. Tak dapat dipungkiri, di berbagai belahan dunia, internet telah membantu meningkatkan transparansi dalam mengawasi kerja pemerintahan, memberi akses pada informasi, dan juga memfasilitasi warga untuk berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang demokratis.

Di ranah demokrasi, pemanfaatan teknologi internet untuk gerakan masyarakat sipil dimulai tahun 2011 lewat gerakan “Arab Spring” yang berawal dari Tunisia, Indignadas di Spanyol, hingga gerakan “Occupy” yang mendunia, sampai-sampai TIME magazine menobatkan tahun 2011 menjadi “Tahunnya Para Pemrotes”.

Warga garda depan yang ingin melakukan perubahan politik dengan pola pikir teknologi itu kemudian disebut John Postill (2014) sebagai kelompok Teknolog Pembebasan/ ”Freedom Technologist”. “Kelompok Teknolog Pembebasan” ini memainkan peranan penting dalam menumbangkan rezim otoriter Presiden Zen el-Abedine Ben Ali di Tunisia. Postill menemukan peran pengacara dan blogger Riadh Guerfali yang membuat situs TuniLeaks berisi bocoran kawat diplomatik AS, lalu terhubung dengan mantan aktivis Ali Bouazizi yang mengunggah video pembakaran diri sepupunya Mohamed Bouazizi penjaja makanan di Facebook.

Video itu lalu diberitakan ke seluruh Arab oleh Al Jazeera yang dilarang masuk ke Tunisia.  Al Jazeera adalah media baru yang memanfaatkan media sosial dan blog untuk memotong birokrasi yang ketat dan memberitakan secara cepat kejadian di masyarakat. Tatkala pemerintah Tunisia melakukan sensor Facebook, kelompok  “Anonymous” melakukan “Operasi Tunisia” dengan menyerang situs-situs pemerintah Tunisia lewat bantuan dari netizen Tunisia jsehingga Presiden Ben Ali jatuh.  Gerakan warga sipil ini lalu meluas ke Syria, Irak, hingga Libya.

Di Spanyol, Postill menemukan peran pengacara hak cipta digital Carlos Sanchez Almeida yang membuat gerakan digital #NoLesVotes bersama sejumlah aktivis internet untuk mengajak warga Spanyol tidak lagi memberi suara untuk partai mayoritas sejak partai besar Spanyol mengeluarkan RUU tentang copyright akibat tekanan Amerika Serikat.

Gerakan tersebut dilanjutkan oleh Gala Pin, Simona Levi, Javier Toret dan kawan-kawannya dengan membentuk organisasi payung Democracia Real Ya/ ”Demokrasi Sekarang Juga” yang melakukan aksi massa ke jalan-jalan Madrid, termasuk melibatkan hacker ternama Isaac Hacksimov yang memutuskan untuk berkemah di lapangan Madrid. Gerakan ini direplikasi di seluruh Spanyol dan menjadi inspirasi gerakan Occupy yang mendunia. Mereka inilah, menurut Postill, para aktor demokrasi yang baru (John Postill, 2014).

Pendapat lain ditulis oleh Manuel Castells, sosiolog terkemuka dari Universitat Oberta de Catalunya, Spanyol, yang kerap meneliti tentang masyarakat informasi, komunikasi dan globalisasi. Dalam bukunya “Networks of Outrage and Hope”, Manuel Castells menunjukkan minatnya pada gerakan-gerakan masyarakat sipil yang terjadi pada 2011 untuk meruntuhkan rezim-rezim diktator di berbagai belahan dunia yang dia anggap sama seperti menyebarnya viral gagasan-gagasan dan imaji-imaji akan masyarakat yang bebas dari penindasan.

Castells menulis bagaimana ia sebagai bagian dari mahasiswa yang ikut terlibat dari gerakan mahasiswa Paris ’68 merasa menemukan lagi gerakan sipil yang dulu dikenalnya, meskipun untuk gerakan masyarakat sipil yang baru ini ia menandai adanya perubahan yang cukup signifikan di mana teknologi informasi memiliki peranan menghasilkan komunikasi otonom yang tidak terpenjara oleh kepentingan dari media dan pemilik modal.

Dengan adanya internet, terjadi apa yang disebut Castells dengan “mass self-communication”, yakni penggunaan internet dan jaringan nirkabel sebagai platform dari komunikasi digital sehingga produksi pesan dilakukan secara otonom oleh warga dan sulit dikontrol oleh pemerintah atau korporasi. Itu yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan masyarakat baru ini (Manuel Castells, 2012). Titik inilah yang saya pikir dapat dijadikan pintu masuk untuk serius mempertimbangkan peranan internet dalam demokrasi di Indonesia.

Internet Dalam Gerakan

Menengok ke belakang, terdapat beberapa inisiatif yang dimulai tahun 1994 hingga awal tahun 2000 ketika internet mulai digunakan oleh gerakan prodemokrasi di Indonesia, sehingga David T. Hill dan Krishna Sen menulis bahwa teknologi komunikasi seperti internet memainkan peran sentral untuk menggulingkan kediktatoran Soeharto (David T. Hill dan Krisna Sen, 2005).

Lalu melompat ke tahun 2009, muncul gerakan “Cicak versus Buaya” di Facebook sebagai bukti peran media sosial untuk mengumpulkan warga yang sepakat untuk melindungi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari kelompok yang dipercaya ingin mengerdilkan peran KPK dengan menyatakan KPK tak lebih dari cicak yang akan berhadapan dengan buaya. Jutaan followers berhasil dikumpulkan oleh gerakan masyarakat sipil ini, dan ratusan orang dapat dikerahkan secara organik untuk membendung upaya penggembosan KPK.

Pada tahun 2013, gerakan warga Rembang, Jawa Tengah secara kolektif dan sengaja memutuskan memakai internet/media sosial ketika melihat fakta media-media di Jawa Tengah dibungkam untuk memberitakan persoalan keberadaan pabrik semen di Rembang. Perjalanan mereka dimulai dari belajar memakai media sosial dan sempat harus menghadapi serangan bertubi-tubi dari buzzer yang berhasil membajak hashtag #SaveRembang yang mereka pakai sebelumnya. Namun, “perebutan ruang” tersebut kemudian dimenangkan oleh gerakan warga Rembang setelah mereka mengubah strategi lapangan dengan mengganti hashtag menjadi #RembangMelawan yang lebih progresif dan #DemiRembang yang memanfaatkan penggalangan dukungan lewat platform petisi online Change.org

Sangat menarik untuk mempelajari bagaimana warga desa seperti di Rembang, yang selama ini dipersepsi terbelakang dalam pemanfaatan teknologi internet, justru sekarang menjadi contoh gerakan masyarakat baru  yang berhasil memadupadankan antara model gerakan tradisional lewat jalur kebudayaan dan gerakan modern lewat jalur sosial media.

Contoh lain yang kurang lebih senada bisa dilihat pada gerakan masyarakat Ciptagelar, Jawa Barat yang memilih memakai teknologi informasi untuk mencapai tujuan-tujuan demokratis yang mereka bayangkan. Warga Ciptagelar memproduksi siaran televisi sendiri lewat CigaTV, mengupayakan jalur komunikasi nirkabel antar warga dengan pemanfaatan OpenBTS serta pemakaian internet untuk memecahkan persoalan-persoalan warga.

Pada tataran nasional, momen pemilu presiden (pilres) 2014 memperlihatkan pemanfaatan internet yang masif sebagai penanda inisiatif digital untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Dalam “Temu Demokrasi Digital 2014” yang digagas Forum Demokrasi Digital (FDD) setidaknya pada 2014 telah lahir 64 inisiatif di internet berupa platform, website dan mobile apps yang berusaha memperbaiki demokrasi dengan rincian sebanyak 33 inisiatif berbasis platform/website, 30 buah berbasis mobile application dan 1 buah berbasis keduanya. Itu semua di luar inisiatif yang bersifat partisan atau yang dilahirkan oleh media massa.

Dari 34 platform atau website tersebut, 20 di antaranya ditujukan khusus untuk kepentingan pemilu, 6 buah tidak terkait langsung dengan pemilu dan 8 buah berguna/bermanfaat untuk keduanya.  Dari ke- 31 aplikasi itu, seluruhnya (100%) terkait dengan kepentingan pemilu. Jika dipetakan berdasar fungsinya, dari 34 platform/website tersebut: (a) ada 4 lembaga yang melakukan pemantauan media sosial termasuk di antaranya Politicawave, Provetic dan aspirasikita.org; (b) ada 4 yang berbentuk wadah petisi daring dengan pengguna terbanyak adalah Change.org (900.000); (c) ada 16 yang melakukan voter education; (d) ada 10 yang mengerjakan pelacakan latar belakang politisi; (e) ada 9 yang melakukan e-counting termasuk kawalpemilu.org; (f) ada 9 yang melakukan public assessment seperti Meteranpolitik.org dan KawalMenteri 2; (g) ada 7 yang melakukan election watchdog termasuk MataMassa.org ; dan ini yang paling menarik (h) ada 8 yang melakukan netizen proposal, yakni seperti: kabinetrakyat.org, KAUR dan kawalmenteri.org. Background checking, e-counting, public assessment, election watchdog dan netizen proposal adalah inisiatif terbaru di Indonesia dan hanya terjadi di 2014.

Sementara itu, jika dipetakan berdasar metodenya, dari 34 platform/website tersebut: (a) ada 29 yang menggunakan cara penyajian data; (b) ada 7 yang menggunakan cara review aggregator, seperti: jariungu.com dan meteranpolitik.org; (c) ada 21 yang menggunakan cara crowdsourcing; (d) ada 6 yang menggunakan cara voting machine; (e) ada 4 yang menggunakan cara crawling machine dan (f) ada 7 yang dilengkapi dengan opini/analisis.

Situs kawalpemilu.org yang berbasis e-counting menjadi fenomenal pada Pemilu 2014 lalu karena berhasil mengawal suara publik dan mengontrol kinerja KPU. Dengan pendekatan crowdsourcing dan big data, situs yang diinisiasi oleh Ainun Najib ini menghimpun inisiatif dan itikad warga untuk mengawal dan mengontrol jalannya Pemilu yang difasilitasi oleh Internet. Situs kawal pemilu kemudian bertransformasi menjadi kawalpresiden.org. Situs ini mampu menjembatani conversational leadership ala Jokowi yang selama ini gemar blusukan dan ngobrol  bersama rakyat sehingga percakapan (conversations) bisa terjalin nyaris tanpa batas (Yohanes Widodo, 2016).

Beberapa contoh di atas, bagi saya, memberi kesan kuat bahwa peranan internet cukup signifikan ketika kita berbicara mengenai wajah demokrasi hari ini. Hal ini sejalan dengan gelombang pemanfaatan teknologi internet terutama media sosial di berbagai belahan dunia bahwa hari ini, internet bukan lagi hanya memampukan seseorang untuk menggunakan hak untuk berpendapat secara bebas, tetapi juga mampu menyuarakan hak asasi manusia dan mendorong kemajuan masyarakat ke arah yang lebih baik dan memiliki peranan untuk memenuhi hak warga atas kebenaran. Tanpa akses ke informasi yang memadai yang disediakan oleh internet, maka gagasan akan transparansi, akuntabilitas pejabat publik, pemberantasan korupsi ataupun partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan, lebih sulit untuk terwujud.

Dinamika yang sekarang terjadi di internet memperlihatkan bagaimana masyarakat sedang menggunakan internet untuk melakukan counter-power, melakukan kontestasi kekuasaan atas pemahaman yang ajeg atas bernegara, beragama, dan berekonomi.  Masyarakat sedang melakukan adu wacana akan gagasan NKRI, agama yang mayoritas, dan ekonomi yang dikuasai oleh oligarki. Saat ini sedang terjadi perluasan ruang publik-sosial politik ke cyberspace yang disebut demokrasi digital sehingga apa yang terjadi di internet sebetulnya merupakan kepanjangan tangan dari apa yang sulit terjadi di lapangan.

Melemahkan Demokrasi Digital

Namun, proses demokrasi dengan memanfaatkan teknologi informasi dari internet dan media sosial dalam paparan di atas bukan berarti tidak mendapat halangan dan ancaman. Halangan dan ancaman atas demokrasi di internet ini saya bagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama yang berasal dari regulasi atau peraturan negara, sedang yang kelompok kedua yang berasal dari kekuatan anti-demokrasi yang juga hidup dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.

Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 atau disingkat UU ITE adalah regulasi yang pada awal kelahirannya dianggap bisa melindungi kepentingan swasta, negara, dan publik dari ancaman-ancaman kejahatan siber (cybercrimes). Aktor pembuat kebijakan UU ITE  saat itu memasukkan 3 pasal mengenai defamasi, penodaan agama, dan ancaman online yang dianggap bisa mengisi kekosongan regulasi untuk menjerat para pelaku kejahatan yang memakai teknologi informasi dalam kategori kejahatan-kejahatan siber.  

Akan tetapi, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) mencatat, hingga saat ini telah terdapat lebih dari 200 pelaporan ke polisi atas dasar tuduhan defamasi, penodaan agama, dan ancaman, yang berbasiskan UU ITE (SAFENET, 2016). Organisasi ini juga menilai munculnya 4 pola pemidanaan baru yaitu: aksi balas dendam, barter hukum, membungkam kritik dan terapi kejut, yang sangat berbeda, jika tidak dapat disebut menyimpang, dari tujuan awal  ketika UU ITE dibentuk.  

Jika semula pasal-pasal ini dimaksudkan untuk menangkap para penjahat siber, kini malah lebih sering dipakai untuk mengkriminalisasikan warga yang memanfaatkan internet dan media sosial untuk menyampaikan keluhan, opini, isi pikirannya, berpolemik, hingga menyampaikan kritik kepada pimpinan daerah.

Selain UU ITE, SAFENET juga melihat kebijakan sensor lewat praktik filtering dan blokir situs web yang dipakai juga untuk merepresi kebebasan ekspresi, alih-alih untuk membendung kejahatan berbasis diskriminasi etnis dan ras, serta terorisme. Secara keseluruhan, praktik-praktik di atas berimplikasi pada demokrasi, yang dapat dilihat dari sejumlah indikator, antara lain: Pertama, terjadi efek jera sehingga pengguna internet/ media sosial takut untuk memanfaatkan lagi teknologi internet ini untuk demokrasi. Kedua, terjadi penutupan media online, baik karena pemiliknya dituntut dengan UU ITE, atau situs web nya diblokir oleh Kementrian Informasi dan Teknologi (Kemenkominfo) atas pengaduan masyarakat. Ketiga, pelemahan gerakan-gerakan masyarakat baru dengan cara mengkriminalisasikan aktor-aktor demokrasi melalui UU ITE.1

Dari indikator-indikator di atas, pada kategori kedua lah terjadi pelemahan demokrasi digital oleh aktor-aktor yang menggunakan internet dan media sosial untuk agenda-agenda anti demokrasi. Hal ini umumnya diperlihatkan dengan propaganda atau kampanye hate speech, semisal mengkafir-kafirkan pemeluk agama lain di luar, melakukan kampanye diskriminatif terhadap komunitas LGBT, menyuarakan dan mengarusutamakan informasi bohong lewat buzzer dan bot, serta trolling ujaran kebencian yang dilancarkan secara masif dan terencana. Dalam konteks ini, terdapat banyak kelompok yang semestinya diwaspadai, sebab secara aktif, mereka paham cara kerja internet dan media sosial untuk mereproduksi pesan yang mereka perjuangkan.

Oleh sebab itu, dibutuhkan upaya bersama dari aktor-aktor atau para pihak yang meyakini bahwa teknologi internet bisa digunakan untuk membangun demokrasi substantif, agar permasalahan digital gap yang berdampak luas ini dapat tertangani secara baik.

Terdapat beberapa cara untuk menanganinya, antara lain, merevisi berbagai regulasi yang menghambat demokrasi digital dengan perspektif menghargai hak asasi manusia dalam teknologi baru, melakukan literasi digital di kalangan usia muda (anak dan remaja) agar mereka “melek” pemanfaatan internet yang demokratis, dan konsolidasi dari para aktor dari kelompok “teknologi pembebasan” untuk terus mendorong pemanfaatan internet untuk demokrasi di Indonesia. Konsolidasi ini barangkali benihnya sudah ada, tapi masih perlu diperluas dengan melibatkan lebih banyak pihak semisal gerakan perempuan dan para pendidik di sekolah-sekolah.

 

* Tulisan ini diambil dari http://politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1085-mempertimbangkan-internet-dalam-gerakan-demokrasi-di-indonesia Dengan judul asli “Mempertimbangkan Internet Dalam Gerakan Demokrasi di Indonesia”

** Penulis adalah Regional Coordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFENET, Kepala Sekolah Kelas Muda Demokrasi Digital/KEMUDI, dan pegiat di Forum Demokrasi Digital/FDD serta Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi/GEMA DEMOKRASI.

 

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru